Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Umbu Landu Paranggi Sehatlah, Kata-kata Menantimu!

30 Oktober 2014   21:23 Diperbarui: 6 April 2021   11:49 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar itu bermula dari akun twitter Putu Fajar Arcana, seorang editor sastra di Harian Kompas. Ia berkicau dan menampilkan gambar terbaru tentang Umbu Landu Paranggi. Sang guru penyair sedang terbaring di rumah sakit.

"Umbu Landu Paranggi ditemukan satpam perumahan terbaring lemah. Diperkirakan tak makan lima harian. Kini dirawat di RS Sanglah, Bali," kicau akun twitter @fajar_arcana, Minggu (26/10/2014) pagi.

Pria berjuluk Presiden Malioboro itu lahir di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, 10 Agustus 1943. Usianya sudah cukup renta, 71 tahun. Sejak tahun 1960-an, Umbu Wulang Landu Paranggi kerap disebut sebagai tokoh yang misterius dalam ranah sastra Indonesia. 

Bagi putra bangsawan Sumba itu, manusia adalah makhluk yang punya magnet yang sanggup tarik-menarik di antara jiwa yang lain. Namun ia memilih setia pada kesunyian. Kesenangan hidup dikorbankannya untuk menyendiri, jauh sanak kadang, jauh dari dari murid-murid yang mengaguminya. Persis yang dikatakan sang murid, Linus Suryadi AG (almarhum), "penyair bersaksi dan berdiri di pinggir."

Banyak orang menilai ia tak sama tersohornya dgn Chairul Anwar, Rendra maupun Soetardji Calzoum Bachri. Betul, karena memang ia lebih suka menyimpan syairnya ketimbang memamerkannya.

"Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji, mungkin dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban," tutur Umbu pada Putu Fajar Arcana dalam tulisannya, Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata.

Maka tetaplah Umbu Landu Paranggi dgn segala mitos dan misterinya. Tetaplah para murid seperti Emha Ainun Nadjib dkk berimajinasi dgn kerinduannya pada Sang Guru. Sebab itulah harta karun yg ingin diwariskannya. Baginya, puisi adalah segalanya, dan tanpa imajinasi, puisi hanyalah sesuatu.

Saya sendiri tak pernah mengenalnya langsung. Namun cukup bersyukur sempat merasakan atmosfer Seni Sono saat studi di Jogja tahun 90-an, hingga bangunan itu akhirnya dirobohkan Orde Baru. Sang Presiden Malioboro tak lagi muncul, namun warisan imajinasinya telah membuat kota pelajar ini tak pernah kekurangan stok penyair.

Umbu Landu Paranggi setia dengan pilihannya. Sebagai pohon rindang, sebagai pupuk, sebagai pijakan. Tak cuma di garis tepi, atau di balik 'tobong'. Ia menyelinap di ruang-ruang publik tanpa gaduh. Umbu, cepatlah sehat. Cepatlah kembali ke rumahmu, rumah kata-kata!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun