Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu terus menjalani takdirnya, melewati beragam rintangan dalam dinamika politik.Tapi tantangan itu belum selesai. Tentu saja. Entah apakah yang terburuk sudah terlampaui. Sewindu terakhir gejolaknya demikian intens. Rumah besar dalam bingkai persatuan itu menjelma jadi ruang penuh labirin. Banyak cabang, dan setiap cabangnya membentur dinding-dinding kaku. Nyaris tak ada ujung.
Perjalanan fusi partai-partai politik Islam yang terjadi pada masa Orde Baru itu sudah merentang hampir setengah abad. Entitas bernamaUntungnya suara ulama masih didengar. Riak yang timbul karena tarik-menarik kepentingan itu langsung melandai. Konsolidasi terjadi. Lelah sudah dalam seteru sendiri. Lalu mereka-mereka yang sebelumnya berkubu, kini saling berangkulan.
Maka hari ini PPP menapaki usia setengah abadnya dengan sikap yang terlihat elegan. Setidaknya terlihat begitu.
Tawadu
Sudah tentu ini merupakan buah dari sikap rendah hati semua pihak yang berada di dalam rumah besar itu. Sikap tawadu. Juga pasti ada peran dari sosok nakhodanya yang menjadi penentu atas tahapan-tahapan penting yang muncul dalam perjalanan partai itu. Menjadikannya catatan sejarah yang dapat dipedomani ketika kelak didera masalah serupa.
Banyak pelajaran penting yang bisa diambil di masa kepemimpinan Ismail Hassan Metareum saat menggantikan Djaelani Naro. Bahkan pada masa Naro itu sendiri riaknya sangat kuat. Demikian juga pada masa Hamzah Haz, ketika satu kelompok besar ganti haluan dan berubah jadi partai sempalan. Sementara Suryadharma Ali dan Muhammad Romahurmuziy menyisakan residu yang kelabu. Lalu, sekarang Suharso Monoarfa harus berada dalam situasi sulit yang dia lebih senang menyebutnya sebagai: mission impossible.
Tetapi apa pun tantangannya, semustahil apa pun misi yang diemban ketua umumnya, partai harus selalu bangun dan berdiri. Masalah di masa lalu itu harus menjadi ingatan agar tidak muncul masalah serupa di masa depan. Lagi pula, secara usia PPP memang hampir setengah abad, tetapi sebenarnya pengalamannya jauh lebih dewasa jika merujuk pada tahun kelahiran partai-partai yang berfusi di dalamnya. Dan lazimnya manusia, semakin tua semakin bijaksana.
Maka itulah semangat yang melatari perjalanan PPP itu sendiri. Persatuan. Ini gambar besarnya. Sebab itu menjadi tidak lumrah jika ada keretakan secara internal yang berujung pada perpecahan partai. Ada perorangan yang memilih pergi, mendirikan partai baru, bergabung dengan partai lain dengan membawa gerbongnya: bedol desa. Atau hanya menjauh, sekadar menjadi sesuatu yang bukan lagi PPP.
Ekses perpecahan di masa lalu itu sudah pasti menimbulkan kerugian yang besar. Harganya terlalu mahal. Implikasinya juga jelas. Perpecahan itu menurunkan kepercayaan publik, bahkan para pemilih fanatiknya sendiri. Bagaimana konstituen bisa loyal jika internalnya tidak solid? Belum lagi ada persoalan hukum yang beruntun menimpa pucuk pimpinan partai. Lagi-lagi konstituen harus kritis. Apakah hak lima tahunan itu masih bisa dititipkan kepada partai ini? Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu akan terus menggelantung sementara jawabannya menunggu pembuktian lima tahun sekali.
Figur
Tapi perpecahan ini bukan sesuatu yang an sich di PPP saja. Hampir semua partai mengalaminya, terkecuali partai yang baru dibentuk lantas karam tak berkembang. Nyatanya partai ini tidak memudar. Tak seperti prakiraan beberapa lembaga survei. Eksistensi PPP terus terjaga.
PPP selalu dinamis menyikapi ritme politik. Mungkin salah satunya karena tidak ada sosok sentral di sana. Pemimpin di sini adalah imam, dan imam sewaktu-waktu bisa menjadi makmum. Tidak ada yang terlalu dominan, yang berpotensi menjadi tiran.
Â
Begitu pun, tak pernah pula kekurangan sosok. Mungkin karena semua sosok itu melebur dalam partai, saling bersinergi. Bukan lagi pribadi-pribadi yang tunggal. Masing-masing sosok itu menyatu dalam satu bingkai dalam rumah persatuan umat. Ya. Umat adalah kunci untuk terus meneguhkan keberlangsungan partai.
Kiblat
Jika berkaitan dengan Islam maka PPP akan selalu menjadi rujukan penting. Simbolnya saja sudah menegaskan status itu: Kakbah.
Ketika tagline Rumah Besar Umat Islam dimunculkan menjelang Pemilu 2014, ada aura kuat yang mencuat dari slogan itu. Semacam kebangkitan baru. Lebih bangkit dari kebangkitan terdahulu. Pasalnya slogan ini diiringi tawaran untuk kembali ke partai kepada mereka yang sebelumnya sempat berbeda haluan. Ajakan kembali bergabung, sepanjang masih mengarah ke kiblat yang sama.
Tetapi tentu tak melulu tentang agama. Perkembangan demokrasi dan kebangsaan menuntut partai juga untuk dinamis. Termasuk menampung aspirasi generasi milenial yang kebutuhannya cenderung berbeda dibanding generasi-generasi sebelumnya. Inilah tantangan yang berikutnya: akomodatif terhadap kebutuhan generasi terkini, milenial, Y, Z.... Â Apa pun nama generasinya.
Itu makanya, kerja sayap-sayap partai dituntut lebih menggereget, yang menyentuh persoalan di level terendah. Termasuk memenuhi kebutuhan para pemilih pemula yang bergerombol di antara generasi-generasi itu. Mereka adalah masa depan, yang akan menjadi sosok baru pewaris semangat para pendiri partai.
Sekarang adalah waktu yang pas untuk menunjukkan kiblat politik kepada mereka. Ya, sekarang. Mumpung suasana politik belum terlalu panas. Mumpung Pemilu dan Pilpres masih jauh. Mumpung survei-survei baru yang melemahkan semangat itu belum muncul.
Lebih dari itu, ada banyak masalah yang harus diselesaikan. Persoalan yang tak bisa menunggu menjelang Pemilu: musala-musala yang menjelang ambruk, kriminalitas yang terus naik, kualitas pendidikan yang tidak merata, lapangan pekerjaan, dan mungkin ini juga: kualitas internet yang tak merata.
Isu-isu ini perlu digarap secara berkesinambungan, sembari menjelaskan pentingnya politik kepada semua level generasi tersebut. Agar mereka tidak menjadi generasi apatis yang meyakini bahwa politik hanya buang energi. Agar mereka memahami bahwa isu-isu yang penting bagi mereka juga isu yang selalu penting bagi partai.
Masalahnya memang selalu tidak ada stamina menggarap pelbagai isu krusial jika bukan masuk tahun politik. Belum lagi persoalan siapa melakukan apa dan biaya dari mana. Berharap lintas generasi itu memberikan dukungan berbekal konten di media sosial juga tidak bisa membangkitkan semangat yang sama, seperti fanatisme para pemilih tradisional.
Oh, tentang pemilih tradisional itu, yang terjadi sepertinya ada kealpaan maha panjang. Identitas partai di tingkat paling bawah dalam sistem sosial kemasyarakatan sudah lama luntur. Tak ada lagi sosok yang menjadi ujung tombak partai, yang selalu hadir di musala-musala. Sosok yang tak perlu berbicara tentang partainya, tetapi dirinya sendiri sudah merupakan representasi partai itu sendiri. Bukan sesuatu yang instan semisal artis-artis rekrutan itu.
Penutup
Pada akhirnya, mekanisme utama untuk menjaga kesatuan dalam rumah persatuan umat berpulang pada sosok-sosok yang ada di dalam partai itu sendiri. Masing-masingnya haruslah mengembangkan sikap tenggang rasa: tepasalira. Bahwa setiap orang, setiap unsur dalam sistem itu, harus dilihat sebagai bagian yang penting.
Seumpama rumah, maka pondasi, tiang dan atap adalah cerminan dari bagian-bagian yang mengikat partai itu sendiri. Dengan pintunya yang ada di depan dan belakang, sehingga sebanyak apa pun masalah yang muncul, selalu tersedia jalan keluar. Tak ada lagi kebuntuan. Tak ada lagi perpecahan. Setengah abad, satu abad, maupun berabad-abad ke depan tidak ada bedanya, jika semangat persatuan itu dijunjung bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H