Mohon tunggu...
Khairil Miswar
Khairil Miswar Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Pemulung Buku Tua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cita-Cita Indonesia Emas dan Aktor Figuran yang Mengubah Sejarah

10 November 2023   10:21 Diperbarui: 11 November 2023   08:11 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://bpac.in/what-defines-good-political-leadership/

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 24 Oktober 2023

Dari sejumlah buku bergenre politik yang pernah saya baca, mulai dari buku-buku terbitan lokal, nasional dan bahkan buku-buku internasional—yang membuat saya berkelahi dengan google translate dan aplikasi-aplikasi terjemahan yang kerap menjerumuskan—saya menemukan banyak sekali anekdot di sana. Meskipun sebagiannya terbilang lucu, namun hampir tak ada yang mampu menarik perhatian saya. Masalahnya, anekdot-anekdot itu hanya mampu mengajak kita tertawa dan belum berhasil mengajak kita berpikir. Karena itu, saya pikir anekdot itu hanya diproduksi untuk hiburan, bukan untuk mendidik apalagi untuk mengubah paradigma umat yang akhir-akhir ini kian absurd.

(Dalam paragraf di atas, soal buku-buku internasional, tentu saja saya berbohong; bukan apa-apa, hanya agar saya terlihat sedikit pintar).

Namun, saya ingat pada satu buku yang saya baca lima belas atau sepuluh tahun lalu. Buku itu ditulis Sukran Vahide, berkisah tentang biografi Bediuzzaman Said Nursi, seorang pemuka agama di Turki pasca runtuhnya Dinasti Usmani. Syukur buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga saya tak perlu repot-repot berkelahi dengan kamus dan google translate. Saya menemukan satu kalimat menarik di sana: audzubillahi mina syaithan wa mina siyasah. Untung saja waktu itu belum ramai tuding-menuding soal penistaan agama sehingga tak ada seorang pun yang menganggap kalimat itu sebagai pelecehan. Dalam bahasa Indonesia kalimat itu bisa diterjemahkan sebagai: Aku berlindung dari godaan setan dan politik.

Bagi saya, anekdot semacam ini bukan sekadar mengajak orang-orang untuk tertawa dan tersenyum-senyum sendiri, tapi lebih dari itu, mampu memantik urat-urat di kepala untuk berpikir deras. Bagaimana tidak, dalam kalimat itu, Nursi memandang politik setara atau mungkin sinonim dengan setan sehingga ia memohon perlindungan Tuhan dari godaan keduanya. Sebagai wujud baik sangka, saya pikir Nursi benar; bahwa setan dan politik memang sama-sama menggoda, menipu, menghanyutkan dan akhirnya menggiring kita ke neraka, apakah neraka akhirat atau neraka dunia.

Saya pikir saya tidak perlu memberi contoh untuk hal-hal seremeh ini. Ada banyak sekali karakteristik politik yang tampak sepadan dengan gaya-gaya setan ketika mereka mencoba menggoda Adam dan Ibrahim. Perbedaan hanya terletak pada sosok yang digoda. Adam berhasil digoda dengan tipuan yang dilakukan setan sehingga dia bersama istrinya memakan buah yang dilarang dalam surga. Sementara Ibrahim justru melempari setan dengan batu sampai setan itu lari terbirit-birit dan tersungkur di tanah.

Dalam politik pun begitu. Hari ini berkata begini besok berkata begitu. Hari ini bergaya lugu dan culun, tapi esok hari kelihatan tamak dan rakus. Hari ini berjanji, besok mengingkari. Begitulah setan dan politik saling berkelindan, saling meniru. Kalau sudah begitu, pilihan hanya dua: Mengalah pada setan seperti Adam atau menghajar setan seperti Ibrahim, melemparinya dengan batu-batu. Semuanya sangat bergantung pada pola pikir dan pola perasaan masing-masing kita: menyerah atau melawan.

Capres-Cawapres Menjelang Indonesia Emas 

 Anggap saja penjelasan saya di atas sebagai anekdot belaka. Jangan diambil hati, apalagi sampai dibawa perasaan. Beban negara sedang berat, jangan ditambah lagi dengan timbangan perasaan yang nantinya justru membuat kita semua tenggelam. Sekali lagi, kuatkanlah hati dan bersabarlah karena orang-orang sabar disayang Tuhan.

Jadi begini. Saya melihat “sandiwara” politik kita akhir-akhir ini kian menggembirakan. Bagaimana tidak, usia calon presiden dan wakil presiden yang sebelumnya hanya boleh diisi oleh mereka yang berusia minimal 40 tahun sekarang boleh dikatakan tidak berlaku lagi, selama mereka punya pengalaman menjadi kepala daerah dan pernah dipilih dalam Pemilu. Keputusan yang dibuat MK ini, walau sedikit kontroversial sampai-sampai mendorong Tempo.co menyebarkan beberapa karakter paman di dunia hiburan dalam postingan akun media sosialnya seperti Paman Gober, Paman Muthu, Paman Kikuk, Paman Dolit, Paman Tat dan lalu bertanya paman apalagi?—namun, keputusan ini pastinya sangat menguntungkan bagi siapa saja yang ingin mencetak sejarah, sebagai capres atau cawapres termuda di Indonesia dalam seratus tahun terakhir.

Proses Judicial Review yang melibatkan “aktor paman” sebagai salah seorang hakim dalam keputusan itu telah memberi peluang bagi anak-anak muda untuk berpartisipasi dalam level tertinggi pencalonan politik, yaitu sebagai capres dan cawapres. Ini adalah capaian paling mengharukan menjelang Indonesia Emas pada 2045, di mana peran kaum muda akan menjadi lebih dominan. Dalam hal ini, di pentas politik, yang menjadi ukuran bukan lagi umur, tapi pengalaman yang kemudian diwujudkan dalam frasa baru, yaitu “sudah pernah.”

Cuma saja, netizen kita terlalu usil dan terlihat kurang bisa mencermati capaian ini dengan bijak, sehingga frasa “sudah pernah” ini kemudian digubah dalam berbagai lirik mengharukan, seperti: “Usia membuat SIM minimal 17 tahun, namun kalau sudah pernah mengendarai boleh langsung dibuatkan SIM,” “Usia menikah minimal 19 tahun, namun kalau sudah berpengalaman boleh langsung dinikahkan,” dan seterusnya. Menyimak fenomena ini, memang harus kita akui kalau netizen kita benar-benar kocak dan gemar bercanda.

Dan, saya jadi berpikir bagaimana kalau nantinya, di masa depan, ayah dan anak bisa bersanding menjadi capres dan cawapres. Toh sejauh ini tidak ada aturan yang melarang demikian. Kalau pun ada, bukankah bisa dilakukan Judicial Review. Siapa tahu di masa depan ada karakter-karakter paman lainnya yang lebih akrobatik sehingga segalanya menjadi mungkin. Ya, seperti kita lihat di film-film bahwa sosok paman memang cenderung punya lebih banyak akal ketimbang aktor utama, meskipun dalam tayangan-tayangan layar lebar paman hanya menjadi figuran. Begitu pun dalam dunia nyata, sosok paman yang semula hanya figuran juga bisa mengubah sejarah ketika aktor utama terlihat malu-malu.

Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang, setelah mencermati realitas kekinian, apakah pembahasan tentang nepotisme atau dinasti politik masih relevan diperbincangkan dalam perkuliahan politik di tanah air? Apakah mengutuk rezim Orde Baru yang kononnya korup dan nepotis masih dianggap sebagai kepantasan? Saya pikir, itu semua sudah menjadi masa lalu ketika karakter paman berhasil memainkan peran.

Lalu, bagaimana dengan doa Said Nursi yang ngotot meminta perlindungan dari godaan setan dan politik? Untuk menjawab pertanyaan pastinya kita harus kembali pada dua aktor di masa lalu: Adam dan Ibrahim. Jika capaian ini kita anggap sebagai kejayaan demokrasi, maka jadilah Adam. Sebaliknya, jika fenomena ini mengusik kewarasan, jadilah Ibrahim. Itu!BPACBPAC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun