Khaila Riyanni, Liya Adqiyah, Widiyah, Hanin Mumtazah, Kaman Jaya Saputra - Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
“Pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap bangsa, lebih-lebih bagi bangsa yang sedang membangun…” demikian dikatakan oleh Presiden Soeharto ketika membuka Konferensi Dewan Menteri-menteri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke-17. Dalam era pembangunan nasional Indonesia masalah pendidikan mendapatkan perhatian yang sangat besar, seperti yang tertuang dalam pola pembangunan nasional (PELITA) sektor pendidikan serta pemberian anggaran pendidikan yang setiap tahun semakin meningkat.
Pendidikan begitu penting bagi kehidupan manusia di masa kini maupun di masa yang akan mendatang, karena pendidikan dapat menentukan nasib seseorang di masa depan. Setiap pendidikan memiliki ilmu didalamnya dan juga memiliki seni. Pada saat ini begitu banyak orang yang tidak peduli mengenai pendidikan. Bahkan, saat ini banyak sekali anak melalukan tindakan kriminal demi mendapatkan sesuatu yang mereka butuhkan. Berdasarkan buku Landasan Pendidikan tercantum, “Bahwa anak manusia mempunyai potensi yang masih tersembunyi, anak manusia memiliki kemampuan untuk berkembang, maka dijelaskan pula bahwa anak manusia dapat belajar secara efektif.”
Makna pendidikan adalah sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan serta mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki sejak lahir, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan. “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (UU No 20 tahun 2003).
Pendidikan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi pertumbuhan, perubahan dan kondisi setiap manusia. Perubahan yang terjadi adalah pengembangan potensi anak didik, baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dalam kehidupannya. Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan, yaitu Langeveld, John Dewey, J.J. Rousseau, Driyarkara, Carter V. Good, Ahmad D. Marimba, dan Ki Hajar Dewantara.
Peserta didik, pendidik, tujuan pendidikan, dan materi pendidikan termasuk unsur pendidikan. Peserta didik berstatus sebagai subjek didik dalam suatu pendidikan yang memiliki potensi fisik, psikis, berkembang, membutuhkan bimbingan, dan perlakuan manusiawi. Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan yang berasal dari lingkungan pendidikan yang berbeda, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Tujuan pendidikan merupakan hal yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran dan tujuan ke arah mana bimbingan ditujukan, bertujuan untuk membangkitkan, memicu, dan menyegarkan kembali materi-materi yang telah dibahas agar peserta didik semakin mantap dalam menguasai pelajaran. Materi pendidikan merupakan bahan ajar dalam suatu pendidikan dan merupakan pengaruh yang diberikan dalam bimbingan.
Buku ilmu pendidikan (tahun 2018 halaman 16-17) menyatakan bahwa pendidikan sebagai ilmu adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dan alam sebagai pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmani. Pendidikan sebagai ilmu adalah proses penyesuaian diri secara timbal balik antara manusia dan alam. Menurut Herbert Read (1970:208) ada tiga aspek dalam pendidikan seni yang terwujud dalam tiga kegiatan yang berbeda meskipun seringkali tidak bisa dipisahkan, yaitu berekspresi diri (self expression), kegiatan mengamati (observation), dan kegiatan apresiasi.
Kegiatan berekspresi ini menurut Herbert Read sulit bahkan tidak bisa diajarkan. Penerapan standar eskternal, teknik maupun bentuk tertentu dapat menjadi hambatan dan bisa menimbulkan frustrasi pada diri anak. Guru dalam hal ini hanyalah bisa menunggu, membantu atau memberi inspirasi. Semuanya diserahkan sepenuhnya pada anak untuk melakukannya dengan tanpa harus mengikuti petunjuk guru. Mengamati hampir seluruhnya membutuhkan keterampilan dan pengalaman yang memadai. Individu atau seorang anak bisa dikatakan dilahirkan dengan sebuah kemampuan untuk memusatkan perhatian, mengkoordinasikan mata dan tangan untuk merekam segala sesuatu yang dilihat atau yang diamati.
Kegiatan apresiasi secara psikologis sebenarnya hampir sama dengan kegiatan berekspresi, namun diyakini bahwa kemampuan mengapresiasi ini bisa dikembangkan oleh guru. Sejauh ini yang dimaksud dengan kegiatan apresiasi adalah tanggapan seseorang terhadap hasil ciptaan orang lain dan fungsi dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan aspek adaptasi sosial (Read, 1970:209). Pendidikan sebagai seni sendiri pertama kali dikemukakan oleh A.S Neil. Menurut ia, “Mendidik dan mengajar bukanlah suatu ilmu, tapi adalah seni. Mendidik yang diartikan sebagai seni adalah bagaimana kita dapat hidup dengan anak-anak dan dapat mengerti anak-anak sehingga 10 seolah-olah kita menjadi seperti anak-anak”.
Gilbert Highet (1954) mengibaratkan praktik pendidikan sebagaimana orang melukis sesuatu, mengarang lagu, menata sebuah taman bunga, atau menulis surat untuk sahabat. Dalam proses pembelajaran di sekolah dasar, praktik pendidikan merupakan suatu paduan dari ilmu dan seni. Karena pada dasarnya selain memiliki ilmu, guru juga diharapkan dapat mengajar dengan kreativitas tinggi dan tentunya kreativitas tersebut mengandung seni.