Mohon tunggu...
Khairil Miswar
Khairil Miswar Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Pemulung Buku Tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT, HAM dan Solusi Temporal

6 Februari 2016   23:03 Diperbarui: 7 Februari 2016   13:10 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Khairil Miswar

Banda Aceh, 06 Februari 2016

 [caption caption="Sumber Foto: www.firstcitynetwork.net"][/caption]

“Semakin banyak orang sudah memahami bahwa orientasi seksual ataupun identitas seksual seseorang tidak membuat seseorang lebih baik ataupun lebih buruk dari orang lain. Tidak ada alasan lagi buat kita untuk merasa malu atau takut karena kita berbeda orientasi seksual dengan orang kebanyakan.”  Demikian kutipan singkat yang saya “cubit” dari website LGBT Indonesia.

Kutipan singkat di atas memberi isyarat kepada kita semua bahwa seiring perjalanan waktu, kampanye LGBT semakin “berhasil” dan selangkah lagi menuju “sukses”. Para pelaku dan pengagum LGBT terlihat pantang menyerah untuk terus berjuang agar keberadaan mereka bisa diterima secara “ikhlas” oleh publik mayoritas. Untuk melapangkan jalan menuju kesuksesan, mereka terus “menjual” Isu Hak Azasi Manusia (HAM) dan slogan anti diskriminasi. Dua alasan ini menjadi dalil paling shahih untuk meyakinkan publik.

Namun, sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya saya memberikan sedikit penjelasan tentang istilah LGBT agar tulisan ini menjadi fokus. Karena bukan tidak mungkin ada orang (yang awam seperti saya) yang menyangka LGBT merupakan singkatan dari Lomba Gerakan Buta Tuli. Di Indonesia salah sangka model ini adalah wajar saja mengingat orang-orang kita paling hobi buat singkatan. Lihat saja PBB, bisa berarti Pajak Bumi Bangunan, bisa juga Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bisa pula Pendidikan Baris Berbaris plus Partai Bulan Bintang dan masih banyak lagi. Jika kita tanya milik siapa PBB sebenarnya? Wallahu A’lam.  Demikian pula dengan LGBT.

Baik, yang saya maksud LGBT dalam tulisan ini adalah Lesbi Gay Biseksual dan Transgender, satu istilah yang tentunya sudah tidak asing bagi kita yang hidup di abad modern. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan, sedangkan gay merupakan istilah yang secara umum menggambarkan seorang pria yang tertarik secara seksual dengan pria lain.  Adapun biseksual adalah individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan seksual dengan orang dari kedua jenis kelamin, sementara transgender adalah suatu kondisi di mana seseorang merasa tidak nyaman dengan kondisi fisik kelaminnya, kemudian mengadakan perubahan besar-besaran dengan mengganti kelaminnya menjadi sama dengan lawan jenisnya. Oke, saya kira penjelasan singkat ini sudah cukup memadai untuk menghindarkan kita dari salah memahami istilah atau singkatan.

Selanjutnya kita masuk dalam pokok persoalan. Sebagaimana telah maklum bahwa keberadaan kaum LGBT ini terus saja disambut dengan pro-kontra, tidak hanya di Indonesia yang masyarakatnya dikenal religius, tapi juga di negara sekular sekalipun tersebab perilaku tersebut masuk dalam katagori “aneh,” baik ditinjau dari pandangan umum, ajaran agama maupun kodrat manusia. Namun demikian, dalam perkembangannya beberapa negara telah melegalkan perilaku ini.

Bagi masyarakat umum (agama apapun) menganggap bahwa LGBT adalah satu bentuk penyimpangan, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Bahkan Dewan Syura Jurnalis Islam Bersatu (Jitu), Mahladi menyebut LGBTIQ sebagai sebuah penyakit bangsa. Namun demikian, tentunya kenyataan ini tidak bisa diterima oleh para pelaku LGBT, di mana mereka menuntut agar dianggap sama dan tidak diperlakukan diskriminatif.

Menurut Lewi Aga Basoeki dalam salah satu artikelnya:

“apa yang selama ini dibahas hanyalah di dalam koridor agama atau pun ‘adat ketimuran’ atau di dalam perspektif kaum heteroseksual bahwa pasangan itu seharusnya laki-laki dan perempuan, itu yang dianggap normal atau ‘tidak sakit’ sehingga timbul diskriminasi bagi yang tidak sejalan dan seirama. Akibatnya, kaum LGBTIQ menjadi warga kelas dua dengan alasan sederhana, mereka menjalani kehidupan yang ‘dilaknat’ oleh agama.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun