Mohon tunggu...
khairul ikhwan d
khairul ikhwan d Mohon Tunggu... Penulis - pernah main hujan

sedikit demi sedikit, lama-lama habis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Entitas Partai dalam Bingkai Persatuan

1 Maret 2022   10:53 Diperbarui: 1 Maret 2022   10:55 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kampanye tahun 1997. /B.J. Habibie: 72 Days as Vice President/commons.wikimedia.org.

Perjalanan fusi partai-partai politik Islam yang terjadi pada masa Orde Baru itu sudah merentang hampir setengah abad. Entitas bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu terus menjalani takdirnya, melewati beragam rintangan dalam dinamika politik.Tapi tantangan itu belum selesai. Tentu saja. Entah apakah yang terburuk sudah terlampaui. Sewindu terakhir gejolaknya demikian intens. Rumah besar dalam bingkai persatuan itu menjelma jadi ruang penuh labirin. Banyak cabang, dan setiap cabangnya membentur dinding-dinding kaku. Nyaris tak ada ujung.

Untungnya suara ulama masih didengar. Riak yang timbul karena tarik-menarik kepentingan itu langsung melandai. Konsolidasi terjadi. Lelah sudah dalam seteru sendiri. Lalu mereka-mereka yang sebelumnya berkubu, kini saling berangkulan.
Maka hari ini PPP menapaki usia setengah abadnya dengan sikap yang terlihat elegan. Setidaknya terlihat begitu.

Tawadu

Sudah tentu ini merupakan buah dari sikap rendah hati semua pihak yang berada di dalam rumah besar itu. Sikap tawadu. Juga pasti ada peran dari sosok nakhodanya yang menjadi penentu atas tahapan-tahapan penting yang muncul dalam perjalanan partai itu. Menjadikannya catatan sejarah yang dapat dipedomani ketika kelak didera masalah serupa.

Banyak pelajaran penting yang bisa diambil di masa kepemimpinan Ismail Hassan Metareum saat menggantikan Djaelani Naro. Bahkan pada masa Naro itu sendiri riaknya sangat kuat. Demikian juga pada masa Hamzah Haz, ketika satu kelompok besar ganti haluan dan berubah jadi partai sempalan. Sementara Suryadharma Ali dan Muhammad Romahurmuziy menyisakan residu yang kelabu. Lalu, sekarang Suharso Monoarfa harus berada dalam situasi sulit yang dia lebih senang menyebutnya sebagai: mission impossible.

Tetapi apa pun tantangannya, semustahil apa pun misi yang diemban ketua umumnya, partai harus selalu bangun dan berdiri. Masalah di masa lalu itu harus menjadi ingatan agar tidak muncul masalah serupa di masa depan. Lagi pula, secara usia PPP memang hampir setengah abad, tetapi sebenarnya pengalamannya jauh lebih dewasa jika merujuk pada tahun kelahiran partai-partai yang berfusi di dalamnya. Dan lazimnya manusia, semakin tua semakin bijaksana.

Maka itulah semangat yang melatari perjalanan PPP itu sendiri. Persatuan. Ini gambar besarnya. Sebab itu menjadi tidak lumrah jika ada keretakan secara internal yang berujung pada perpecahan partai. Ada perorangan yang memilih pergi, mendirikan partai baru, bergabung dengan partai lain dengan membawa gerbongnya: bedol desa. Atau hanya menjauh, sekadar menjadi sesuatu yang bukan lagi PPP.

Ekses perpecahan di masa lalu itu sudah pasti menimbulkan kerugian yang besar. Harganya terlalu mahal. Implikasinya juga jelas. Perpecahan itu menurunkan kepercayaan publik, bahkan para pemilih fanatiknya sendiri. Bagaimana konstituen bisa loyal jika internalnya tidak solid? Belum lagi ada persoalan hukum yang beruntun menimpa pucuk pimpinan partai. Lagi-lagi konstituen harus kritis. Apakah hak lima tahunan itu masih bisa dititipkan kepada partai ini? Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu akan terus menggelantung sementara jawabannya menunggu pembuktian lima tahun sekali.

Figur

Tapi perpecahan ini bukan sesuatu yang an sich di PPP saja. Hampir semua partai mengalaminya, terkecuali partai yang baru dibentuk lantas karam tak berkembang. Nyatanya partai ini tidak memudar. Tak seperti prakiraan beberapa lembaga survei. Eksistensi PPP terus terjaga.

PPP selalu dinamis menyikapi ritme politik. Mungkin salah satunya karena tidak ada sosok sentral di sana. Pemimpin di sini adalah imam, dan imam sewaktu-waktu bisa menjadi makmum. Tidak ada yang terlalu dominan, yang berpotensi menjadi tiran.
 
Begitu pun, tak pernah pula kekurangan sosok. Mungkin karena semua sosok itu melebur dalam partai, saling bersinergi. Bukan lagi pribadi-pribadi yang tunggal. Masing-masing sosok itu menyatu dalam satu bingkai dalam rumah persatuan umat. Ya. Umat adalah kunci untuk terus meneguhkan keberlangsungan partai.

Kiblat

Jika berkaitan dengan Islam maka PPP akan selalu menjadi rujukan penting. Simbolnya saja sudah menegaskan status itu: Kakbah.

Ketika tagline Rumah Besar Umat Islam dimunculkan menjelang Pemilu 2014, ada aura kuat yang mencuat dari slogan itu. Semacam kebangkitan baru. Lebih bangkit dari kebangkitan terdahulu. Pasalnya slogan ini diiringi tawaran untuk kembali ke partai kepada mereka yang sebelumnya sempat berbeda haluan. Ajakan kembali bergabung, sepanjang masih mengarah ke kiblat yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun