Berutang bukanlah hal baru dalam masyarakat sosial sehari-hari. Hutang telah tumbuh berkembang dari masa ke masa, dari satu keturunan ke keturunan berikutnya. Kadang kala seperti sebuah budaya yang terus terjaga tanpa akhir. Layaknya seperti sebuah negara berkembang atau miskin yang sangat bergantung pada utang.Â
Kondisi ini sering sekali di dasari oleh faktor kesulitan ekonomi yang di hadapi oleh si penghutang. Namun tidak jarang banyak situasi lain yang berperan dalam memunculkan sikap berhutang. Salahkah? Tentu saja tidak, namun bagaimana menghilangkannya menjadi sebuah pertanyaan yang sulit di jawab.Â
Dalam realitas dunia perhutangan, sering sekali memunculkan persoalan hingga berujung sebuah konflik yang di dasari utang piutang antara kedua pihak. Sering sekali kondisi awal munculnya hutan lebih harmonis dan baik-baik. Namun, menjadi sangat kontras dan bertolak belakang ketika hutang tersebut jatuh pada masa bayarnya. Situasi kedua pihak menjadi rawan pada permusuhan. Tidak jarang, teman menjadi musuh, keluarga menjadi cerai berai. Inilah repotnya di hutang dan berutang.Â
Nuansa melunasi hutang sering menjadi suasana hangat yang tidak jarang berujung konflik. Kedua belah pihak sering sekali tidak menemukan komitmen terhadap persetujuan awal ketika hutang itu di laksanakan. Terutama si penghutang yang tidak segan-segan melanggar perjanjian awal utang piutang berlangsung.Â
Pengingkaran terhadap komitmen awal [karena ketidak sanggupan melunasi] memicu perseteruan antar kedua pihak. Ketika berhutang mudah, namun membayar menjadi sangat sulit. Inilah yang perlu di hayati dan disadari bahwa berhutang idealnya sesuai dengan kemampuan dan bukan dengan mimpi yang belum tentu nyata.Â
Dalam berbagai realita utang piutang sangat sering tidak berjalan dengan baik dan mulus. Penyelesaian antara kedua belah pihak yang awalnya baik-baik [bersaudara] disudahi dengan saling membenci atau malah mendendam.Â
Melunasi hutang memang berat, tetapi alangkah eloknya berutang harus sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Membayang sesuatu yang belum nyata sering sekali dijadikan landasan dalam melunasi hutang. Banyak orang yang menjual hayalan ketika membuat komitmen hutang, namun akhirnya terjerebab dalam kenistayaan ketidakmampuan menyelesaikan hutan.
Akhirnya, pelarian menjadi salah satu pilihan dan meninggalkan hutan tanpa penyelesaian. Ini yang perlu di perhatikan dalam perencanaan sebuah hutang. Jangan karena kalap, lalu hutang menjadi pilihan.Â
Pertimbangkan kondisi ketika tidak sanggup melunasi lalu kabur dari kenyataan dengan melahirkan kebohongan kepada si pemberi hutan dan Sang Pencipta.Â