Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budiman, Religiusitas, dan Wisdom in Science

6 April 2022   08:19 Diperbarui: 6 April 2022   08:51 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budiman Sudjatmiko men-tweet: NU itu continuum. Muhammadiyah itu discreet. NU itu field. Muhammadiyah itu particle. Apa yang ditulis Budiman seolah menunjukkan bahwa dua organisasi besar itu telah melengkapi pikirannya. Meski di sisi lain dia menawarkan "wisdom science" agar keduanya tak selalu menunjukkan perbedaan setiap akan menghadapi Bulan Puasa. 


Di sela-sela acara Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Provinsi Lampung, 23 Desember 2021 lalu, seseorang mengabadikan dengan kamera HP, Budiman Sudjatmiko sedang menunaikan ibadah salat zhuhur. 

Tokoh Innovator 4.0 itu tidak mengetahui sama sekali. Yang memotret mengaku tak bermaksud apa-apa, tapi hanya merespons rasa curious dirinya terhadap perjalanan religius dari seorang Budiman yang selama ini dikenal publik.

Perjalanan religius seolah memberi kesan bahwa kegelisahan spiritual telah terjawab dengan masuk ke alam intransenden. Tokh, selama ini Budiman dikenal sebagai tokoh nasional yang gandrung dengan iptek atau science (pasca menjadi politisi senayan), yang notabene lebih sekuler. Namun nyatanya, Budiman cukup religius.

Dalam hal ini, ada dua hal yang menarik. Pertama sejauhmana religiusitas dipandang Budiman mampu menjawab masalah kebenaran melalui doktrin atau ajarannya. Dan kedua, sejauh mana religiusitas itu dapat menjawab pertanyaan science, yang selama ini (dalam beberapa kasus) dipandang sebagai penyebab ketertinggalan.

Gambaran ekstremnya seperti yang terjadi pada abad pertengahan hingga munculnya Renaissance. Atau gambaran lain, ketika pencarian Stephen Hawking tentang Tuhan yang tak juga terjawab hingga dirinya wafat. Atau gambaran gambaran lainnya.

Sains terkadang tegak dengan sebuah keangkuhan. Meski banyak kisah justeru menunjukkan perbedaan.

Seperti yang tertuang dalam "Faith and Wisdom in Science" oleh Tom McLeish, orang-orang menyangka tokoh sains terkenal akan selalu jauh dari Tuhan. Padahal, tidak demikian adanya. Newton dan Faraday lebih dari biasanya merupakan pembaca kitab suci yang taat.

Juga kalangan saintis lain. Digambarkan McLeish, yang biasanya tidak pernah memikirkan agama namun masih menikah di gereja, menyanyikan lagu-lagu Natal dan dimakamkan oleh seorang pendeta.

Budiman sebetulnya tak jauh berbeda. Melalui jejak digital, perjalanan religiusitas Budiman sebenarnya cukup besar terjadi di tahun 2013 saat menunaikan ibadah haji. Dia sampai menitikkan air mata ketika berada di Raudhah. Budiman pun bercerita, bagaimana dia menunjukkan rasa harunya. Penggalan kisah tahun 2013 ini memberikan ketegasan bagaimana Budiman merasa sangat dekat dengan agama dan menangis di makam Rasulullah.

Kita juga akan ingat bagaimana sang idola dari Budiman yaitu Bung Karno ketika mengunjungi makam Nabi. Bung Karno melepas semua atribut kepangkatannya dan menangis di makam Rasulullah.

Religiusitas dan Hadirnya Sains

NU itu continuum. Muhammadiyah itu discreet. NU itu field Muhammadiyah itu particle. NU sebagai rangkaian kesatuan. Muhammadiyah
bijaksana dan penuh kehati-hatian. NU menjadi cakrawala. Muhammadiyah yang konsisten mempertahankan nilai.
 
Apa yang dituliskan Budiman ini merupakan gambaran akan kayanya khasanah bangsa. Dua organisasi besar ini tidak saja punya tokoh-tokoh yang saling mendialektika dan melengkapi, seperti Amien Rais dan Achmad Syafi'i Ma'arif yang mungkin masyarakat melihat keduanya memberikan referensi yang berbeda namun saling melengkapi untuk sebuah peradaban.

Begitupun NU yang memiliki tokoh-tokoh dengan kekayaan intelektual yang luar biasa. Seperti Ulil Abshar Abdala ataupun sejumlah Kiai NU lainnya termasuk Said Aqil Siradj dan Yahya Cholil Staquf.

NU dan Muhammadyah sebetulnya bagi masyarakat di Indonesia telah lama "melembagakan" diskursus yang terkait peranan agama dalam mencari kebenaran dan peran agama dalam menghadapi perubahan zaman.

NU dan Muhammadiyah menjadi suatu yang relevan karena selain doktrin agama, keduanya menjadi organisasi besar yang dinamis yang terus menjawab berbagai pertanyaan yang bersifat tantangan ke masa depan.

Di masa lalu, NU dan Muhammadiyah menghadapi musuh bersama terkait kemerdekaan. Dalam gerakan budayanya berbagai hal yang menyangkut kemerdekaan jadi merasuk ke pemikiran masyarakat.

Dalam konteks gerakan budaya, apa yang dilakukan Budiman saat ini (dari Bukit Algoritma dan ajakan untuk mengakselerasi Iptek) telah dilengkapi oleh sejarah dan pemikiran NU dan Muhammadyah.

Inovasi teknologi yang digaungkan Budiman di satu sisi pentingnya merupakan gerakan budaya. Sama halnya dengan ketika gaung kemerdekaan terus dilontarkan oleh para pendiri bangsa pada saat era kemerdekaan. Pada masa itu, NU dan Muhammadiyah dengan menggunakan gerakan kulturalnya keinginan merdeka masuk ke dalam pemikiran rakyat pada saat itu.

NU dan Muhammadyah bermain di akar rumput sehingga kemerdekaan yang harus diraih itu masuk akal dan masuk ke pemikiran masyarakat. Ini dilakukan melalui gerakan agama dan budaya.

Tak berbeda dengan saat ini. Ketika revolusi teknologi harus masuk ke pemikiran masyarakat, maka gerakan budaya sangat dibutuhkan.

Contoh yang paling kecil adalah bagaimana Budiman bisa memasukkan gagasan-gagasannya ke masyarakat seperti konsep Algoritma ataupun Revolusi Industri 4.0 apabila masyarakat tidak memiliki budaya membaca. Padahal, masyarakat akan memahami dan menambah wawasan tentang teknologi lewat membaca.
Membaca demi memahami teknologi merupakan gerakan budaya yang penting demi keberhasilan revolusi teknologi di Indonesia.

Sementara peranan agama seperti kita ketahui ketika cloning diterapkan di Inggris pada era 80-an, pada saat itu timbul perdebatan dalam persoalan etika dan moral yang ujung ujungnya akan menyangkut masalah agama.

Karena bagaimanapun juga harus ada batas-batas dari perkembangan teknologi tersebut yang dikaitkan dengan moralitas tertinggi (agama).

Juga dengan berbagai hasil perkembangan teknologi lain. Seperti masalah Bitcoin dan sebagainya, yang tentu saja dalam gerakan budaya tetap membutuhkan pendapat pendapat dari sisi religius sesuai tatanan yang kuat melekat di masyarakat. Ini memang tak bisa dihindari.

Intinya, gerakan budaya dan upaya untuk menanamkan teknologi di masyarakat akan lebih efektif. Karena banyak sekali hasil-hasil dari perkembangan ilmu dan teknologi akan berbenturan dengan masalah moral yang ujung-ujungnya akan terkait dengan persoalan agama. Contoh ekstremnya ketika sesuatu diperdebatkan antara halal dan haram.

Oleh sebab itu inovasi teknologi ataupun Revolusi Industri 4.0, jika tanpa melibatkan gerakan budaya dam agama yang ada di masyarakat akan sulit merasuk ke dalam pemikiran.

Bahkan akan membutuhkan waktu lama untuk pengkondisian melalui pendidikan, kecuali dibantu oleh institusi pendidikan yang sebagian besar dikuasai oleh NU dan Muhammadiyah, melalui gerakan budaya yang mencerahkan.

Gerakan budaya ini terasa cenderung ke arah gerakan politik, meski itu hal yang berbeda. Gerakan budaya lebih bersifat strategi terkait nilai. Sedangkan politik menjadi bagian dari strategi yang bersifat kepentingan. Jika ingin mengarah ke peradaban baru gerakan budaya yang harus dikedepankan.

Budiman menyadari NU dan Muhammadiyah itu bukan semacam barang-barang yang ada di etalase ataupun di museum yang hanya bisa dipandang namun tidak bisa digunakan.

Jika gerakan budaya dan agama (dari dua organisasi besar itu) bisa memberi manfaat demi kemajuan dan demi peradaban, maka hal itu lebih baik ditempuh. Sebuah kursi atau meja di etalase atau museum hanya bisa dipandang. Tapi jika dia kita miliki, maka kursi atau meja itu bisa digunakan (dimanfaatkan). Tidak hanya sebuah pajangan.

Kembali ke persoalan religiusitas dan hadirnya sains, ada baiknya kita melirik persoalan yang terjadi setiap tahun.

Tidak bisa dipungkiri perbedaan NU dan Muhammadiyah terkait dengan penentuan jadwal puasa nyaris terjadi setiap tahun

Hal ini tidak bisa dipandang semua hal yang negatif karena tokh, perbedaan tersebut juga memiliki masing-masing memiliki alasan.

Hanya hal penting yang bisa ditawarkan adalah apabila sains atau ilmu pengetahuan mampu memberikan tawaran yang lebih bijaksana terkait masalah tersebut maka ini menjadi jawaban yang bijaksana. Sains akan menjawab masalah hisab dan rukyah.

Khaidir Asmuni (Democracy Care Institute)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun