Mereka patah hati, putus asa, hopeless. Tak ada saluran curhat. Ngomong dikit, di-bully, diintimidasi, dimarjinalkan.
Sederhana kok kalau kita mau bikin orang jadi teroris. Tebar kebencian yang sangat menyakitkan hati. Misalnya, bikin teman patah hati, rebut pacarnya, bully, lecehkan. Terus dan terus. Siap-siap saja tak lama lagi, rumah kamu bisa di-molotov.
Masalahnya, selama ini kita tak pernah tuntas menghadirkan solusi. Kita selalu berhenti hanya pada sekedar 'meredam' potensi konflik dan teror. Kita tidak pernah masuk pada akar persoalannya yaitu kebencian. Kita dicekoki ketakutan dan akhirnya menjadi paranoid terhadap perbedaan.
Padahal, kebencian tak serta merta hilang ketika misalnya perkelahian dilerai. Sementara, negara abai terhadap faktor-faktor pencetus kebencian seperti deprivasi relatif yg berhulu pada diskriminasi, kesenjangan, ketidakadilan, maupun pemarjinalan.
Nah, saya punya pertanyaan, negara dimana, kaum intelek dimana? Kok jadi kesannya kita yang gak berdaya? Katanya ada program deradikalisasi? Katanya ada dialog kebangsaan? Apakah negara gagal?
Bisakah para pemangku kepentingan menjelaskan itu? Klo memang bisa, dari mana dimulai, apakah dari akar dendam dan kebenciannya atau dari potensi teror dan konflik saja?
Sudah belasan tahun -jika dianggap bom bali I adalah awalnya- kita menyaksikan pendapat dan analisa bersliweran dari para tokoh dan idola, adakah yang komprehensif dan konstruktif? Jangan-jangan aksi-aksi teror gagal dicegah dan terus berulang selama ini karena tritmennya ibarat dokter salah resep?
Singkatnya, bagi saya yang masuk akal dilakukan saat ini ya mitigasi. Mulai dari membangun empati, awareness, sampai trauma healing. Karena selama ketidaktertiban, ketidakadilan, kemelaratan dan kebodohan tak dibereskan, kita akan masih harus hidup berdampingan dengan teror sebagai ancaman potensial.
Kapan potensi itu akan masuk fase police hazard lalu menjadi ancaman faktual? Jaraknya bisa sangat dekat, bisa lama. Remote-nya ada di kita.Â
Itu bukan soal seberapa massif program deradikalisasi digelar. Bukan soal berapa banyak ormas keagamaan dilibatkan, apalagi dgn cuma pengajian, omong soal moral. Â Ini soal seberapa besar upaya menahan diri untuk tidak menebar kebencian dan melampaui ketakutan kita untuk bisa menerima perbedaan sebagai kenyataan.
Pihak Polri mengumumkan pelaku adalah residivis jaringan bom buku Utan Kayu, terafiliasi ke JAT. Sy tdk ingin mendebat itu. Persoalannya, jika benar residivis terorisme, kenapa belum ada efek jera?