Oleh: Khairil Miswar
Banda Aceh, 23 Februari 2016
[caption caption="Sumber Foto: bongkarnews.com"][/caption]
Tentunya setiap orang, siapa pun dia – akan merasa terusik dan marah jika kehormatannya dinodai. Kemarahan itu akan semakin memuncak jika penodaan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak pantas. Jika penodaan itu hanya terjadi sekali, bisa jadi itu sebuah kekhilafan, tetapi jika dilakukan berulang-ulang seperti episode sinetron, maka itu adalah tabi’at. Siapa pun dan dari kelompok manapun yang memiliki tabi’at menodai kehormatan orang lain, maka “melawan” adalah solusi paling mujarab.
Baru-baru ini masyarakat Aceh kembali dihebohkan dengan kemunculan perwakilan Aceh di ajang Miss Indonesia 2016. Miss Aceh dimaksud bernama Flavia Celly Jatmiko yang merupakan gadis asal Surabaya yang kemudian diplesetkan sebagai “Miss Aceh rasa Surabaya.” Kemunculan Flavia Celly Jatmiko secara “ilegal” di ajang Miss Indonesia telah membuat masyarakat Aceh berang. Hal ini disebabkan karena yang bersangkutan telah mencatut nama Aceh secara paksa untuk kemudian “digadaikan” tanpa izin. Tampil dengan busana “pas-pasan” dan memamerkan lekuk tubuh yang aduhai, Flavia Celly Jatmiko telah mencoreng wajah Aceh yang notabene adalah “provinsi Syariat”.
Aksi serupa ini – pencatutan nama Aceh secara “ilegal” tidak hanya terjadi kali ini, tetapi terus berulang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, nama Aceh juga dicatut oleh Ratna Nurlia Alfiandani dalam ajang Miss Indonesia 2015 dan Jeyskia Ayunda Sembiring dalam ajang Puteri Indonesia 2015. Ratna Nurlia Alfiandani berasal dari Surabaya, sedangkan Jeyskia adalah mahasiswi kedokteran pada Universitas Islam Sumatera Utara. Menurut riwayat, keduanya tidak mendapat izin dari Pemerintah Aceh kala itu. Kedua perempuan muda yang mewakili Aceh itu tidak mengenakan jilbab sehingga diprotes keras oleh berbagai kalangan di Aceh.
Aksi pencatutan nama Aceh secara paksa oleh beberapa pihak seperti Alfiandani dan Jatmiko atau siapa pun dalam ajang manapun adalah sebuah kejahatan dan bahkan sebuah pengkhianatan jika pelakunya melakukan pelecehan terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Tampil dengan selempang bertuliskan “Aceh”, tanpa jilbab dan berpakaian seksi plus pinggul bahenol merupakan bentuk penistaan terhadap nilai-nilai syariat Islam dan kearifan lokal masyarakat Aceh. Oleh sebab itu menjadi wajar dan bahkan wajib jika ada masyarakat Aceh yang mengecam dan mengutuk perilaku tersebut. Terkait dengan ajang Miss Indonesia, tidak hanya pencatut nama Aceh, tetapi juga pihak penyelenggara harus bertanggung jawab atas “tragedi” ini agar tidak lagi terulang di kemudian hari.
Muhasabah
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, saya menilai tindakan yang dilakukan oleh gadis asal Surabaya dengan mencatut nama Aceh dalam ajang Miss Indonesia adalah sebuah kejahatan, tidak ada kompromi dalam hal ini. Dengan demikian tindakan tersebut patut diusut dan diselesaikan secara hukum. Dalam hal ini, Gubernur Zaini Abdullah selaku pemimpin masyarakat Aceh harus mengambil sikap tegas dan menegur pihak penyelenggara Miss Indonesia. Di sisi lain, Yang Mulia Paduka Wali Naggroe selaku pemimpin adat juga berhak melayangkan protes kepada pihak-pihak yang telah “mempermalukan” Aceh.
Namun di sebalik itu, saya ingin melihat persoalan ini dari sisi lain yang mungkin sedikit bertentangan dengan pradigma mainstream. Artinya, kita tidak hanya pandai mengecam ketika nama kita dicatut dan kehormatan kita dinodai, tetapi kita juga harus mampu berkaca diri di hadapan cermin. Terkait dengan “tragedi” Miss Aceh rasa Surabaya, saya melihat ada dua aspek yang dijadikan dalil untuk mengkritisi ajang tersebut. Pertama, aspek pencatutan nama Aceh tanpa izin dan kedua, aspek pelanggaran syariat Islam. Aspek pertama, saya sangat sepakat, di mana alasannya telah saya ulas di atas, tetapi terkait aspek kedua, saya menilai kurang tepat dijadikan dalil dan bahkan cenderung ambigu.
Untuk memahami persoalan ini secara komprehensif, maka perlu kiranya kita sedikit mundur ke belakang. Sebelum dihebohkan dengan “tragedi” Miss Aceh rasa Surabaya, baru-baru ini masyarakat Aceh juga sempat terlibat pro kontra terkait “fenomena Bergek”, penyanyi Aceh yang lagi naik daun. Dikabarkan bahwa konser Bergek yang saat itu dijadwalkan berlangsung di Kabupaten Bireuen gagal dilaksanakan disebabkan tidak adanya izin dari pihak Kepolisian dan juga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Menurut isu yang berkembang, pihak FPI Bireuen juga tidak “meridhai” acara tersebut digelar di Bireuen. Kegagalan konser Bergek ini sempat mengundang pro kro kontra di media sosial, di mana para pihak saling beradu argument. Berhembus kabar bahwa gagalnya, jika tidak ingin disebut “penggagalan” konser Bergek di Kabupaten Bireuen disebabkan oleh adanya kekhawatiran akan terjadi pelanggaran syariat Islam, di mana akan terjadi percampuran laki-laki dan perempuan. Namun anehnya, konser Bergek di Kabupaten Pidie justru terlaksana dengan baik, tanpa ada halangan, dan yang terpenting konser di Sigli tersebut tidak dibayangi oleh isu pelanggaran Syariat. Kenapa?