Apakah ini berarti memang sudah sewajarnya kelalaian ini terjadi? Tentu saja tidak.
Sepanjang dibutuhkan dalam rangka pengamanan penyelenggaraan pemerintahan, tentu saja BIN masih dapat berperan. Sebagai klien tunggal, Presiden dapat meminta informasi dari BIN. Mirip permintaan informasi soal integritas sejumlah nama yang diproyeksikan untuk jabatan menteri, ke KPK. Hal itu kabarnya dilakukan oleh presiden-presiden terdahulu. Meski belum ada UU yang mengatur BIN.
Nah, jika contoh praktik baik dari masa lalu sudah ada, bahkan dengan KPK pun terus dilakukan, mengapa dengan BIN tidak, apa sebabnya? Â Apakah ada keraguan soal akurasi atau bahkan soal kerahasiaan? Lho, bukankah pimpinan BIN adalah persona pilihan Presiden Jokowi sendiri?
Sebegitu senyap dan rahasiakah proses pengisian jabatan di kabinet itu hingga bahkan untuk sekedar nama-nama kandidat hanya tim inti presiden dan Tuhan yang tahu? Ah, nyatanya bocor juga ke publik sebelum pengumuman resmi.
Jadi saya kira, Pak Sutiyoso tak salah apa-apa dalam kasus ini. BIN tidak relevan disalah-salahkan. Bahkan setelah persoalan ini tercium, BIN relatif cepat dan akurat menelusuri dan memastikan bahwa Arcandra benar-benar pemegang paspor Amerika Serikat dan terdaftar sebagai pemilih dalam Pilpres mendatang.
Kalaupun masih harus dicari salahnya, ya soal menjalankan fungsi koordinasi intelijen negara. BIN gagal membangun 'awareness' yang baik dari fungsi intelijen Kementerian Hukum dan HAM yang dijalankan oleh Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian. BIN sebagai fungsi intelijen luar negeri juga boleh dibilang gagal memantau diaspora Indonesia di Amerika Serikat.
Tapi agak keterlaluan juga kalau nyari salahnya sampai ke hal-hal ini. Sampai lupa bahwa urusan-urusan itu secara teknis ada pengendalinya masing-masing.
Jika soal paspor ganda dan penyalahgunaannya itu terdeteksi sejak awal (dan itu berarti pengawasan keimigrasian berjalan baik), pun soal status diasporanya (diaspora tak cuma berarti WNI yang berkiprah dan bermukim di luar negeri), skandal ini takkan ada. Karena bisa jadi takkan pernah ada Menteri ESDM bernama Arcandra Tahar!
Tega betul yang membawa nama itu ke istana. Sampai-sampai pihak yang mestinya sangat teliti mengurus administrasi, lalai memeriksa dokumen sesederhana 'KTP' itu.Â
Tidakkah si pembawa nama memahami bahwa ini sangat berbahaya? Atau bisa jadi, ini memang diniatkan sejak awal. Bahwa ini membentuk stigma soal ketidakbecusan otoritas sipil! Jahat. Jahat sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H