Kutipan ini mengisyaratkan bahwa kaum LGBT di Indonesia selama ini menganggap bahwa kalangan mayoritas telah bersikap diskriminatif terhadap mereka.
Sepanjang sejarah kemunculannya, banyak pihak yang telah memberikan solusi untuk “menyembuhkan” LGBT sehingga mereka bisa kembali menjadi manusia dengan kecenderungan seks yang normal dan sesuai fitrah manusia. Berbagai pendekatan telah dilakukan, baik pendekatan keagamaan, kesehatan maupun pendekatan kemanusiaan itu sendiri. Tapi, apa hendak dikata, semua usaha tersebut dianggap sebagai bentuk diskriminasi oleh kaum LGBT.
Secara lebih tegas, Lewi Aga Basoeki juga menulis:
“harapan kaum LGBTIQ di Indonesia ini sederhana, mereka hanya ingin diperlakukan sama dan tanpa diskriminasi. Mereka tidak dipaksa untuk berubah menjadi kaum heteroseksual, mereka tidak dipaksa untuk menikah atau dibawa ke pusat rehabilitasi keagamaan untuk disulap menjadi penyuka lawan jenis.”
Penjelasan dari Aga Basoeki ini merupakan puncak “kekesalan” kaum LGBT sekaligus sebagai bentuk penegasan bahwa kita tidak boleh “memaksa” mereka untuk berubah, karena itu adalah pilihan mereka. Di samping itu, upaya “menyembuhkan” mereka juga terkesan sia-sia saja karena akan dianggap sebagai pelanggaran HAM (setidaknya menurut mereka).
Oleh sebab itu, menurut saya, kita turutkan saja “nafsu” dan keinginan mereka agar tidak disebut diskriminatif. Saya punya solusi yang bersifat temporal untuk menyikapi keberadaan LGBT di Indonesia. Di satu sisi, solusi ini terkesan tidak masuk akal, tapi sangat berguna untuk mengobati “akal yang mati”. Dalam hal ini, menurut saya, berikan saja kesempatan kepada kaum gay dan lesbi untuk menikmati keinginan mereka tanpa diskriminasi.
Saya sarankan hibahkan saja satu pulau untuk mereka, satu pulau untuk gay dan satu pulau untuk lesbi. Biarkan mereka hidup di sana dalam jangka waktu 30 tahun saja. Agar tidak diskriminatif, pemerintah harus membangun berbagai fasilitas di pulau tersebut layaknya di tempat lain, ada listrik, ada rumah sakit, ada kantor polisi, ada PLN dan seterusnya. Pokoknya selengkap-lengkapnya. Di Pulau gay penghuninya harus semua laki-laki, demikian pula di pulau lesbi, penghuninya semua perempuan. Kita ingin lihat apakah mereka bisa hidup selama 30 tahun di pulau-pulau itu dengan sesama jenis. Tapi, saya punya keyakinan, dalam jangka waktu 30 tahun pulau itu sudah kosong tanpa penghuni.
Tapi perlu saya tegaskan, ini hanya solusi temporal sekaligus sebagai bentuk pembelajaran, semoga mereka bisa “tersadarkan.” Supaya mereka paham, bahwa kita sayang kepada mereka. Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin sampaikan bahwa ini cuma pendapat, jangan pula saya disomasi seperti Republika. Wallahul Musta’an.
*Penulis adalah warga negara Republik Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H