Mohon tunggu...
Khailila Ramadhani
Khailila Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Haiii teman-teman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tantangan dan Prospek Ketersediaan Pangan Masyarakat Pesisir dalam Keberlanjutan Pangan di Wilayah Pesisir

24 Mei 2023   11:53 Diperbarui: 24 Mei 2023   12:23 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk pesisir yang masih berprofesi menjadi nelayan di daerah tempat mereka tinggal. Permasalahan sosial telah terjadi pada beberapa masyarakat yang tinggal di pesisir pantai khususnya para nelayan. Masalah tersebut disebabkan oleh ketersediaan pangan yang tidak tercukupi, kemiskinan, dan musim paceklik masyarakat nelayan yang tidak memperoleh pemasukan karena kegiatan menangkap ikan tidak dapat dilakukan (Sugiyanto, 2020). Pendidikan yang rendah dan budaya pada wilayah pesisir menimbulkan peningkatan penduduk yang berdampak pada ketersediaan pangan dan perubahan pola konsumsi yang menjadi tantangan terhadap keberlanjutan ketersediaan bahan pangan (Massalinri dkk., 2017). 

Mengingat pentingnya ketersediaan pangan sebagai pilar ketahanan nasional, maka kebutuhan produksi pangan sangat mendesak khususnya produk dalam negeri saat ini. Ketergantungan pada ekspor untuk memenuhi permintaan pangan menempatkan suatu negara pada risiko politik dan keuangan yang besar (Boucekkine et al., 2016). Secara politik akan berdampak terutama pada kerjasama bilateral dalam politik luar negeri Indonesia, sedangkan secara ekonomi jika ekspor terus dilakukan maka semakin besar anggaran yang akan dibutuhkan (Massalinri dkk., 2017). Ketersediaan pangan yang tidak optimal dan merata di Indonesia tidak mencerminkan sebagaimana Indonesia menjadi negara berdaulat dari segi pangan.

Skenario yang diberikan merupakan kebijakan ketahan pangan bukan swasembada atau kedaulatan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan pangan pemerintah harus dikaji lebih lanjut. Ketahanan pangan yang merupakan upaya penyediaan pangan tanpa mempersoalkan asal usulnya baik dari produksi maupun dari ekspor, pada dasarnya bertentangan dengan swasembada pangan karena tidak menjadikan aspek produksi sebagai satu-satunya pilihan dalam penyediaan pangan melainkan satu-satunya pilihan dari berbagai upaya yang ada. Untuk menjadi swasembada pangan yang memerlukan ketersediaan pangan melalui produksi sendiri, situasi tersebut harus disesuaikan. Produksi merupakan pilar utama untuk membangun swasembada pangan sehingga setiap kebijakan harus dapat menempatkan kepentingan tertinggi pada masalah tersebut (Siddiq dan Mubarak, 2013)

Ketersediaan produksi pangan semakin terbatas akibat peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan dalam bidang pertanian menjadi lahan non-pertanian dan penurunan rata-rata penguasaan lahan pertanian oleh petani. Mayoritas petani di pedesaan adalah petani penggarap atau petani kecil yang tidak memiliki lahan sendiri. Adanya keterbatasan biaya, petani sering mengalami keterbatasan dalam melakukan prosedur pertanian. Sehingga terjadi keterbatasan kapasitas produksi yang menyebabkan produksi pertanian umumnya stagnan (Menike dan Arachchi, 2016).

Nelayan yang tinggal di wilayah pesisir memiliki dinamika yang berbeda dengan para petani yang berprofesi sebagai pemilik tanah atau tidak memiliki tanah dalam masyarakat agraris. Akses ke sumber daya terdapat adanya perbedaan utama antara budaya pedesaan dan pesisir. Laut merupakan sumber daya alam yang bersifat free access, artinya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, tidak seperti sumber daya darat pada masyarakat agraris. Penangkapan ikan adalah industri yang sangat kompetitif karena sifat sumber daya yang terbuka, sehingga tidak mengherankan jika nelayan dan orang lain yang tinggal di sekitar pantai memiliki kepribadian yang kasar. Ketersediaan pangan di wilayah pesisir ditentukan oleh distribusi dan akses terhadap pangan yang tersedia (Massalinri dkk., 2017). 

Namun tentunya masyarakat wilayah pesisir menemukan beberapa masalah, meskipun laut menjadi sumber yang bersifat free access namun modal dan gaji yang diterima kurang mampu menutupi kebutuhan yang mereka butuhkan sehari-hari. Jika nelayan tersebut menyewa alat tangkap dari saudagar, maka mau tidak mau hasil tangkapannya harus diserahkan kepada saudagar dengan gaji yang ditentukan oleh saudagar. Tak hanya itu, hutang piutang sampai dengan musim yang tidak menentu menyebabkan gaji para nelayan pun ikut tak tahu arah. Hal ini perlu adanya peningkatan kesejahteraan karena tantangan yang dihadapi pada tekanan infrastruktur, ekonomi, ekologi, hingga politik (Cohen dan Mu, 2015). 

DAFTAR PUSTAKA

Boucekkine, R., Prieur, F., & Puzon, K. (2016). On the timing of political regime changes in resource-dependent economies. European Economic Review, 85, 188-207.

Cohen, B., & Munoz, P. (2016). Sharing cities and sustainable consumption and production: towards an integrated framework. Journal of cleaner production, 134, 87-97.

Massalinri, M., Ahmad, A., & Masruhing, B. (2017). Pola Produksi Dan Konsumsi Pangan Pada Daerah Pesisir Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Agrominansia, 2(2), 129-137.

Menike, L. M. C. S., & Arachchi, K. K. (2016). Adaptation to climate change by smallholder farmers in rural communities: Evidence from Sri Lanka. Procedia food science, 6, 288-292.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun