“Serbuan” terhadap Teuku Wisnu di media sosial semakin lebay dan liar. Wisnu disebut-sebut telah menyebarkan doktrin Wahabi. Akibat reaksi yang berlebihan, kabar terakhir menyebutkan bahwa Teuku Wisnu sudah meminta maaf atas komentarnya yang “heboh” itu. Di satu sisi, permintaan maaf yang dilakukan Wisnu memang patut diapresiasi, artinya Wisnu telah berjiwa besar dan menghargai perbedaan. Namun pada hakikatnya, permintaan maaf itu tidak perlu dilakukan, karena apa yang disampaikan Wisnu masih dalam katagori wajar dan bukanlah hal baru.
Jika hanya karena statemen Fatihah itu Wisnu dituduh Wahabi dan harus minta maaf, maka Said Agil Siradj juga harus minta maaf kepada publik atas statemennya bahwa orang yang menolak tahlilan sebagai tidak Pancasilais. Si Armando yang banyak nyeleneh itu pun harus minta maaf kepada umat Islam. Nusron Wahid yang kononnya menyebut bahwa ayat konstitusi lebih tinggi dari Alquran juga harus minta maaf.
Adalah tidak adil jika cuma Wisnu yang dijadikan “bulan-bulanan”, sedangkan yang lain terlihat enjoy saja. Bagi saya, fokusnya bukan masalah benar tidaknya apa yang disampaikan Wisnu, tapi objektivitasnya itu yang harus dikedepankan.
Jika memang kita meyakini bahwa persoalan kirim Fatihah itu khilafiyah, maka konsekwensinya kita juga harus sepakat bahwa ada dua golongan yang punya pendapat berbeda terhadap amalan tersebut. Jelasnya, ada yang menyatakan kiriman Fatihah itu sampai, dan ada pula yang berkeyakinan tidak sampai. Seharusnya, jika ada seseorang yang mengatakan Fatihah itu tidak sampai dianggap sebagai “mengundang perdebatan” karena membincangkan khilafiyah, maka orang yang mengatakan kiriman Fatihah itu sampai juga harus dilarang, karena statemen itu pun khilafiyah dan juga mengundang perdebatan. Ini baru adil.
Adalah aneh, jika Teuku Wisnu dan juga siapa pun yang mengatakan kiriman Fatihah tidak sampai langsung diberi stempel Wahabi, sesat dan menyesatkan, tapi ketika ada pihak lain yang juga di depan publik menyatakan kiriman Fatihah sampai justru disambut dengan “tepuk tangan” dan bebas dari tuduhan khilafiyah. Yang mengatakan kiriman Fatihah tidak sampai disebut sebagai tidak toleran, sebaliknya yang mengatakan kiriman Fatihah sampai disebut TOLLERANS. Di mana logikanya, Bro!
Ini namanya “khilafiyah karet”, jika merugikan kita, maka dengan penuh semangat kita menyebutnya sebagai khilafiyah, tapi jika menguntungkan kita, itu bukan khilafiyah. Tak naik ketawa saya. Wallahul Musta’an.
*Penulis adalah Mahasiswa PPs UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan juga Direktur patahkekeringan.blogspot.com dan khairilmiswar.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H