Mohon tunggu...
Khairul Azmi
Khairul Azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pendaki

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menukar Alam Dengan Uang: Mengorbankan Masa Depan Keanekaragaman Hayati

3 Januari 2025   18:28 Diperbarui: 3 Januari 2025   18:28 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menukar Alam dengan Uang: Mengorbankan Masa Depan Keanekaragaman Hayati


Oleh: Khairul Azmi

Helikopter terbang dari Kalimantar Timur, dengan kekuatan baling-balingnya, mengantar aku untuk melayang lebih tinggi. Dari atas helikopter, aku keker teropongku kebawah sana. Dahsyat, berdiri sebuah mahakarya alam yang tak tertandingi, Bumi Borneo, sebuah kerajaan hijau yang penuh akan keajaiban. hutan tropis yang menjadi tempat tinggal bagi ribuan spesies flora dan fauna yang tidak ditemukan di belahan dunia mana pun. Mengutip dari Rheza Maulana, S.T., M.Si. Di forum Bumi National Geographic Indonesia "Indonesia adalah Surga Keanekaragaman Hayati yang dikenal sebagai negara megabiodiverse terbesar ke-2 di dunia setelah Brazil, di pulau Kalimantan saja, setara dengan benua Eropa atau Australia.
Helikopter melayang lebih tinggi, Aku meneropong, pohon-pohon raksasa menjulang seperti tiang-tiang alam, menggapai langit dengan cabang yang berimbun dedaunan. Di bawah naungannya, kehidupan berdenyut tanpa henti, di dahan pohon tertinggi, seekor orangutan betina bergelantungan di dahan pohon meranti. Tubuhnya yang berwarna cokelat kemerahan berpadu sempurna dengan warna dedaunan. Di dadanya, seekor anak orangutan mungil memeluk erat, menggantungkan seluruh hidupnya pada kehangatan dan perlindungannya, sang ibu memetik buah ara matang dari cabang di atasnya, membelahnya dengan jari-jarinya yang panjang dan lentur. Ia menggigit separuh, lalu menyuapkan sisa buah itu kepada anaknya. Sang anak, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu, mencoba meraih potongan lain di tangan ibunya, tetapi gerakannya yang canggung hanya membuat sang ibu tersenyum. Sedangkan didarat, di antara akar-akar pepohonan yang mencengkeram tanah, sepasang kijang terlihat berjalan beriringan. Sang jantan, dengan tanduk kecil yang mulai tumbuh, berjalan dengan anggun, sesekali menundukkan kepala untuk memastikan pasangannya berada di dekatnya. Sang betina, dengan tubuh mungil dan langkah hati-hati, namun mereka tidak tahu bahwa ada macan dahan yang sedang mengintainya. Sang betina berhasil kabur, dan sang jantan telah mendapatkan cengkraman sang macan tepat dilehernya. Saya tahu, ini bukan hanya tentang perburuan hidup, ini tentang rantai makanan yang sudah berjalan ribuan tahun, demi keseimbangan ekosistem alam.
Sang baling-baling terus membawa kami kearah barat Bumi Borneo, betapa kagetnya, mengiris hati. Ya, betapa hancurnya hati saya, dibawah sana, Hutan terlihat gundul, gergaji mesin memotong satu per satu pohon yang menjulang tinggi, tidak jauh dari sana saya melihat truk-truk besar mengangkut kayu gelondongan, menumpuknya seperti hasil panen. Burung Kangkareng Hitam berterbangan, entah mau kemana, rumah mereka telah rusak demi ambisi ekonomi negara. Saya datang kesini, bumi ini, borneo, kalimantan, untuk melihat keindahan hutan ini, Namun, yang saya temukan bukan keajaiban alam, melainkan kehancuran yang mengiris hati. Saya meminta Sang Pilot untuk melaju, menghapus pandangan dari deforestasi. Dalam hati, "Ini harus aku pikirkan, ini tidak boleh terjadi, bagaimanapun, saya mencintai bumi ini, bukan hanya Borneo, tapi satu Indonesia".
Lima menit sudah kami tinggalkan kawasan tadi, tiba-tiba asap hitam mengepul, menutupi pandangan Sang Pilot, helikopter hendak berbelok, keluar dari gumpalan asap hitam. Baru terlihat, ternyata pabrik batubara dengan cerobongnya yang besar mengeluarkan asap hitam itu, langit sudah tidak lagi biru. Hitam, dunia seperti sedang berkabung. Tuhan, ini baru di Kalimantan, bagaimana kalau diseluruh pulau besar, pabrik-pabrik melakukan hal yang sama? Keanekaragaman hayati akan punah, dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, dikatakan bahwa "Hilangnya keanekaragaman hayati dapat mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem. Saat ini, sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan." Hilangnya satu spesies saja dapat memiliki efek domino yang mengganggu seluruh ekosistem, yang pada akhirnya mempercepat perubahan iklim. Misalnya, penurunan populasi tumbuhan tertentu dapat memengaruhi populasi hewan pemakan tumbuhan, predatornya, dan seterusnya. Selain itu, polusi yang disebabkan oleh pabrik-pabrik tersebut akan menjadi salah satu penyebab utama efek rumah kaca yang mempercepat pemanasan bumi. Ketika batu bara dibakar untuk menghasilkan energi, gas seperti karbon dioksida (CO) dilepaskan ke udara. Gas ini membentuk lapisan di atmosfer yang menjebak panas dari matahari, sehingga suhu bumi menjadi lebih panas. Lagi-lagi hal ini mempengaruhi perubahan iklim. Pemanasan ini juga mencairkan es di kutub dan gletser, sehingga permukaan laut naik dan mengancam kota-kota pesisir serta pulau-pulau kecil. Selain itu, pola cuaca menjadi tidak menentu, dengan badai, banjir, dan kekeringan yang semakin sering terjadi. Ekosistem pun terganggu, banyak spesies kehilangan habitatnya dan terancam punah, termasuk terumbu karang yang mengalami pemutihan akibat suhu laut yang memanas. Pemanasan global juga mengurangi ketersediaan air bersih, merusak tanaman pangan, dan memengaruhi kesehatan manusia, seperti meningkatnya risiko penyakit akibat cuaca ekstrem atau penyebaran penyakit tropis.
 Ya Tuhan, sangat berbahaya. Aku menghela nafas, ku arahkan pandanganku kearah jendela helikoper, mulai berfikir, dampak dari kepunahan keaenakaraman hayati saja sudah separah ini, apa yang menyebabkan keanekaragaman hayati ini punah? Otak mulai berfikir keras, jika disederhanakan begini, keanekaragaman hayati punah sebab rumah dan lingkungannya diberantas, kenapa diberantas? Untuk membangun pabrik-pabrik, penggundulan hutan yang digantikan kebun sawit, bahkan alih-alih membuat lumbung pangan, yang akhirnya gagal. Demi devisa negara dan pemasok-pemasok lainnya, harus merelakan kepunahan keanekaragaman hayati? Polusi pabriknya mengancam perubahan iklim, gergaji mesinnya merobohkan rumah-rumah satwa penyeimbang ekosistem alam, sebanding kah? Kerusakan ini dengan keuntungan negara? Ya, semua tentu sudah sesuai dengan undang-undang, hukum yang berlaku, tentu juga memperhatikan AMDAL, namun dengan semua kerusakan ini, kita tidak boleh menutup mata, harus melihat ke lapangan, bukan hanya dari kacamata hukum. Toh, hukum yang berlaku masih dibuat manusia, tidak menutup kemungkinan bahwa tidak akan menyentuh Triple Planetary Crisis, tapi jika dilihat daru segi pragmatis, tanpa adanya hukum, kerusakan alam yang dampaknya luar biasa itu, mungkin sudah melebihi sekarang ini.
Helikopter menuju tujuan terakhir, Sungai Mahakam, disana kami tidak melihat dari teropong, melainkan turun dari helikopter. Helikopter butuh mengisi bahan bakar Avtur. Sambil menunggu, saya berjalan sekitar satu kilo menuju sungai. Saya sudah membayangkan betapa jernihnya sungai itu, suara arusnya berpadu dengan lompatan pesut mahakam dan kicauan burung yang membawa pesan kebebasan yang telah ada selama ribuan tahun, jauh sebelum manusia mengenal apa itu ambisi ekonomi negara. Namun tepat hampir sampai, langkah terhenti, terkejut melihat keadaan sungai yang sangat bertolak belakang dengan bayangan, Air sungai yang biasanya jernih kini keruh kecokelatan, penuh dengan sampah plastik, botol bekas, dan limbah rumah tangga. Bau tak sedap menusuk hidung, dari sini saya sadar kerusakan alam terbagi menjadi dua, kerusakan struktural yang disebabkan perusahaan, tidak peduli milik negara atau swasta, dan kerusakan personal, seperti yang ada didepan mata saya saat ini, yang disebabkan oleh individu. Saya merasa marah, apa hendak buat? Sudah begini, siapa mau disalahkan? Dimana pesut mahakam yang saya dambakan tadi? Sekarang hanya berserakan sampah, limbah rumah tangga, botol plastik, tinja. Saya kembali ke landasan helikopter, memutuskan hendak menunggu saja. Setelah selesai mengisi bahan bakar, semua naik, helikopter kembali naik, menggemuruhkan baling-baling, menghamburkan daun kering yang berserakan.
Di udara kembali teringat, betapa pentingnya isu Biodiservitas ini, dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia menjelaskan "Keanekaragaman hayati di bumi semakin terancam oleh berbagai aktivitas manusia yang bersifat merusak, seperti degradasi habitat, deforestasi, dan perburuan liar. Aktivitas-aktivitas ini termasuk dalam kategori antropogenik, yang berarti tindakan yang disebabkan langsung oleh manusia. Kehilangan spesies dan kerusakan ekosistem yang terjadi akibat aktivitas tersebut membawa dampak besar bagi keseimbangan alam. Ekosistem yang rusak akan kehilangan kemampuan untuk mendukung kehidupan, baik untuk hewan, tumbuhan, maupun manusia. Selain itu, degradasi habitat yang dilakukan manusia, seperti pembukaan lahan hutan untuk pertanian atau pertambangan, menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah berlebih, terutama karbon dioksida (CO) dan metana (CH). Gas-gas ini menyebabkan efek rumah kaca yang mempercepat pemanasan global." Lagi-lagi pemanasan global. Sayangnya diforum tersebut tidak disinggung penyebab dari pada sebabnya, contohnya: penyebab polusi udara yaitu didominasi oleh pabrik-pabrik seperti batubara, lalu penyebab deforestasi antara lain hendak dibuatnya lumbung pangan, tambang, perkebunan sawit, yang belakangan ini presiden kita mengatakan pohon sawit punya daun dan akar yang bisa menggerakan fungsi sebagaimana pohon pada hutan hujan tropis, karena tema tulisan ini menyangkut tentang keanekaragaman hayati, saya bertanya kepada orang tua, "apakah orang utan bisa tinggal dipohon sawit? Apakah burung-burung penghuni kanopi nyaman dilingkungan kelapa sawit? Dan masih banyak lagi, sekelas presiden tidak bisa membedakan fungsi kebun sawit dengan hutan hujan tropis, sebagai penyeimbang ekosistem alam. Semua menjadi sumber dari kapital alam sehingga bisa dikuantifikasi dan diperdagangkan di pasar dunia. Biodiversitas dengan demikian diubah menjadi pencipta kredit offset dengan membiarkan perusahaan-perusahaan penghasil polusi dan pemerintah untuk tetap melanjutkan kekacauan ekologis.
Helikopter terbang lebih tinggi daripada berangkat tadi, karena sudah selesai eksplorasi kami, dengan terbang lebih tinggi semua tampak terlihat, teringat pada lirik lagu "Hutan, gunung, sawah, lautan. Simpanan kekayaan" pada lagu Ibu Pertiwi. Saya yakin arti dari kekayaan yang dimaksud hutan dengan flora dan faunanya, bukan hutan hanya sekedar lapaknya, gunung kaya akan tanah yang subur sehingga menghasilkan sayuran dan buah buahan, bukan kaya akan pasir dan emasnya, lautan kaya akan ikan dan karang-karangnya, bukan minyak buminya. Helikopter sampai pada landasan, sambil turun saya menelpon tim yang sedang melakukan hal serupa, mereka bergerak di Tesso Nilo, Singkil, Gunung Patah, Halimun Salak, Alas Purwo, Halmahera, dan beberapa titik lagi di daerah Papua. Mereka menjawab, "Kurang lebih sama seperti diwilayahmu, sama seperti Kalimantan". Memang faktanya ekonomi selalu bertentangan dengan ekosistem.
Di rumah warga tempat saya singgah, saya menulis ini. Lalu rekan saya bertanya "Beragam Spesies Terancam Punah, Bagaimana Nasib Puspa dan Satwa Indonesia?" Jika perusahaan-perusahaan itu tetap merusak lingkungan dengan alasannya yang sangat dipentingkan, demi ekonomi negara, saya berpendapat Bumi tidak akan terselamatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun