SETELAH berpisah kurang lebih dua puluh lima tahun, mahasiswa angkatan 1984 Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Faperta Unram) akhirnya berhasil mewujudkan acara temu kangen di Hotel The Santosa Senggigi, 26 – 27 Desember 2015.
Dari 200 mahasiswa yang terdaftar pada angkatan tersebut, memang tidak mudah untuk dilacak keberadaannya karena sudah bertebaran di mana-mana. Namun berkat kegigihan ketua tingkat Syarif Hidayatullah serta dibantu beberapa kawan lainnya, seperti Aluh Nikmatullah, Bambang Hari Kusumo, Bambang Juni Wartono, Basuki Raharjo, Januar Indarto, Ajang Mandariza, Syarafudin Jarot, Husnul Fauzi, Iswandi, akhirnya temu kangen bisa berjalan sesuai dengan rencana. Sekitar 105 mahasiswa yang pernah duduk di bangku kuliah angkatan ‘84 itu pun melepas kangen mereka selama dua hari di kawasan wisata pantai Senggigi.
Banyak kisah yang sudah dilewati selama di bangku kuliah seakan tergambar kembali saat acara temu kangen berlangsung. Apalagi Januar Indarto yang bertanggungjawab sebagai seksi acara, mengemas dengan cara berbeda. Mahasiswa era delapan puluhan yang sekarang ada yang sudah menjadi kakek dan nenek itu diajak untuk kembali di masa lalu, seperti remaja kuliahan lagi. Bahkan ada di antara mereka yang pernah menjalin kisah asmara, digojlok oleh kawan-kawan lainnya.
Saya dan istri juga merupakan angkatan ’84 FP Unram yang turut serta dalam acara temu kangen tersebut. Saya dengan istri saya Ramlah, merupakan salah satu pasangan yang menikah dengan kawan seangkatan. Selain kami, ada juga Raehatul Jannah yang menikah dengan Iswandi, I Gde Artana menikah dengan Ni Nyoman Sardiasih, Lalu Iskandar menikah dengan Desak Alit Candrawati, dan terakhir Ketut Widikasih menikah dengan I Gusti Ngurah Arif Subagyo.
Yang kelihatan berpacaran saat kuliah hanya pasangan I Gde Artana dengan Ni Nyoman Sardiasih dan Ketut Widikasih yang selalu nempel di samping I Gusti Ngurah Arif Subagyo. Artana dan Widikasih sudah dikaruniai dua putra putri yang kini tinggal di Kalimantan Timur, sedangkan Bagyo dan Widikasih mengelola hotelnya di kawasan Sekotong Lombok Barat. Sementara tiga pasangan lainnya, malah membuat heboh saat temu kangen berlangsung. Kami harus menjawab pertanyaan kawan-kawan, “kapan mereka pacaran.” Pertanyaan ini malah paling banyak diajukan pada saya dengan istri saya. Karena selama di kampus kami memang tidak pernah pacaran. Jangankan pacaran, jalan bareng saja tidak, tetapi itulah rahasia Allah SWT yang tidak bisa kita duga. Bahkan sahabat dekatnya istri saya, Rahmi Sofiarini yang saat itu sedang melanjutkan studi S2 di Australia pun terheran-heran. ‘’Bagaimana ceritanya?’’ Hal yang sama juga terjadi dengan pasangan Iswandi dan Raehatul Janah dan Iskandar dengan Desak.
Jawaban kami tentu tidak bisa memuaskan pertanyaan kawan-kawan. Bahkan pada malam resepsi, panitia sudah menyiapkan sesi khusus bagi pasangan yang oleh kawan-kawan disebut dengan “gol bunuh diri’ itu untuk tampil di panggung. Indarto sebagai pembawa acara pun sudah mengumumkan. Tetapi karena banyaknya waktu yang tersita untuk pembagian souvenir dan lain-lain, hingga waktu yang ditentukan tidak bisa dilaksanakan. Tadinya seh saya akan mencoba untuk menjawab sekaligus keingintahuan kawan-kawan soal ‘kisah’ kami yang mereka anggap aneh. Bahkan Legawa Partha berkali-kali harus bolak-balik hampiri kami berdua karena saking penasarannya. Kepada istri bahkan sempat dia tanya kenapa mau menikah dengan Khairudin. Istri saya hanya tersenyum menanggapi ulah kawan-kawan itu.
Saya bersama istri dan putri ketiga kami, Mutiara Zalfaa Ananda Khairudin, berangkat dari Bima pada Kamis, 24 Desember 2015. Untuk memudahkan mobilitas di Lombok, saya putuskan jalan darat dan membawa kendaraan sendiri. Pada hari itu, kami tidak langsung menyeberang, tetapi memilih menginap sehari di Sumbawa. Sekitar pukul 02.00 dini hari kami bangun untuk siap-siap melanjutkan perjalanan.
Kami shalat subuh di sebuah masjid di Pelabuhan Tano, sebelum menyeberan sekitar pukul 05.20 Wita. Pukul 08.00 Wita baru bisa keluar dari kapal karena harus antre. Sahabat Basuki Raharjo terus menelepon agar kami sejenak mampir di kediamannya di Pringgabaya. ‘’Mampir sarapan dulu, kalian coba soto ayam Mulengeno. Paling enak dan terkenal di sini,’’ katanya. Sekitar 30 menit kami sudah sampai di rumahnya Basuki dan dikenalkan dengan dua anaknya, Zakka dan Fina. Kawan kami ini telah ditinggalkan oleh istrinya sekitar setahun lalu. Karena statusnya duda, sering jadi bahan candaan di group WhatsApp FP ’84 Unram.
Kami melanjutkan perjalanan ke Mataram dan tiba sekitar pukul 11.00 Wita. Kami langsung check in di hotel Fortune yang telah kami pesan melalui Traveloka. Alhamdulillah perajalanan kami cukup lancar. Waktu sehri sebelum acara temu kangen, kami gunakan untuk jalan-jalan ke toko buku. Apalagi putri kami ketika diajak ke Mataram, permintaan utamanya adalah ke toko buku Gramedia. ‘’Afaa mau beli buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) yang banyak,’’ kataya.
Putri kecil kami yang gemar membaca ini memang lebih suka ke toko buku dibandingkan kalau diajak beli pakaian. Bahkan karena masih ada buku yang mau dibeli, dia minta kembali lagi ke toko itu sebelum kami bergabung dengan kawan-kawan di The Santosa Hotel, Senggigi.
Kehebohan saat registrasi peserta tanggal 26 Desember 2015 mulai terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana perubahan wajah dan postur seseorang saat masih kuliah dengan saat usianya rata-rata setengah abad. Pasti banyak yang berubah. Banyak di antara kami yang harus mengenalkan diri. Masing-masing menyebut nama yang biasanya diikuti dengan teriakan kaget dan saling pukul atau saling rangkul. Walau di antaranya banyak juga yang masih bisa dikenali, tetapi perubahan fisik dari gadis misalnya menjadi seorang nenek, jelas mengejutkan. Saya sendiri merasa, saat pertama bertemu itulah merasakan banyak sekali kejutan. Ada yang dahulu kurus ceking, kini sudah gemuk dan bedel. Rambut sudah memutih, wajah sudah mulai keriput, perut sudah banyak yang gendut. Yang dahulu terlihat biasa sekarang menjadi luar biasa, yang luar biasa pun sekarang hanya biasa-biasa. Semua perubahan itu terjadi selama lebih 25 tahun berpisah.
Saya sendiri cukup banyak mengingat nama dan wajah kawan-kawan saya itu. Yang paling kami ingat adalah nama, wajah dan postur sudah berubah. Makanya saat regsitrasi, panitia menyapkan stiker untuk ditulis nama masing-masing dan ditempelkan di dada. Dari Bima, yang bisa berangkat adalah Juwaid, Kemal Helmi, Sumarno, dan Bambang Sukardi. Dari Dompu yang hadir adalah M. Amin dan Ye’ Ali. Dari Sumbawa yng bisa hadir adalah Amry Rahman, Saleh Mohtar, Muslimin, Syarafudin Jarot, Jenny Sinma, dan Tarmizi Pane. Saleh sebenarnya tidak tinggal di Sumbawa, tetapi di Palangkaraya, sedangkan Jenny tinggal di Surabaya.
Lebih menariknya adalah kebersamaan kawan-kawan dari Bali yang tetap solid. Saat kuliah mereka luar biasa menunjukkan kebersamaannya, an ternyata itu tidak luntur hingga mereka berkiprah di tengah masyarakat. Demikian pula dengan respon mereka saat acara temu kangen ini berlangsung. Kawan-kawan dari Bali yang paling antusias untuk hadir dan itu terbukti. Terima kasih kawan-kawan, semangat kebersamaan kalian patut dibanggakan.
Di antara kawan kami itu ada juga yang rajin sekolah sehingga beberapa di antaranya sudah menyelesaikan studi S2 dan S3. Selain menjadi pengusaha, ada juga yang jadi tentara, polisi, dan PNS serta menjadi dosen. Fakultas Pertanian Unram era kami adalah fakultas favorit. Jadi tidak heran kalau lulusan-lulusan terbaik SMA se NTB bahkan tidak sedikit dari luar daerah, ingin menjadi mahasiswa FP Unram. Saya sendiri bukanlah siswa terbaik, tetapi lulus di FP Unram adalah takdir saja. Jadi bukan karena hebat seperti kawan-kawan lain seangkatan saya. Istri saya walau lahir dan menamatkan SMP di Woha, tetapi menamatkan pendidikan SMA di SMA Ampenan sebelum lolos seleksi untuk manjadi mahasiswa FP Unram.
Pada kegiatan temu kangen ini, disepakati beberapa hal seperti akan ada kegiatan serupa secara rutin yang berkelanjutan, serta terbentuknya tim formatur untuk melahirkan sebuah rumpun atau ikatan untuk kegiatan sosial dan amal di masa datang. Tim ini akan bekerja merumuskan formula yang tepat, sehingga angkatan ’84 Faperta Unram bisa berkiprah dan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Basuki juga memiliki usulan menarik yaitu terikatnya secara emosinal bekelanjutan antar sesama angkatan dan keluarga di masa datang, supaya temu kangen tidak hanya sebatas jumpa untuk berpisah. Terima kasih Anton Yafet Tirayoh, Heri Paskalis David, Retno, Evie Zulaiha, Heny Marfiatun, Fauzi, Yusuf, Syarif Husni, Siti Hilyana, Aizah, Iip Ipwaniah, Wentri, Pujiastuti, Lalu Sukardi, Raehatul Jannah, Sri Wulandari, Rahmi Sofiarini, Wayan Purnata, Sumarja, Saleh Muhtar, Putu Juli Ardika, Nurgina Wahyuni, Made Yasa, Made Batu, Legawa Partha, Kusuma, Jennya Sinma dan kawan-kawan lain. Salam, insya Allah jika masih ada umur panjang kita akan berjumpa kembali. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H