Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Hard Approach" Menguat Lagi, Strategi Pemberantasan Teror Malah Melemah

22 Desember 2016   04:08 Diperbarui: 22 Desember 2016   04:22 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyikapi itu, juga potensi meningkatnya aktivitas penanggulangan teror ke depan, Polri dan tentu saja BNPT perlu mengatasi kekurangpiawaian menyampaikan dan mengelola informasi kinerja dan agenda aksinya. 

Harus ada cara komunikasi yang tepat dan berkualitas untuk menjawab skeptisisme dan kritik publik bahwa penegakan hukum terhadap terorisme adalah upaya kooptasi atau bahkan bagian dari isu lain yang tengah menjadi perhatian masyarakat.

Perlu diingat, saat ini pernyataan resmi Polri bukanlah satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat. Tentu saja 'second opinion' berpotensi lebih meyakinkan dan mengambilalih pembentukan persepsi jika pernyataan yang dikeluarkan Polri maupun BNPT lemah dan tidak cukup persuasif. 

Saat ini, pembahasan RUU Anti Terorisme juga diwarnai polemik soal peningkatan peran TNI dalam pemberantasan teror. Menurut saya, penegakan hukum, peran intelijen keamanan dan komunikasi politik pemerintah harus dikedepankan. 

Bagaimanapun, perang global melawan terorisme telah gagal. Bukannya mereda, kelompok teror bahkan bermetamorfosis menjadi kelompok aksi insurgensi dengan persenjataan memadai, dukungan logistik dan teroganisir rapi. 

Bicara insurgensi, tentu saja lawan efektifnya adalah operasi militer. Apakah ini semua hendak mengarah dan digiring kesana? Semoga tidak. Biayanya sangat mahal dan lebih baik digunakan untuk memperkuat daya tahan masyarakat. Karena virus terorisme masih akan tetap eksis selama kita belum bisa menghilangkan ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan.

Polri dan para pemangku pemberantasan terorisme jangan kehilangan kecerdasan. Kegagalan meyakinkan masyarakat hanya akan berarti satu hal. Kehilangan sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun