Maria Josephine Catherine Maramis atau kerap dipanggil Maria Walanda Maramis telah menorehkan namanya sebagai pahlawan emansipasi yang populer dari Minahasa. Perbedaan hak kaum wanita dengan kaum pria terutama di bidang pendidikan itulah yang membuat wanita asal Kema, Sulawesi Utara ini mencoba ‘mendobrak’ adat tersebut. Dan dampaknya cukup besar sampai saat ini, terbukti dari adanya pejabat wanita di pemerintahan Indonesia saat ini, meski masih ada kesenjangan di antara kaum pria dengan kaum wanita.
Kedua orang tuanya meninggal saat ia baru berusia enam tahun. Oleh pamannya, ia bersama kakaknya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Meskipun terpaksa hanya melanjutkan pendidikan dasar selama tiga tahun karena aturan di Minahasa yang melarang perempuan sekolah lebih tinggi, Maria tetap berinteraksi dengan kalangan terpelajar. Kendati mengikuti norma tersebut, ia terus mengembangkan pemikiran seiring dengan permasalahan sosial di daerahnya. Pengaruh positif datang dari pendeta Belanda di Maumbi, Ten Hove, yang menginspirasinya untuk memajukan perempuan di Minahasa.
Meski awalnya diharapkan hanya untuk menikah dan mengurus keluarga, Maria Walanda Maramis membawa semangat baru dengan menekankan peran penting ibu dalam keluarga, merawat kesehatan keluarga, dan memberikan pendidikan awal kepada anak-anak. Pemikirannya yang segar dan gagasan-gagasannya tentang memajukan perempuan dituangkan dalam tulisan di surat kabar lokal bernama Tjahaja Siang yang mempunyai reputasi baik di kalangan orang-orang Minahasa sehingga memungkinkan gagasan-gagasan Maria dibaca dan diketahui oleh lebih banyak orang.
Pada usia 19 tahun, Maria menikah dengan Jozef Frederik Calusung Walanda, seorang guru bahasa di sekolah Belanda, Manado. Menyadari kondisi memprihatinkan di Airmadidi dan Maumbi, Maria mulai memperjuangkan peningkatan pengetahuan perempuan seputar kesehatan, rumah tangga, dan pengasuhan anak. Inilah babak baru dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia yang diukir oleh Maria Walanda Maramis.
Maria Walanda Maramis bersama beberapa orang lainnya melahirkan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917. Tujuan PIKAT adalah memberi pendidikan kepada perempuan yang telah menamatkan sekolah dasar. PIKAT bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling, serta di berbagai kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada 2 Juni 1918, PIKAT mengukir sejarah dengan mendirikan Huishound School PIKAT, sebuah sekolah rumah tangga untuk perempuan muda di Manado.
Maria, dengan semangatnya tidak hanya mengandalkan donasi, tetapi juga berjualan kue dan hasil karyanya untuk menopang PIKAT. Keuletannya membangkitkan dukungan dari masyarakat terpandang. Pada 1932, PIKAT merintis Sekolah Kejuruan Putri, atau Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen.
Perjuangan Maria tak hanya terbatas pada pendidikan, melainkan juga hak politik perempuan. Meski mengalami penolakan pada awalnya, tahun 1921 membawa keputusan dari Batavia yang mengizinkan perempuan memberikan suara dalam pemilihan anggota Minahasa Road. Maria membuka jalan bagi perempuan desa dengan cita-cita tinggi, mengatasi ketidakadilan gender hingga Indonesia merdeka selama 77 tahun.
Maria Walanda Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai akhir hayatnya pada 22 April 1924. Meski perjuangannya berakhir, semangatnya terus berkobar. Pada 20 Mei 1969, pemerintah memberinya gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/1969.
Sampai sekarang setiap tanggal 1 Desember, masyarakat di tanah Minahasa memeringati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok perempuan hebat, pemberani, dan pendobrak adat, serta pejuang hak azasi dan emansipasi perempuan di dunia pendidikan dan politik. Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Maria Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, kota Manado.
Maria Walanda Maramis menginspirasi dengan kata-katanya yang membekas.
"Alangkah pahitnya bila kita hanya menyerah pada kelemahan, atau kekurangan perhatian orang lain terhadap hati nurani, serta seluruh rencana dan gagasan kita."