Pagi ini, saya menemukan artikel yang ditulis rekan saya di sebuah media online, muncul di media lain dengan sejumlah tambahan dan polesan di sana-sini.  Sayangnya, kalimat-kalimat selundupan itu tak sepenuhnya bisa menipu mata saya ketika membaca. Sejumlah kata-kata kunci yang menjadi ciri tulisan itu masih bisa saya temukan dengan mudah. Ya mudah, karena  si penyadur sebagian besar hanya melakukan 'copy-paste' pada kalimat-kalimat yang ingin dimasukkan ke kontennya.
Juga ada beberapa kalimat lain yang masih menampilkan pesan serupa dengan konten aslinya meski kalimatnya sudah diobrak-abrik seperlunya. Â Sayangnya, sampai tuntas membaca, saya tak menemukan cuilan informasi apapun yang menerangkan dari mana si penulis 'copy-paste' mendapatkan kalimat-kalimat tambahan itu. Tak ada sumber maupun link yang mengarah ke artikel tulisan teman itu,
[caption id="attachment_320432" align="alignleft" width="361" caption="ilustrasi hasil pemeriksaan praktek plagiarisme di sebuah media online. Konten yang diperiksa, terdeteksi tidak unik. (plagiarism-checker/snapshoot) "][/caption]
Fakta  itu menggelitik saya untuk membuka komunikasi dengan pihak redaksi media online tempat konten yang 'kloningan' dimuat. Sekedar ingin mengingatkan media lokal baru yang menjadi bagian sebuah grup media besar itu, soal nalar dan kesantunan antar penyedia konten di ranah online.
Menurut saya, alangkah bijak jika seorang penulis atau redaksi sebuah media, ketika kebetulan memuat konten yang berisi kutipan dari sumber artikel lain, juga mencantumkan sumber atau url-nya (karena ini online). Jika artikel ini berasal dari hasil peliputan reporter, sebaiknya dilakukan verifikasi keaslian (unik/tidaknya) konten. Ada banyak aplikasi plagiarism yang gratisan dan bisa digunakan secara online.
Konten artikel yang mengutip dari sumber lain sebaiknya ditulis ulang (re-write) atau review untuk mendapatkan konten yang teridentifikasi unik atau asli, tidak sekedar 'copy-paste'. Mempublikasikan artikel atau konten laman web yang tidak sepenuhnya unik dan asli, punya risiko lebih tinggi untuk masuk daftar hitam (blacklist) Google dan mesin pencari lainnya.
Parameter media online diantaranya adalah laman web mendapat reputasi yang diukur dengan peringkat lebih tinggi (page-rank) dan penempatan hasil pencarian di mesin pencari, atau istilahnya Search Engine Result Placement (SERP). Sederhananya, agar bisa tampil di halaman 1 google maupun mesin pencari lainnya, tidak perlu mengambil risiko menerbitkan konten yang tidak sepenuhnya unik.
Konon, Google dan kawan-kawan berbaik hati memandu penyedia konten untuk bisa memperbaiki parameternya, melalui sarana yang disebut Search Engine Optimization. Maksudnya adalah agar informasi yang dihajatkan untuk dibaca oleh para pengguna internet itu, jadi mudah ditemukan dan 'recomended' untuk dikunjungi.
Redaksi hanya perlu sedikit kreatif mengolah naskah dengan melakukan penulisan ulang. Mesin-mesin pencari itu sangat menghormati orisinalitas sebuah karya. Karenanya mereka melakukan pemilahan dan tidak segan untuk memblacklist laman web yang kerap teridentifikasi memuat konten dengan persentase unik/keaslian rendah maupun yang tampak tidak natural. Jika tak bisa menghindar dari ketidakaslian, meski tetap rawan, jalan yang mungkin ditempuh adalah dengan mencantumkan sumber (url) aslinya.
Akhirnya, sebagai sesama jurnalis, saya berharap bisa menyaksikan media-media online bertumbuh dan dewasa. Itu harus diawali saat ini, dengan menegakkan etika jurnalisme yang baik dan positif sesuai ranahnya, internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H