pasar buku bekas masa lalu. Pasar itu masih ada hingga kini, namun eksistensinya semakin redup.
Kwitang adalahTahun 80-an menjadi awal kejayaan Kwitang. Seiring dengan kehadiran Toko Buku Gunung Agung, pedagang buku bekas memenuhi setiap jengkal ruas jalan di sekitar Gunung Agung, mulai dari Jalan Kwitang Raya hingga Kramat Raya. Kwitang yang merupakan nama kelurahan di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat ini menjelma menjadi pusat perkulakan buku.
Tak hanya buku bekas, buku-buku baru juga banyak. Semuanya ditawarkan dengan harga relatif murah. Cocok untuk kantong mahasiswa dan pelajar dari keluarga kelas menengah.
"Dulu, dulu ya, semua mencari buku murah kemari," kata Taken, salah seorang pedagang di Kwitang.
Taken adalah pelaku sejarah. Dia bagian dari perkembangan ada satu-dua lapak kecil di Kwitang yang berkembang seumpama jamur menjadi ratusan lapak tahun 90-an. Lantas menjadi hanya sekitar 30-an pedagang saja saat ini.
"Sekarang ya sudah sedikit yang jual, banyak yang pindah karena penggusuran, terutama ke Pasar Senen," kata Taken.
Penggusuran itu terjadi pada Agustus 2008. Sekitar 300-an pedagang buku itu, memicu kedatangan ribuan orang setiap harinya. Jalanan yang sempit dipenuhi ribuan pengunjung orang yang membawa kendaraan. Macet parah setiap hari.
Kebijakan diambil gubernur saat itu Fauzi Bowo. Relokasi dilakukan. Ada yang dipindahkan ke Pasar Senen, Blok M Square, dan ada yang dipindahkan ke beberapa mal lain seperti Jakarta City Centre (JaCC). Sempat ada perlawanan, tapi tak berarti banyak.
Kwitang mendadak sunyi. Hanya beberapa pedagang saja yang bertahan, yang benar-benar memiliki bangunan toko. Bukan kaki lima yang menggelar lapak di pinggir jalan.
Namun di tempat yang baru, denyut transaksi tidak berjalan lancar. Dibelit sewa yang mahal, pembeli yang minim, sejumlah pedagang gulung tikar. Menjual murah asetnya pada pedagang lain, lantas berganti profesi atau pulang ke daerah asal.
Beberapa ada yang kembali ke Kwitang. Menggelar lapak di pinggir jalan. Namun harus awas dengan kedatangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta.
"Saya hanya letakkan sebagian buku saja di sini, di dalam banyak. Kalau ada yang perlu judul khusus, saya bawa ke dalam. Buku saya ikat-ikat supaya gampang memindah-mindahkan bukunya," kata Taken.
Di Kwitang, perubahan yang terjadi hari ini hanyalah pedagang dan jumlah orang datang yang semakin sedikit. Bukan karena penggusuran itu semata, tetapi perbukuan juga terkena dampak internet. Orang-orang mulai kurang membaca buku tercetak. Berpindah ke e-book maupun berburu ke laman penyedia nukilan buku seperti Google Book dan situs berbayar penyedia data hasil penelitian, maupun aplikasi Ipusnas.
Lebih dari itu, sekarang ini transaksi perdagangan berlangsung secara online. Pedagang dan pembeli bertemu di dunia maya, dihubungkan e-banking dan jasa kurir. Termasuk buku bekas. Tak perlu berburu buku di tengah debu dan panas. Cukup menyentuh layar handphone.
Namun yang bertahan tentu saja banyak. Termasuk Taken yang sudah memasuki tahun ke-20 berdagang di sini. Dia hanya mencoba bertahan, berdagang secara tradisional. Belum tahu sampai kapan. Dia tahu zaman sudah berubah, namun nilai tradisional pedagang kaki lima masih terus dipegangnya. Dia bagian dari puluhan pedagang buku yang masih ada di Kwitang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H