Mohon tunggu...
khairul ikhwan d
khairul ikhwan d Mohon Tunggu... Penulis - pernah main hujan

sedikit demi sedikit, lama-lama habis

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Krisis Energi yang Mengancam Kemajuan Peradaban

6 Februari 2022   08:16 Diperbarui: 6 Februari 2022   12:44 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angin sebagai sumber energi terbarukan /@wagner_chr

Krisis energi sudah di depan mata. Indonesia dibayangi kebutuhan energi yang tinggi sementara ketersediaan pasokan semakin menipis. Minyak bumi menjelang habis, gas berkurang dan listrik mulai sering padam. Krisis energi yang terjadi, bukan tak mungkin akan mengancam kemajuan peradaban kita. Perkembangan kebudayaan suatu suku bangsa sangat berkorelasi dengan ketersediaan energi dan tingkat konsumsi  energi itu sendiri. Semakin banyak energi yang dikonsumsi, maka akan semakin berkembang kebudayaannya.

Ihwal korelasi antara konsumsi energi dengan kemajuan kebudayaan pernah dibahas antropolog Leslie A. White dalam artikelnya Energy and The Evolution of Culture. Artikel itu dimuat dalam Jurnal American Anthropologist edisi July - September 1943.

Dalam artikel itu, White mendefinisikan kebudayaan seperti ini: Culture is kind of behavior. And behavior, whether of man, mule, plant, comet or molecule, may be treated as a manifestation of energy. (Kebudayaan adalah jenis perilaku. Dan perilaku, baik manusia, keledai, tanaman, komet atau molekul, dapat diperlakukan sebagai manifestasi energi).

Dalam penjelasannya White menyatakan, kebudayaan berkembang bila jumlah energi yang dapat dihimpun untuk setiap anggota masyarakat dalam satu tahun bertambah, atau bila ada peningkatan efisiensi dalam cara penggunaan energi. Maka dengan pemahaman yang sama, dapat disimpulkan jika energi yang dihimpun terbatas kebudayaannya tidak akan berkembang.

Api dan Evolusi Kebudayaan

Perkembangan kebudayaan manusia sangat bergantung pada ketersediaan energi. Seperti tubuh yang mengolah makanan menjadi sumber tenaga, maka seperti itu pulalah energi mendukung perkembangan kebudayaan.

Pada zaman silam, manusia purba mengandalkan apa yang disediakan alam secara apa adanya. Matahari, air, dan angin sebagai sumber energi. Semua yang disediakan alam dimanfaatkan sebesar-besarnya menjadi daya dukung kehidupan. Tenaga yang bersumber dari alam dimanfaatkan untuk mendukung kelangsungan hidup, termasuk memanfaatkan tenaga hewan.

Tahapan berikutnya, sekitar satu juta tahun lalu, manusia menemukan cara membuat api. Kreasi manusia pun berkembang. Api menyebabkan meningkatnya kemampuan dalam mengolah makanan, membuat perkakas yang lebih baik. Besi ditemukan dan semuanya menjadi lebih mudah. Orang-orang mengenal perkakas baru yang bukan terbuat dari batu, kayu atau tulang.

Api menjadi sumber energi yang luar biasa. Penggunaan api merupakan titik awal perubahan besar pada evolusi manusia. Api pun dipuja para penganut kepercayaan zaman silam dalam berbagai ritual keagamaan. Api merevolusi kebudayaan dan masih terus dipergunakan hingga sekarang.

Tak hanya api, temuan sumber energi itu terus berkembang, minyak, gas, panas bumi dan sebagainya. Listrik ditemukan dan menjadi sumber energi sekunder, dan berikutnya pembangkit listrik dibangun. Di sebagian negara pembangkit listrik sudah menggunakan nuklir namun kita masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan di Belawan ada Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) yang beberapa tahun belakangan lebih banyak rusaknya.

Listrik merupakan salah satu sumber energi utama yang memajukan kebudayaan kita saat ini. Unsur-unsur kebudayaan beradaptasi dengan perkembangan itu, yakni sistem peralatan dan perlengkapan, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi.

Ketika listrik padam, maka daya dukungnya untuk meningkatkan kebudayaan juga terganggu. Krisis listrik menyebabkan industri mati suri, tak ada produksi. Keterbatasan listrik itu disambung lagi dengan kenyataan bahwa Indonesia sekarang adalah pengimpor minyak, net oil importer. Ladang minyak kita tak cukup memenuhi kebutuhan di dalam negeri, dan celakanya ketersediaan gas juga cenderung menurun.

Penduduk Indonesia banyak, namun pasokan energi terbatas, maka tingkat konsumsi energinya rendah. Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) menyatakan, tingkat konsumsi energi Indonesia pada tahun 2010 berada di angka 0,9 TOE (Tonnes of Oil Equivalent/setara ton minyak) per kepala. Bandingkan angka itu dengan Singapura yang mencapai angka 4,0, Malaysia 2,7 dan Thailand 1,6. Konsumsi energi tertinggi adalah Kanada yakni 7,6, dan di bawahnya Amerika Serikat sebesar 7,3. Sementara dua yang terbawah dalam indeks itu yakni Pakistan 0,5 dan Filipina 0,4 TOE. Dengan sajian angka-angka itu kita juga menilai perkembangan kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tersebut.

Tetapi sebenarnya kita sendiri menyadari, kebutuhan energi kita tinggi, namun tak tercukupi. Konsumsi energi terbatas karena keterbatasan pasokan. Orang-orang tidak bisa berkreasi secara bebas karena begitu banyaknya keterbatasan. Elektrifikasi nasional belum seratus persen, karena banyak rumah tangga yang belum dialiri listrik. Kalaupun rumahnya dialiri listrik, belakangan sering padam seperti yang terjadi di Medan beberapa tahun belakangan.

Inovasi manusia sebagai makhluk berbudaya terbatas karena terbatasnya pasokan energi. Inovasi merupakan pilar untuk pengembangan budaya, agar tidak stagnan. Inovasi dalam memanfaatkan api membuat budaya berkembang, penemuan listrik bahkan meningkatkan kemajuannya melesat jauh lebih tinggi lagi dibanding ketika manusia masih sebatas sebagai pemburu dan peramu.

Keterbatasan pasokan energi pada suatu kelompok masyarakat, akan membuat apa yang sudah tercapai tidak bisa bergerak maju. Jika krisis energi terus berlanjut, maka otomatis kemunduran peradaban bisa terjadi.

Jika keterbatasan energi itu terkotak pada satu areal saja, katakanlah krisis listrik di Sumatera Utara saja, maka kecenderungannya perkembangan kebudayaan di provinsi ini akan mengalami pelambatan kemajuan dibanding sebagaimana harusnya. Bentuknya, bisa dilihat nanti dibandingkan dengan daerah yang listriknya menyala terus. Tentu ini bukan kesimpulan akhir, tetapi nanti ketika terasa seperti ada ketertinggalan yang parah dalam hal daya saing, pendidikan, kreasi budaya dan lainnya, setidaknya kita punya alternatif untuk menduga penyebabnya apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun