Dalam beberapa hari terakhir, beranda media sosial di tanah air penuh sesak dengan informasi terkait sosok Ratna Sarumpaet, seorang aktivis perempuan plus seniman yang dikenal vokal, berani dan kritis. Nama Ratna Sarumpaet sudah mulai populer pada era Orde baru ketika ia melakukan "perlawanan politik" terhadap penguasa saat itu. Karena terlibat dalam gerakan pro demokrasi yang secara aktif melakukan kritik terhadap Soeharto, aktivis perempuan ini pun pernah dipenjara di era Orde Baru.
Keterlibatan Ratna Sarumpaet dalam upaya-upaya penegakan demokrasi juga dapat dilacak dalam aktivitasnya ketika berkunjung ke Aceh di era konfik. Seperti dicatat Wikipedia, Ratna pernah menerobos penjagaan ketat pada saat melakukan kunjungan ke Bukit Tengkorak. Dia juga mengunjungi para pengungsi akibat konflik di Aceh. Ketika gempa tsunami melanda Aceh, Ratna bersama timnya juga melakukan kerja-kerja kemanusiaan di Lamno.
Menurut informasi yang dapat dilacak, Ratna Sarumpaet pada waktu itu tidak melibatkan diri dalam arena politik praktis. Ia melakukan gerakannya bersama aktivis lain secara independen. Ia benar-benar mewujudkan diri sebagai pejuang pro demorasi mulai dari era Orde Baru sampai era Reformasi.
Pada Pilpres 2014 lalu, Ratna Sarumpaet masih tetap terlihat konsisten untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Bahkan dia tidak menyatakan dukungan politiknya kepada kedua pasangan capres waktu itu. Seperti dicatat kompas.com (26/6/2014), Ratna mengaku tidak mendukung Jokowi atau pun Prabowo pada Pilpres 2014.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata Ratna berubah dan memilih terlibat aktif di panggung politik praktis dengan bergabung bersama Tim Pemenangan Prabowo- Sandi. Tentunya pilihan Ratna untuk masuk ke kancah politik praktis ini sudah melalui proses pertimbangan matang dan dilengkapi argumen-argumen logis. Pilihan ini sepenuhnya merupakan manifestasi dari hak-hak politik yang dimilikinya.
 Ulasan singat tersebut hanya sekadar review tentang siapa sosok Ratna Sarumpaet. Hampir tidak ada yang meragukan keberanian dan konsistensi sosok aktivis ini dalam usaha-usaha penegakan demokrasi dan juga advokasi terhadap korban pelanggaran HAM di Indonesia. Bahkan pada 1998, sosok ini pernah mendapatkan penghargaan Female Human Rights Special Award dari The Asia Foundation for Human Rights di Tokyo.
Namun alam terus bergerak dan manusia terus berubah mengikut alur waktu yang terus melaju. Brand sebagai pejuang demokrasi dan HAM yang melekat pada sosok Ratna Sarumpaet selama puluhan tahun hasil perjuangan panjang dalam rezim "otoriter" telah pun hancur berkecai.
Ratna Sarumpaet yang selama ini dikenal "anti hoax" telah "ternoda" hanya karena "sandiwara kecil" yang kemudian menggemparkan seantero tanah air. Dugaan penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet yang viral baru-baru ini ternyata hoax belaka.
Pada awalnya, Ratna tampak "membiarkan" kabar bohong itu menyebar sehingga sejumlah tokoh nasional pun "tertipu." Seperti lazimnya "sandiwara," tiba-tiba publik dibuat terkejut atau bahkan "terkejang-kejang" pasca dirilisnya pengakuan sosok aktivis ini bahwa dirinya telah "berbohong." Setidaknya demikian laporan sejumlah media.
Simpati yang sebelumnya tampak mengalir kepada Ratna Sarumpaet tiba-tiba saja berubah menjadi "antipati," untuk tidak menyebut "jijik" dengan "kebohongan" yang telah menusuk-nusuk kewarasan masyarakat Indonesia. Publik pun kecewa.
Dalam konteks kontestasi pilpres, kejadian ini tentunya akan berdampak pada lahirnya "goncangan" internal di kubu Prabowo-Sandi, mengingat posisi Sarumpaet yang terlibat dalam tim pemenangan. Meskipun kabarnya sudah dipecat, tapi ingatan publik bahwa Sarumpaet bagian dari tim Prabowo tidak akan hilang begitu saja. Â Tidak hanya itu, "kebohongan" tersebut juga akan menjadi komoditas kampanye paling efektif bagi kubu Jokowi-Ma'ruf.