Bagi saya, jika memang hendak memutuskan hubungan, Indonesia mestinya menyodorkan alasan-alasan yang lebih jelas. Misal soal kemanfaatan, intervensi, atau soal pelanggaran kedaulatan wilayah dan pertimbangan strategis lainnya. Karena sebuah hubungan mestinya dibangun atas dasar kesetaraan, saling menghormati dan saling menguntungkan.
Selain itu, meski tentu saja kewaspadaan harus selalu dijaga dan ditingkatkan, perasaan curiga berlebihan, inferior dan 'feel insecure' sudah saatnya dibalik. Indonesia harus 'pede' bahwa sebenarnya dengan demografi, geografi maupun kemampuan pertahanan kita, justru kitalah yang lebih berpotensi menjadi ancaman. Justru kita diperhitungkan. Dengan potensi sestrategis kita, lalu kita masih merasa tidak nyaman dengan tetangga, sebenarnya yang salah itu respon kita terhadap lingkungan ataukah sebaliknya?
Pertanyaannya seberapa mendalam kajian yang dilakukan sebelum keputusan diambil? Apa saja opsinya? Kenapa tidak melalui mekanisme diplomatik terlebih dulu, semisal nota protes, penarikan atase dan lainnya? Apa sebenarnya target yang ingin dicapai? Saya kuatir, ini lebih bermotif politik domestik.
Tapi karena ini sudah terlanjur dideklarasikan, langkah berikutnya adalah menghentikan kesimpangsiuran dengan menjelaskan secara gamblang. Parlemen juga harus mengevaluasi langkah ini secara obyektif dan meminta otoritas pertahanan segera menyodorkan rencana mitigasi, sebagai tindak lanjut dan antisipasi.Â
Jika langkah pemutusan dinilai tepat, tentunya segera dipikirkan langkah berikutnya apakah mengalihkan kerjasama atau membuka ruang negosiasi untuk hubungan yang lebih konstruktif. Jika evaluasi menyimpulkan bahwa langkah itu keliru, tentu harus ada yang bertanggungjawab. Termasuk jika ternyata benar bahwa langkah itu hanya bentuk aksi yang baper dan lebay. Semoga tidak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H