"Saya hanya letakkan sebagian buku saja di sini, di dalam banyak. Kalau ada yang perlu judul khusus, saya bawa ke dalam. Buku saya ikat-ikat supaya gampang memindah-mindahkan bukunya," kata Taken.
Di Kwitang, perubahan yang terjadi hari ini hanyalah pedagang dan jumlah orang datang yang semakin sedikit. Bukan karena penggusuran itu semata, tetapi perbukuan juga terkena dampak internet. Orang-orang mulai kurang membaca buku tercetak. Berpindah ke e-book maupun berburu ke laman penyedia nukilan buku seperti Google Book dan situs berbayar penyedia data hasil penelitian, maupun aplikasi Ipusnas.
Lebih dari itu, sekarang ini transaksi perdagangan berlangsung secara online. Pedagang dan pembeli bertemu di dunia maya, dihubungkan e-banking dan jasa kurir. Termasuk buku bekas. Tak perlu berburu buku di tengah debu dan panas. Cukup menyentuh layar handphone.
Namun yang bertahan tentu saja banyak. Termasuk Taken yang sudah memasuki tahun ke-20 berdagang di sini. Dia hanya mencoba bertahan, berdagang secara tradisional. Belum tahu sampai kapan. Dia tahu zaman sudah berubah, namun nilai tradisional pedagang kaki lima masih terus dipegangnya. Dia bagian dari puluhan pedagang buku yang masih ada di Kwitang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H