Di sisi lain, sebagian masyarakat kita (Aceh, termasuk saya) terlihat bersikap ambigu dalam menyikapi syariat Islam. Ketika nama Aceh dicatut dalam ajang Miss Indonesia misalnya, kita berlomba-lomba melayangkan protes dan membuat surat terbuka – tidak hanya karena pencatutan nama Aceh, tetapi juga karena perilaku pencatut tersebut yang berpakaian tidak sesuai syariat Islam. Aksi protes ini tidak hanya dilakukan oleh publik secara umum, tetapi juga melibatkan tokoh semisal anggota DPD RI.
Seperti saya jelaskan di atas, jika aksi protes ini didasarkan pada pencatutan nama Aceh, maka aksi protes ini harus diapresiasi dengan catatan tidak dikaitakan dengan pelanggaan syariat. Bagaimana jadinya jika Miss yang mencatut nama Aceh itu berpenampilan seperti gadis Arab atau Iran? Apakah kita akan diam saja? Tentu tidak. Artinya, meskipun si pencatut tersebut memakai pakaian muslimah plus cadar sekali pun, tetap harus digugat, karena pencatutan nama Aceh tanpa izin adalah kejahatan. Artinya pencatutan adalah satu pasal dan pelanggaran syariat oleh pencatut adalah pasal lain, di mana kedua aspek ini harus dilihat secara terpisah.
Kita tidak bisa terus menerus bersikap ambigu dalam memandang syariat Islam. Ambil saja contoh Bergek, di mana ada sebagian orang kita yang “benci” kepada Bergek, tetapi lagu-lagu Bergek sampai saat ini masih mengudara di seluruh pelosok Aceh. Bahkan murid SD pun sudah hafal betul lagu Bergek. Demikian pula dengan penampilan Miss Aceh rasa Surabaya yang berpakaian seksi kita anggap telah mempermalukan Aceh. Apa benar? Bukankah VCD lagu Aceh masih laku keras sampai sekarang. Tidakkah kita lihat bagaimana gadis-gadis Aceh yang berlenggak-lenggok pinggul di hadapan kamera? Jujur saja, saya pribadi merasa “syur” melihat lekuk tubuh sebagian penyanyi dan penari Aceh yang kuch’at kuch’et dengan pakain ketat tanpa jilbab? Tapi, apa kita pernah melayangkan protes kepada produser lagu-lagu Aceh? Apa kita pernah menulis surat terbuka untuk mereka yang dengan lihainya melanggangk lenggok pinggul dan ditonton oleh jutaan manusia via VCD dan youtube? Coba tunjuk tangan!
Saya juga ingin bertanya kepada Sudirman (Haji Uma) yang kononnya juga ikut melayangkan protes terhadap Miss Aceh rasa Surabaya, apakah menurut beliau penampilan Yusniar di Film Eumpang Breuh sudah sesuai syariat Islam? Apakah para penyanyi wanita di Aceh semuanya sudah syar’i banget?
Kita merah kuping ketika ada orang luar Aceh yang mempermalukan Aceh, tetapi kita lupa, atau mungkin sengaja mempermalukan diri sendiri. Sudah saatnya kita jujur pada diri sendiri dan tidak perlu apologik. Jangan sampai seperti anak kecil mandi telanjang di sungai, karena malu akhirnya dia menutup mukanya dengan tangan, tapi dia lupa bahwa (maaf) pantatnya di luar dan menjadi tontonan gratis orang-orang. Semoga saja kita tetap konsisten dengan syariat Islam, di manapun dan kapan pun. Jangan sampai orang-orang melempar tuduhan, bahwa kebencian kita selama ini kepada pelanggaran syariat hanyalah kebencian imitasi tersebab tidak konsistennya kita terhadap syariat. Wallahu Waliyut Taufiq.
Contoh penyanyi Aceh:
1. Fatimah Amir
2. Marwan
5. Apa Lahu