Kita bisa saja berapologi bahwa dunia telah berubah, sehingga materi dakwah pun harus “dilawakisasi” sedemikian rupa agar menarik perhatian pemirsa. Kita boleh saja berargumen bahwa materi dakwah yang kaku akan membuat pendengar menjadi bosan dan tertidur. Tapi, haruskah kita menjadikan pesan-pesan agama sebagai bahan olok-olok agar laris di hadapan pendengar? Apakah para pendahulu kita menjadikan lawak sebagai metode untuk berdakwah? Mari berpikir! Wallahul Musta’an.
*Penulis adalah "Bos" di patahkekeringan.blogspot.com dan khairilmiswar.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI