Ketika listrik padam, maka daya dukungnya untuk meningkatkan kebudayaan juga terganggu. Krisis listrik menyebabkan industri mati suri, tak ada produksi. Keterbatasan listrik itu disambung lagi dengan kenyataan bahwa Indonesia sekarang adalah pengimpor minyak, net oil importer. Ladang minyak kita tak cukup memenuhi kebutuhan di dalam negeri, dan celakanya ketersediaan gas juga cenderung menurun.
Penduduk Indonesia banyak, namun pasokan energi terbatas, maka tingkat konsumsi energinya rendah. Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) menyatakan, tingkat konsumsi energi Indonesia pada tahun 2010 berada di angka 0,9 TOE (Tonnes of Oil Equivalent/setara ton minyak) per kepala. Bandingkan angka itu dengan Singapura yang mencapai angka 4,0, Malaysia 2,7 dan Thailand 1,6. Konsumsi energi tertinggi adalah Kanada yakni 7,6, dan di bawahnya Amerika Serikat sebesar 7,3. Sementara dua yang terbawah dalam indeks itu yakni Pakistan 0,5 dan Filipina 0,4 TOE. Dengan sajian angka-angka itu kita juga menilai perkembangan kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tersebut.
Tetapi sebenarnya kita sendiri menyadari, kebutuhan energi kita tinggi, namun tak tercukupi. Konsumsi energi terbatas karena keterbatasan pasokan. Orang-orang tidak bisa berkreasi secara bebas karena begitu banyaknya keterbatasan. Elektrifikasi nasional belum seratus persen, karena banyak rumah tangga yang belum dialiri listrik. Kalaupun rumahnya dialiri listrik, belakangan sering padam seperti yang terjadi di Medan beberapa tahun belakangan.
Inovasi manusia sebagai makhluk berbudaya terbatas karena terbatasnya pasokan energi. Inovasi merupakan pilar untuk pengembangan budaya, agar tidak stagnan. Inovasi dalam memanfaatkan api membuat budaya berkembang, penemuan listrik bahkan meningkatkan kemajuannya melesat jauh lebih tinggi lagi dibanding ketika manusia masih sebatas sebagai pemburu dan peramu.
Keterbatasan pasokan energi pada suatu kelompok masyarakat, akan membuat apa yang sudah tercapai tidak bisa bergerak maju. Jika krisis energi terus berlanjut, maka otomatis kemunduran peradaban bisa terjadi.
Jika keterbatasan energi itu terkotak pada satu areal saja, katakanlah krisis listrik di Sumatera Utara saja, maka kecenderungannya perkembangan kebudayaan di provinsi ini akan mengalami pelambatan kemajuan dibanding sebagaimana harusnya. Bentuknya, bisa dilihat nanti dibandingkan dengan daerah yang listriknya menyala terus. Tentu ini bukan kesimpulan akhir, tetapi nanti ketika terasa seperti ada ketertinggalan yang parah dalam hal daya saing, pendidikan, kreasi budaya dan lainnya, setidaknya kita punya alternatif untuk menduga penyebabnya apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H