Herman, masih berbaring lemah ditempat tidur. Pria berusia 52 tahun warga desa Sidomulyo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan, tersebut divonis mengidap penyakit kanker hati. Penyakit yang diidapnya lebih dari 2 tahun itu membuat perut dan kakinya membengkak. Kini ia hanya merintih menahan sakit dikamarnya yang berukuran 3x2 meter.
Herman adalah 1 dari ribuan keluarga miskin di Lampung Selatan, karena kemiskinannya, pria yang tinggal berdua dengan istrinya ini, tidak bisa berobat. Sejak sakit, Herman tidak bekerja, sementara istrinya, Yana, juga tidak berpenghasilan karena menjaga suaminya. Sejak sakitnya bertambah parah, untuk buang hajat pun Herman harus dibantu istrinya.
Nyaris, keluarga yang tinggal dirumah 5 x 7 meter persegi, berlantai tanah berdinding papan ini, tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tabungan Yana yang pernah bekerja diluar negeri, hampir habis untuk biaya pengobatan suaminya. Untuk berhemat, mereka makan sehari hanya satu kali. Tidak ada yang bisa dilakukan keluarga miskin ini, kecuali berharap keajaiban yang diturunkan Tuhan yang Maha Pengasih.
Puskesmas setempat, sebelumnya pernah merujuk Herman ke rumah sakit umum daerah (RSUD) kalianda. Karena pihak rumah sakit tidak mampu menangani penyakit kanker hati yang diderita Herman, dokter menyarankan Herman untuk berobat ke rumah sakit umum abdul muluk Bandar Lampung.
Masalah baru timbul, Herman urung dirujuk karena tidak memiliki biaya makan minum dan obat-obatan diluar jaminan kesehatan pemerintah, yang harus ditebus dengan harga yang mahal, ketika ia berada dirumah sakit.
Herman dan istrinya, adalah salah satu keluarga miskin yang ada di Lampung Selatan. Karena kemiskinannya Herman tidak mampu berobat untuk menyembuhkan penyakitnya, karena ketidak berdayaannya, untuk mencari sesuap nasi pun Herman tidak bisa.
siapa yang akan membantu Herman, siapa yang bertanggung jawab atas timbulnya kemiskinan di negeri ini, di kabupaten ini? Pertanyaan serupa akan terus bergema.
Dalam batang tubuh undang-undang dasar 1945, sudah jelas, bahwa rakyat miskin dan orang-orang terlantar dipelihara oleh negara dan Pemerintah adalah eksekutor negara. Yang menjalankan fungsi-fungsu negara, untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat.
Jika dalam sebuah wilayah terdapat warga miskin, maka tanggung jawab siapakah mereka? Sekali lagi, pemerintah adalah yang paling bertanggung jawab atas warganya. Semua kebijakan dan aturan yang telah dirancang bersama wakil rakyat wajib dilaksanakan. Tidak ada tujuan lain selain menjadikan rakyatnya terjamin dalam hal pendidikan, kesehatan, sandang, pangan dan papan.
Jika masih ada warga miskin disuatu wilayah, apakah kita akan menyalahkan nasib? Nasib Yang memang sudah digariskan Tuhan, sekali lagi anggapan itu keliru. Pemerintah sudah diberi mandat oleh rakyat untuk menjalankan fungsinya dengan benar, yang jika dijalankan dengan tepat, maka tidak akan terdengar kelaparan, rintihan karena ketidakmampuan berobat, kebodohan, ketiadaan tempat tinggal, pengemis dan menjual diri karena lapar.
Keadaan Herman, adalah contoh kecil kegagalan pemerintah menjalankan fungsinya. Bagaimana tidak, ketika sejumlah wartawan mendatangi dinas sosial kabupaten Lampung Selatan, untuk menanyakan bentuk bantuan apa yang sudah atau akan diberikan kepada keluarga Herman, pejabat dinas bersangkutan, mengaku baru mengetahui adanya keluarga miskin yang menderita sakit, justru dari para awak media massa, yang menyambangi kantornya.
Berbagai bentuk jaminan sosial yang digulirkan oleh pemerintah juga terkesan hanya nama saja. jaminan kesehatan masyarakat, atau jamkesmas. Jaminan kesehatan daerah, atau jamkesda, yang digaung-gaungkan mampu menangani peliknya persoalan pelaYanan kesehatan untuk warga miskin, seperti tidak ada.
Jaminan tersebut seperti lagu, yang didengar merdu, tapi tiada makna untuk warga yang membutuhkan. Betapa tidak, warga miskin yang untuk makan saja susah, harus dibebani lagi untuk mengisi berbagai formulir yang berbelit-belit, birokrasi berkarat tidak berjalan dengan cepat.
Salah satu bukti lagi bahwa jaminan kesehatan hanyalah bualan disiang bolong dan yang mungkin sudah menjadi rahasia umum adalah, banyaknya model atau jenis obat serta alat bantu penyembuhan yang tidak masuk dalam daftar jaminan, sehingga harus ditebus warga dengan harga mahal.
Lagi-lagi, warga tidak mampu harus gigit jari. biaya hidup bagi keluarga yang tinggal atau menjaga si pasien di rumah sakit, berhari-hari, juga harus ditanggung sendiri oleh keluarga pasien. Atas dasar itulah, mengapa istri Herman urung merujuk suaminya untuk berobat di rumah sakit di Bandar Lampung.
Pemerintah seolah-olah tutup mata, tutup telinga dengan berbagai keadaan yang sebenarnya terjadi dilapangan. Pemerintah sepertinya menganggap semua sistem sudah dijalankan oleh satuan kerja dengan benar dan tepat sasaran. Tetapi, sekali lagi, anggapan itu keliru.
Saya khawatir, jika dalam satu waktu, pemerintah menyalahkan Nasib, atau menyalahkan takdir, terhadap kemiskinan, kebodohan dan ketidak berdayaan masyarakat dalam mengarungi hidupnya. Jika itu terjadi, maka sesunggunya pemerintahan itu tidak ada, dan yang ada, hanya pejabat birokrat yang menikmati uang rakyat tanpa bekerja untuk rakyat.
Jika sistem sudah dijalankan dengan benar dan tepat sasaran, tidak ada lagi pasien yang terpaksa pulang, gara-gara tidak ada biaya. Tidak adalagi warga yang harus mendiamkan, menahan sakit dan penyakitnya karena ketidak mampuannya berobat. Tidak adalagi warga yang harus merampok, merampas, bahkan membunuh untuk mendapatkan uang agar bisa menebus obat ibunya atau mengeluarkan istri yang baru melahirkan dirumah sakit.
Jika sistem sudah dijalankan dengan benar dan tepat sasaran, maka tidak ada lagi orang-orang yang celaka akibat bertabrakan, gara-gara menghindari lubang dijalan. Tidak ada lagi warga yang meninggal dunia, akibat terjatuh karena melintas di jalan yang berlubang. Dan tidak ada lagi wartawan yang mengkritik pemerintah dengan pedas, gaga-gara, korupsi dan pengkhianatan pemerintah terhadap rakyatnya.
Ditengah kemelut kemiskinan dan amburadulnya pelaYanan kesehatan yang menggelayuti kabupaten ini, terdengar kabar tak sedap, tentang rencana keberangkatan sejumlah pejabat dilingkungan pemerintah daerah, ke Singapura awal bulan maret tahun 2011.
Ketika penulis meminta kejelasan ke bagian humas pemkab Lampung Selatan, mereka tidak tidak membantah isu tersebut, namun juga tidak membenarkan. Sejauh ini humas masih enggan berkomentar. Belum jelas, maksud dan kunjungan tersebut, apakah sekedar untuk berrekreasi atau ada maksud lain.
Akan tetapi terlepas dari benar atau tidaknya isu tersebut, terlepas dari apapun tujuan perjalanan tersebut, kita berharap, pemerintah malu hati kepada rakyatnya, yang masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan, jangankan untuk jalan-jalan berekreasi, untuk sekedar mengganjal perut 3 kali sehari itu terasa sulit.
Penulis: Khairullah Aka
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI