Di wilayah Simalungun, Pemerintah Kolonial dan misionaris mendatangkan petani dan pegawai beragama Kristen yang berasal dari selatan Danau Toba. Pelarangan juga dilakukan terhadap pendakwah yang ingin mendirikan kedai di wilayah Batak karena kedai dianggap sebagai tempat yang strategis untuk penyebaran Islam, tetapi izin diberikan kepada misionaris untuk membuka kedai yang memang dimaksudkan untuk tempat penyebaran agama (hal 237).
Kekhawatiran Belanda terhadap Islam dipicu masalah yang dihadapinya ketika perang dengan Aceh yang membutuhkan waktu demikian lama. Pengaruh Aceh sebagai basis Islam yang terus bergerak memasuki wilayah Batak dianggap berbahaya untuk kepentingan kolonialisasi. Maka, dipandang perlu mengembangkan agama Kristen secara lebih intensif di Bataklandeen.
Dalam salah satu pidatonya dalam sidang di parlemen Belanda, anggota Tweede Kamer (Dewan Kedua), JT Creemer, menilai masalah Aceh ini menjadi dasar penting untuk membuat misi Nederlandsche Zendelinggenootschap ke wilayah Batak. Menurut pendapatnya, tidak diragukan bahwa setelah berpindah agama, orang Batak tidak akan menimbulkan masalah bagi penguasa kolonial (hal 261).
Misionaris
Islam lebih dahulu masuk ke Tanah Batak, baik karena andil perdagangan di Barus, infiltrasi, maupun intervensi Aceh, serta serangan dari pasukan Paderi. Namun, pada akhirnya misionaris yang datang ke Batak berhasil mengangkat identitas etnik dan agama sebagai sebuah identitas yang menyatu. Seperti halnya keidentikan Melayu dengan Islam, maka Batak juga diidentikkan dengan Kristen. Identitas etnik memang kadang-kadang berimpit dengan ikatan-ikatan agama dan berbagai ciri-ciri primordial lainnya sehingga ikatan itu menjadi sangat kuat. Ikatan-ikatan primordial ini dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu berdasarkan situasi yang berbeda-beda (Pelly, 2003).
Dalam buku ini, Perret menunjukkan, ternyata kepentingan dari luar kelompok etnik dapat memberi warna dan bahkan memberi pengaruh besar pada perkembangan kelompok etnik itu sendiri. Pembatasan wilayah dan penyebaran agama ternyata memberi makna yang kuat, memperteguh kebatakan anggota kelompok etnik itu. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Barth (1988), yang menilai ada dua faktor utama yang mampu mempertahankan budaya suatu suku atau bangsa, yakni faktor isolasi geografis dan isolasi sosial.
Pembatasan wilayah Batak dan Melayu yang dilakukan Belanda berdasarkan geografis, membuat kedua aspek tersebut ada, dan bisa jadi merupakan salah satu alasan mengapa eksistensi Batak masih kuat sampai sekarang.
Judul: Kolonialisme dan Etnisitas. Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut
Penulis: Daniel Perret
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: I (Pertama), 2010
Kolase: 448 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H