Menyikapi itu, juga potensi meningkatnya aktivitas penanggulangan teror ke depan, Polri dan tentu saja BNPT perlu mengatasi kekurangpiawaian menyampaikan dan mengelola informasi kinerja dan agenda aksinya.Â
Harus ada cara komunikasi yang tepat dan berkualitas untuk menjawab skeptisisme dan kritik publik bahwa penegakan hukum terhadap terorisme adalah upaya kooptasi atau bahkan bagian dari isu lain yang tengah menjadi perhatian masyarakat.
Perlu diingat, saat ini pernyataan resmi Polri bukanlah satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat. Tentu saja 'second opinion' berpotensi lebih meyakinkan dan mengambilalih pembentukan persepsi jika pernyataan yang dikeluarkan Polri maupun BNPT lemah dan tidak cukup persuasif.Â
Saat ini, pembahasan RUU Anti Terorisme juga diwarnai polemik soal peningkatan peran TNI dalam pemberantasan teror. Menurut saya, penegakan hukum, peran intelijen keamanan dan komunikasi politik pemerintah harus dikedepankan.Â
Bagaimanapun, perang global melawan terorisme telah gagal. Bukannya mereda, kelompok teror bahkan bermetamorfosis menjadi kelompok aksi insurgensi dengan persenjataan memadai, dukungan logistik dan teroganisir rapi.Â
Bicara insurgensi, tentu saja lawan efektifnya adalah operasi militer. Apakah ini semua hendak mengarah dan digiring kesana? Semoga tidak. Biayanya sangat mahal dan lebih baik digunakan untuk memperkuat daya tahan masyarakat. Karena virus terorisme masih akan tetap eksis selama kita belum bisa menghilangkan ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan.
Polri dan para pemangku pemberantasan terorisme jangan kehilangan kecerdasan. Kegagalan meyakinkan masyarakat hanya akan berarti satu hal. Kehilangan sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H