Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bom Samarinda: Penanggulangan Terorisme Salah Resep?

15 November 2016   04:34 Diperbarui: 15 November 2016   04:46 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi serangan bom di Gereja Oikumene Samarinda. (foto: tribunnews)"

TERORISME dimanapun, sebenarnya serupa. Ia lebih dikelompokkan dalam kejahatan karena kebencian (hate-crime) dan balas dendam.

Pelaku (perorangan/kelompok), dalam persepsinya sering merasa dirinya adalah korban, yang teraniaya, tertindas, terpinggirkan atau dirugikan oleh kejahatan/perlakuan buruk negara atau bagian masyarakat yg lebih kuat dan berpengaruh. Teror bagi kelompok-kelompok ini adalah alat penyampai pesan yang efektif.

Terorisme menurut saya lebih relevan jika dikaitkan dengan fanatisme dan deprivasi relatif (kesenjangan antara harapan dan kenyataan). Soal deprivasi relatif, di Indonesia ini tak sulit menemukan bibit-bibit kesenjangan yang bisa dibudidayakan menjadi virus terorisme.

Di sini, praktik ketidakadilan dan diskriminasi masih marak. Lalu persoalan-persoalan ekonomi dan pendidikan juga belum beres. Orang patah hati, bankrut, kena PHK dan semacamnya, seringkali merasa sendirian.

Menggerakkan mereka melakukan hal-hal negatif lebih mudah ketimbang orang-orang yg secara pondasi mental ideologinya kuat. Mereka dieksploitasi sedemikian rupa sehingga muncul keyakinan bahwa apa yang mereka perbuat adalah satu-satunya jalan keluar.

Nah apakah deradikalisasi menyentuh persoalan-persoalan itu? Penggunaan kata deradikalisasi saja dalam upaya pencegahan terorisme, menurut saya sudah tidak tepat.

Selama ini kita mencoba menepis pandangan bahwa  terorisme identik dengan radikalisme agama. Namun para pemangku kepentingan penanggulangan terorisme justru lebih banyak merangkul kelompok-kelompok keagamaan besar dalam upaya deradikalisasinya.

Padahal, kalau kita melihat deretan nama-nama pelaku maupun orang-orang yang diduga/dinyatakan terlibat dalam aksi-aksi teror selama ini, adakah yang terafiliasi baik secara struktural maupun kultural dengan kelompok-kelompok dominan di Indonesia, NU atau Muhammadiyah misalnya? Program deradikalisasi nyatanya gagal menjangkau kelompok-kelompok rentan dan cenderung hanya bersifat seremoni saja.

Sampai kapan kita akan menjajal resep deradikalisasi sebagai penangkal? Terorisme sudah ibarat virus flu. Tak bisa mati. Cuma bisa dibuat tidak aktif. Syaratnya, kondisi tubuh dijaga tetap sehat dan bugar. Jika drop, flu mudah menyerang. Artinya, trigger-nya yang harus dijaga tak boleh hadir.

Mengingat terorisme ini tergolong sebagai hate-crimes, atau kejahatan atas dasar kebencian dan balas dendam, tentunya yang tak boleh hadir adalah kondisi yang bisa memicu kebencian, pembalasan dendam.

Tapi ya jelas sulit, wong itu sifatnya persepsi. Soal siapa lebih jahat, lebih merugikan, lebih dzalim. Yang jelas bibit terorisme bisa tumbuh subur dalam kondisi kecewa yang dalam, galau akut, 'baper' tingkat dewa.

Mereka patah hati, putus asa, hopeless. Tak ada saluran curhat. Ngomong dikit, di-bully, diintimidasi, dimarjinalkan.

Sederhana kok kalau kita mau bikin orang jadi teroris. Tebar kebencian yang sangat menyakitkan hati. Misalnya, bikin teman patah hati, rebut pacarnya, bully, lecehkan. Terus dan terus. Siap-siap saja tak lama lagi, rumah kamu bisa di-molotov.

Masalahnya, selama ini kita tak pernah tuntas menghadirkan solusi. Kita selalu berhenti hanya pada sekedar 'meredam' potensi konflik dan teror. Kita tidak pernah masuk pada akar persoalannya yaitu kebencian. Kita dicekoki ketakutan dan akhirnya menjadi paranoid terhadap perbedaan.

Padahal, kebencian tak serta merta hilang ketika misalnya perkelahian dilerai. Sementara, negara abai terhadap faktor-faktor pencetus kebencian seperti deprivasi relatif yg berhulu pada diskriminasi, kesenjangan, ketidakadilan, maupun pemarjinalan.

Nah, saya punya pertanyaan, negara dimana, kaum intelek dimana? Kok jadi kesannya kita yang gak berdaya? Katanya ada program deradikalisasi? Katanya ada dialog kebangsaan? Apakah negara gagal?

Bisakah para pemangku kepentingan menjelaskan itu? Klo memang bisa, dari mana dimulai, apakah dari akar dendam dan kebenciannya atau dari potensi teror dan konflik saja?

Sudah belasan tahun -jika dianggap bom bali I adalah awalnya- kita menyaksikan pendapat dan analisa bersliweran dari para tokoh dan idola, adakah yang komprehensif dan konstruktif? Jangan-jangan aksi-aksi teror gagal dicegah dan terus berulang selama ini karena tritmennya ibarat dokter salah resep?

Singkatnya, bagi saya yang masuk akal dilakukan saat ini ya mitigasi. Mulai dari membangun empati, awareness, sampai trauma healing. Karena selama ketidaktertiban, ketidakadilan, kemelaratan dan kebodohan tak dibereskan, kita akan masih harus hidup berdampingan dengan teror sebagai ancaman potensial.

Kapan potensi itu akan masuk fase police hazard lalu menjadi ancaman faktual? Jaraknya bisa sangat dekat, bisa lama. Remote-nya ada di kita. 

Itu bukan soal seberapa massif program deradikalisasi digelar. Bukan soal berapa banyak ormas keagamaan dilibatkan, apalagi dgn cuma pengajian, omong soal moral.  Ini soal seberapa besar upaya menahan diri untuk tidak menebar kebencian dan melampaui ketakutan kita untuk bisa menerima perbedaan sebagai kenyataan.

Pihak Polri mengumumkan pelaku adalah residivis jaringan bom buku Utan Kayu, terafiliasi ke JAT. Sy tdk ingin mendebat itu. Persoalannya, jika benar residivis terorisme, kenapa belum ada efek jera?

Dari pernyataan di atas, ini adalah soal bagaimana kebencian terus ditebar, negara gagal menghentikan diskriminasi, kesenjangan, ketidakadilan, pemarjinalan dan sejenisnya. Dalam praktiknya, penanggulangan terorisme ibarat dokter salah resep. Penegakan hukum berjalan, namun tak dibarengi hilangnya faktor-faktor pencetus kebencian tadi.

Soal apakah ini jaringan kelompok mana, atau bahkan sekedar sekelompok simpatisan atau penggemar, itu bukan soal terpentingnya.

Lalu apakah ini pengalihan isu? Saya kira terlalu mudah untuk sekedar mengaitkannya dengan aksi itu. Bisa saja kelompok pelaku sendiri yang menilai bahwa situasi kita hadapi saat ini, menjadi momen yang bagus untuk melakukan aksi. Tak perlu dalam skala besar, yang penting pesannya sampai.

Perhatian penegak keamanan sedang tercurah ke Jakarta dengan segala isu yang meliputinya. Sehingga harus diakui mengurangi awareness terhadap masih eksisnya potensi teror di Indonesia.

Kenapa di Kalimantan? Memang Kalimantan adalah daerah yang cukup heterogen dari sisi agama dan kultur. Kalimantan juga punya riwayat konflik horisontal yang sangat serius. Jika pun kita menduga ada yang mencoba bermain untuk meresonansi isu ancaman perpecahan bangsa, atau sekedar mengalihkan isu, tentu saja itu biadab. Apalagi jika ada aktor negara berperan disitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun