Mohon tunggu...
Khairul Anwar
Khairul Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Warga Bumi

Penikmat Teh Anget di Pagi Hari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Tabloid BOLA dan Alasan Koran tak Lagi Banyak Beredar

12 Agustus 2023   13:36 Diperbarui: 12 Agustus 2023   13:39 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tribunnews.com

Di era gempuran pamer ayang teknologi media digital, membaca koran atau tabloid menjadi aktivitas yang sudah sangat langka dilakukan orang. Seorang teman pernah berkata kepada saya bahwa membaca koran merupakan aktivitas yang hanya membuang-buang waktu. Pendapat itu ia kemukakan berdasarkan prinsip bahwa membaca berita sekarang ini bisa dilakukan secara online via gawai, mengapa harus repot-repot membaca berita di media cetak.

Tentu saja saya kurang sreg dengan pandangan teman saya itu. Sebab bagi saya, membaca koran atau tabloid di era modern ini masih merupakan aktivitas yang cukup mengasyikkan. Apalagi membacanya sambil duduk di bawah pohon rindang dengan ditemani secangkir teh hangat dan berbagai hidangan gorengan.

Meski sama-sama media cetak, koran dan tabloid itu memiliki perbedaan yang mendasar. Koran biasanya terbit setiap hari dan ukurannya lebih besar. Topik yang dibahas pun beragam. Sedangkan tabloid berukuran lebih kecil dan terbit secara berkala, misal mingguan atau bulanan. Dan topik yang dibahas pun tertentu, misalnya tabloid olahraga, tabloid remaja, tabloid otomotif dan sebagainya. 

Sayangnya keinginan orang-orang macem saya yang ngebet untuk terus membaca tabloid atau koran sudah mulai agak susah. Sebab karya jurnalistik cetak yang sering saya baca, dan menjadi favorit itu sudah nggak terbit lagi. Alias sudah nggak muncul lagi di pasaran. Penyebabnya apa lagi kalau bukan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. 

Banyak perusahaan penerbit koran, majalah ataupun tabloid yang harus gulung tikar dan akhirnya tutup karena hal tersebut. Media cetak dihadapkan dengan mahalnya biaya produksi dan perubahan budaya masyarakat yang cenderung lebih suka menggunakan gawai mereka untuk mencari informasi dan membaca media massa serba digital.

Segala bentuk informasi yang kini menjadi digital menciptakan dampak besar pada dunia permediaan, terutama media cetak. Media online memberikan warna baru untuk kalangan pers dan para pembaca berita, yaitu berita yang cepat, mudah di akses, dan murah. Media yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman ini akan lambat laun akan banyak yang tutup. 

Salah satunya adalah tabloid BOLA. Inilah media cetak favorit yang saya maksud. Harus diakui, bahwa saya memang sangat menggemari tabloid ini. Selama kurang lebih 10 tahun, tabloid BOLA telah menemani saya dikala luang. Sebelum gulung tikar pada Oktober 2018, saya sering membelinya di toko penjual koran atau di lapak-lapak koran pinggir jalan di Kota Pekalongan. Kalau BOLA habis saat itu, tabloid SOCCER akan menjadi pilihan kedua. 

Dalam sejarahnya, tabloid dengan nama BOLA ini awalnya terbit sebagai sisipan harian Kompas pada 3 Maret 1984, namun empat tahun kemudian mulai diterbitkan terpisah. BOLA hadir menyapa pembacanya setiap seminggu sekali yakni setiap hari Jumat sampai dengan tahun 1997. Setelah itu, BOLA terbit setiap dua kali seminggu pada hari Selasa dan Jumat.

Pada tahun 2013, BOLA sempat terbit setiap hari sebagai Harian BOLA. Namun dua tahun setelahnya, mereka kembali ke bentuk tabloid yang terbit dua kali sepekan. BOLA mendapat julukan dari penggemarnya sebagai 'kitab suci' olahraga Indonesia. Saya pun sependapat dengan hal itu. Sebab, informasi yang diulas oleh BOLA cukup bervariasi, nggak cuma sepakbola saja, tapi dunia olahraga lain juga dibahas, meski ulasan untuk sepakbola jauh lebih banyak. 

Media cetak yang digawangi oleh wartawan bernama Ignatius Sunito dan Sumohadi Marsis ini, menurut saya, punya peran penting dalam perkembangan literasi di Indonesia. Khususnya mereka yang menyukai dunia olahraga. Saya mengakui, pengetahuan saya seputar dunia olahraga, khususnya tentang sepakbola dan bulutangkis terus terupdate, salah satunya karena sering membaca tabloid ini. 

Saya pertama kali mengenal BOLA sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kakak saya kerap membeli dan membaca tabloid ini sehingga setelahnya akan saya ambil alih untuk saya baca sendiri. 

Singkat cerita, saya mulai mampu membeli tabloid BOLA sendiri dengan menggunakan uang sisa saku sekolah yang saya kumpulkan. Kebiasaan itu saya lakukan sampai saya masuk ke perguruan tinggi. Tingginya minat saya pada dunia olahraga, membuat saya tak sungkan untuk mengeluarkan cuan demi tabloid yang jumlah halamannya mencapai 32 lembar, bahkan di edisi khusus bisa mencapai 40 halaman, nyaris sama dengan jumlah halaman proposal skripsi.

Padahal bisa saja saya manfaatkan Hape untuk mencari dan membaca informasi dunia olahraga dari laman internet. Namun, saya masih tetap setia memilih untuk membaca tabloid cetak. Selain sebagai pengisi waktu luang yang menyenangkan, membaca tabloid juga untuk memperbaiki suasana hati. Sama seperti saat kita membaca buku. 

Bahasan berita seputar sepakbola dalam negeri adalah bagian yang menjadi tujuan utama saya membaca tabloid ini. Ini karena memang saya menyukai sepakbola Indonesia, meski tak bisa dimungkiri bahwa sepakbola Indonesia nggak bisa memberikan prestasi membanggakan. 

Selain seputar sepakbola Indonesia, BOLA juga mengulas cukup lengkap mengenai tiga liga terbaik dunia, Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol dan Serie A Italia. Selain itu juga ada pembahasan mengenai gaya hidup pemain, dan salah satu yang membuat saya suka dengan tabloid ini adalah hadirnya sang maskot BOLA yakni si gundul. Si Gundul sang maskot selalu hadir dengan cerita-cerita kocaknya. 

Kini, semua cerita itu hanya tinggal kenangan. Tabloid-tabloid BOLA yang pernah saya beli pun kini hanya menumpuk di atas lemari. Saya memang sengaja nggak ngejual koran dan tabloid bekas itu ke tukang loak. Karena bagi saya, tabloid dan koran bekas itu masih cukup berharga. Misalnya dibuat kliping, agar suatu saat bisa dibaca kembali.

Selepas BOLA kukut pada 2018, saya kemudian beralih membeli koran bernama TOPSKOR. Hampir sama dengan BOLA yakni membahas seputar dunia olahraga. Namun, TOPSKOR juga akhirnya berhenti publikasi pada Maret 2020. Sejak saat itu, saya mulai agak jarang baca koran atau tabloid lagi. Dan mau nggak mau saya harus beralih dengan membaca informasi via digital di media online. 

Tentu saja, surat kabar (cetak) dan media online memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Koran atau tabloid terkesan lambat, segala info yang terjadi hanya dapat dinikmati oleh pembaca keesokan harinya. Lha gimana lagi wong informasi yang uptodate sudah dibombardir habis-habisan melalui televisi dan media online, mereka memiliki keuntungan dalam hal kecepatan dan kemudahan distribusi informasinya sih. 

Meski perkembangan teknologi digital meredupkan bisnis media cetak. Hikmahnya, perkembangan dan perubahan pembaca dari media cetak ke online akan sedikit menyelamatkan peradaban sekaligus melestarikan lingkungan, minimal mengurangi penggunaan kertas. Yo pok?

Tulisan ini pernah tayang di Kotomono.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun