Menanggapi Tulisan Aria Sandra; “Aceh dalam Bidikan Misionaris”)
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 12 September 2013
Menarik sekali membaca tulisan sahabat kita Aria Sandra (AS) di Media Serambi Indonesia (Rabu, 11/09/2013) dengan tajuk “Aceh dalam Bidikan Misionaris”. Dalam tulisannya tersebut AS terlihat begitu bersemangat dalam membeberkan serentetan informasi terkait aksi Kristenisasi yang terjadi di Aceh baru-baru ini. AS juga mengisahkan bahwa aksi Kristenisasi yang beliau (AS) istilahkan dengan “Gerilya Salib” di Aceh, bukan hanya terjadi pasca tsunami 2004, tapi aksi tersebut telah muncul jauh sebelumnya – yaitu ketika para penjajah memasuki tanah Aceh. Menurut AS, Aceh adalah benteng Islam terkuat di seluruh persada nusantara sehingga para armada salib tidak mampu menaklukkan Aceh. AS juga mengemukakan bahwa dalam peta penyebaran salib, Aceh diberi tanda garis hitam pekat sebagai isyarat bahwa wilayah Aceh tidak mampu dijangkau Injil.
Dalam pandangan penulis informasi yang dipaparkan oleh AS tersebut telah memberikan sebuah semangat baru bagi kita semua untuk selalu sigap dan siap sedia dalam menghadang berbagai upaya Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris di tanah Aceh. Kita-pun pantas berbangga memiliki santri yang kritis semisal AS sehingga umat Islam di Aceh tercerahkan dengan pemikiran dan wejangan yang disuguhkan oleh AS dalam tulisannya tersebut. Kepedulian AS terhadap kondisi terkini yang terjadi di Aceh merupakan sebuah kecerdasan dan keberanian yang patut dipuji dan diapresiasi oleh semua pihak, tak terkecuali oleh para misionaris itu sendiri, mengingat putra-putra Aceh masih sangat loyal kepada agamanya – Islam.
Namun, penulis sedikit tercengang ketika membaca sebuah tulisan di rubrik “Droe Keu Droe” pada Serambi edisi Kamis, 12 September 2013 dengan tajuk “Staf CMH Bantah Isu Pemurtadan” yang ditulis oleh staf Centre Mulia Hati (CMH). Dalam tulisannya tersebut staf CMH membantah beberapa informasi yang telah disampaikan oleh AS dalam opininya dan mengganggap bahwa tuduhan-tuduhan yang disampaikan oleh AS adalah fitnah belaka.
Setelah membaca tulisan dari staf CMH tersebut, penulis mencoba mencari kembali Koran Serambi Indonesia yang terbit pada Rabu (11/09/2013) untuk memastikan kebenaran informasi terkait beberapa tuduhan yang dibantah oleh CMH di rubrik ‘Droe Keu Droe”. Namun setelah penulis membaca kembali tulisan AS, ternyata penulis juga menemukan kekeliruan lainnya dalam tulisan tersebut.
AS menulis: “Berbagai macam misi mereka jalankan, ada yang berkedok pendidikan seperti di Aceh Barat, ada yang berkedok ekonomi seperti di Aceh Tengah, dan adapula yang berkedok akidah seperti komunitas Millata Abraham, dan faham yang dibawa oleh Muhammad Abduh bin Abdul Wahab yang sekarang berkembang pesat di Aceh” (kolom 4 baris ke 2 sampai 9 dari atas).
Dari kutipan tulisan AS tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa di antara misi pemurtadan (Krestenisasi dan aliran sesat) para missionaris menggunakan berbagai kedok untuk melancarkan aksinya, di antaranya kedok pendidikan, kedok ekonomi dan kedok akidah. Terkait kedok-kedok misionaris yang diutarakan oleh AS tersebut, penulis sangat sepakat dan apa yang telah disampaikan oleh AS memang benar adanya.
Namun penulis kurang sepakat ketika AS memasukkan nama Muhammad Abduh bin Abdul Wahab sebagai bagian dari misi pemurtadan tersebut. Di samping itu, nampaknya nama yang ditulis oleh AS tersebut juga keliru, pasalnya kita tidak pernah mendengar nama “Muhammad Abduh bin Abdul Wahab”. Namun menurut penulis, nama yang dimaksud oleh AS tersebut bisa jadi adalah Syaikh Muhammad Abduh (Ulama Mesir) atau mungkin pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Ulama Saudi Arabiya).
Sebagaimana di ungkapkan oleh Nasution (1987) bahwa ayah dari Muhammad Abduh adalah Abduh Khairullah – bukan Abdul Wahab. Demikian pula dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di antara putra-putra beliau sebagaimana disebutkan oleh Abu Hudzaifah (2008) adalah Syaikh Husein, Syekh Ali, Syekh Abdullah dan Syekh Ibrahim, jadi tidak ada putra beliau yang bernama Muhammad Abduh. Dengan demikian jelaslah bahwa sahabat kita AS telah keliru dalam menulis nama.
Agar tuduhan yang ditulis oleh AS dalam tulisannya tersebut tidak disalah-fahami oleh masyarakat kita, baiknya secara singkat dikemukakan siapa Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Abduh yang oleh sahabat kita AS dituding sebagai bagian dari faham pemurtadan (sesat). Dalam tulisannya AS menyatakan bahwa Aceh beraliran Sunni dan beri’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah. Perlu diketahui oleh AS bahwa Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Abduh juga ulama-ulama Sunni. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sebagaimana disebutkan oleh ahli-ahli sejarah adalah salah seorang ulama yang gigih memperjuangkan “Tauhid” di Jazirah Arab, di mana saat itu masyarakat Jazirah Arab, khususnya Nejd telah terperosok ke dalam jurang kesyirikan dan bid’ah yang merajalela. Jadi klaim AS bahwa faham Muhammad bin Abdul Wahab sebagai bagian dari akidah sesat adalah “dha’if jiddan” dan tidak berdasar sama sekali.
Demikian pula dengan Syaikh Muhammad Abduh, beliau adalah seorang ulama besar asal Mesir yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan di abad modern. Adapun klaim Harun Nasution (1987), bahwa Muhammad Abduh cenderung kepada paham Mu’tazilah adalah keliru, sebagaimana hal ini telah dibantah olehEka Putra Wirman dalam tulisannya di Jurnal Pemikiran Islam Islamia-Republika bertajuk “Membongkar Mitos Harun Nasution” sebagaimana dikutip oleh Hidayatullah.com (27/03/2013).
Di samping itu, pengaruh Muhammad bin Abdul Wahab juga merambah dalam beberapa organisasi besar di Indonesia, di antaranya Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad (Al-Thalibi, 2006: 10). Di Aceh sendiri, pengaruh kedua tokoh ini juga cukup besar, khususnya di era pra dan awal-awal kemerdekaan. Tgk. Hasballah Indrapuri adalah tokoh yang paling gencar melakukan pemurnian akidah umat, kitab pegangan beliau adalah “Kitab Tauhid “ karangan Muhammad bin Abdul Wahab (Lembaga Research dan Survey IAIN Ar-Raniry, 1978: 34)
Berdasarkan penjelasan singkat di atas dapatlah dipahami bahwa tulisan yang ditulis oleh AS sebagian besarnya adalah benar dan sesuai dengan fakta-fakta yang ada, namun di sisi lain AS juga telah melakukan kekeliruan berupa tuduhan terhadap Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Abduh yang pada prinsipnya bertolak belakang dengan fakta sejarah. Namun demikian, semangat dan keikhlasan AS dalam menyikapi badai pemurtadan di Aceh patut di hargai dan dipuji oleh semua pihak.
Di akhir tulisan ini penulis mengajak kita semua untuk tetap konsisten kepada akidah kita sesuai “Al-Qur’an dan Hadits” dan menolak dengan tegas berbagai bentuk pemurtadan dan penyesatan yang dilancarkan oleh para misionaris di Aceh. Namun penulis ingin menitip sebuah pesan kepada AS dan kita semua tentang adab seorang penulis yang harus tetap dipegang erat. Abdul Hamid Al-Khatib, seorang penulis besar di lingkungan istana Bani Umayyah sebagaimana dikutip oleh HAMKA (1980) menulis dalam Risalatu Ilal Kuttabi; “Jangan terlalu boros mengeluarkan suatu pendapat”. Sebagai seorang penulis, AS harus memahami kaidah yang telah disampaikan oleh Hamid Al-Khatib tersebut agar tidak berlebihan dalam mengeluarkan pendapat sehingga merusak pemahaman masyarakat tentang kebenaran. Satu hal lagi yang perlu diingat oleh AS, seperti pepatah Aceh: “Beutaturi Keumong ngon Tumbon” (harus bisa dibedakan antara bengkak dan gemuk), artinya jangan sampai yang sesat kita katakan benar, dan yang benar justru kita golongkan sesat. Na’uzubillah. Wallahu Waliyut Taufiq.
* Penulis adalah Alumnus IAIN Ar-Raniry dan mantan santri di Dayah Darussa’dah Cabang Cot Bada Kab. Bireuen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H