Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggugat Kinerja BIN dalam Skandal Arcandra, Relevankah?

16 Agustus 2016   11:39 Diperbarui: 16 Agustus 2016   16:10 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan paspor yang diduga milik Archandra Tahar | Sumber gambar: beritasatu

Lalu Huruf e menyebut tugas BIN adalah memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan. Penjelasannya merinci bahwa hal-hal yang berkaitan dengan tugas itu adalah:

1. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat eselon I;

2. pemberian hak akses terhadap rahasia negara; dan

3. pengamanan internal yang meliputi pengamanan informasi, Personel Intelijen Negara, dan material.

Jadi, dari bunyi pasal-pasal dan penjelasan atas UU 17/2011 yang menjadi landasan operasional BIN itu, tak satupun cukup kuat dijadikan dasar untuk menuding bahwa lembaga ini telah lalai atau lengah.

Kasus Arcandra ini istimewa. Dia bukan sedang mengajukan diri menjadi WNI. Juga tidak sedang dalam kaitan kegiatan yang dirinci dalam UU itu. Arcandra datang ke Indonesia karena diminta (fatsun-nya seperti itu) Presiden Joko Widodo untuk menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Masalahnya, Arcandra tidak jujur sejak awal. Dia tidak menolak permintaan Presiden Jokowi. Dia bahkan tidak menyampaikan kendala kewarganegaraannya itu. Kendala yang mungkin saja bisa dibereskan secara politik dan senyap jika disampaikan di awal.

Meski untuk itu lalu saya merasa patut bertanya, seberapa luar biasanya seorang Arcandra sampai harus ada diskresi? Saya juga merasa patut bertanya, seberapa detil Presiden mencermati calon menterinya? Saya juga meragukan Jokowi sudah berkomunikasi intensif dengan Arcandra, sebelum nama itu akhirnya menjadi pilihannya.

Kemudian benarkah BIN tidak cepat dan akurat? Jika kita menghitungnya sejak awal rumor-rumor kocok ulang kabinet itu merebak, tentu saja intel kita ini tidak velox dan tidak exactus.

Tapi sekali lagi lihat penjelasan Pasal 29 huruf e. UU 17/2011 nyatanya tidak menugaskan BIN memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi pengangkatan, pemindahan maupun pemberhentian pejabat setingkat menteri atau anggota kabinet.

Lingkup tugasnya hanya pejabat eselon 1. Itu adalah posisi Sekjen, Dirjen, Kepala Badan dan pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Bahkan saya meragukan BIN dilibatkan dalam penentuan eselon 1 di Polri dan TNI. UU juga tidak mengatur keterlibatan BIN dalam hal seleksi pengisian jabatan-jabatan pimpinan lembaga-lembaga penyelenggara negara, KPU, MK, MA dan KY misalnya. Artinya, mempertanyakan akurasi BIN dalam kasus Arcandra, tentunya tidak relevan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun