Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budiman Sudjatmiko Bangun Dialog Antargenerasi demi Sempurnakan Peradaban

22 Maret 2022   05:48 Diperbarui: 22 Maret 2022   06:21 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jika kita bertanya, mungkinkah Generasi Z melakukan demonstrasi besar-besaran terkait persoalan ekonomi, sosial dan politik yang muncul saat ini? Kita sebaiknya menghindari itu. Kita tidak bisa menghakimi sebuah generasi karena tak memiliki sense of social-politics care, seperti yang dialami generasi sebelumnya. Sebab, tantangan dan konteks persoalan yang mereka hadapi sudah begitu berbeda.

Tampil di acara "Journey of The Cadicate" dan diwawancarai Onadio Leonardo dan Debby Wage, Februari 2022 lalu, secara gamblang tokoh reformasi Indonesia Budiman Sudjatmiko mengakui apa yang dilakukannya di era 96-97 merupakan bagian dari "a quarter life crisis".Meski telah melakukan sesuatu yang mengagumkan di zamannya, Budiman tetap menilai "a quarter life crisis" sebagai sebuah kondisi yang memicu perubahan, sebelum generasi muda itu menjadi manusia paripurna.

Hanya situasi itu tidak sama antargenerasi. Apa yang dialami Budiman belum tentu dirasakan oleh generasi muda saat ini seiring makin sibuknya mereka melakukan hal yang dianggap relevan dengan zamannya.

Seperti aktivitas politik.  Sikap kritis seperti tak terlihat. Banyak persoalan sosial yang terkait politik, nyaris luput dari perhatian kalangan generasi muda, terutama Generasi Z.

Berbagai persoalan yang harusnya menjadi perhatian oleh generasi sebelumnya yaitu Generasi X, yang merasakan memperjuangkan era reformasi, dari pra 98 sampai pasca 98, tidak terjadi di era kini. Seperti ada kesenjangan isu dengan Gen Z terutama pemahaman tentang isu reformasi.

Perbedaan isu sejak dalam pikiran ini memang membuat Onadio Leonardo dan Debby terkejut ketika membrowsing aktivitas Budiman Sudjatmiko di era 1997 saat dia menghadapi vonis hukuman 13 tahun. "Gokil juga kegiatan Om Budiman di masa itu," ujar Onadio, yang juga mantan vokalis Killing Me Inside.

Menjawab ini, Budiman mencoba merajut persepsi yang sama antara generasi X, Y dan Z terhadap kehidupan politik yang berbeda itu.

Saat ini memang dibutuhkan dialog dan komunikasi yang intens. Sebab saat ini tumbuh generasi dengan atmosfer yang berbeda.

Tokoh Reformasi Indonesia ini mencoba membangun jembatan dialog antargenerasi dengan tidak memberikan kesan vulgar dan menakutkan terkait tantangan yang dialami di zamannya. Tentunya dia tidak bisa menyamakan risiko politik yang akan dihadapi oleh generasi muda saat ini seperti halnya 3B di era Orde Baru. Di mana risiko seseorang yang mencoba melawan ketidakadilan harus berhadapan dengan 3B: Bui, Buang atau Bunuh.

Juga tidak menghakimi generasi saat ini karena memang konteks persoalan yang dihadapi antar generasi berbeda-beda.

Budiman mencoba mengurangi gap antara generasi X, Y dan Z melalui penekanan nilai-nilai yang seharusnya tetap dipertahankan di masa sekarang. Sebuah kesadaran generasi terhadap nilai-nilai itu harus dibangun. Kemungkinan besar generasi pasca Gen X hanya mengambil persentase yang sangat kecil nilai nilai dari warisan budaya masyarakat sebelumnya.  

Hal ini menjadi penting ketika bicara dalam konteks kebangsaan (negara), yang harus memiliki kesinambungan antargenerasi. Sehingga dapat tercipta sebuah peradaban dan generasi yang lebih sempurna dari sebelumnya.

A quarter life crisis atau krisis di usia seperempat abad merupakan istilah psikologi yang merujuk pada keadaan emosional yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 18 hingga 30 tahun. Kegelisahan dan pencarian diri dipicu oleh tekanan yang dihadapi baik dari diri sendiri ataupun lingkungan. Dalam kondisi ini, ketika idealisme menjadi sebuah pilihan, maka hal itu berpotensi menciptakan perubahan.

Sebelum masuk menjadi manusia paripurna, kematangan akan diuji di masa usia krisis ini. Manusia paripurna tak hanya memiliki kapasitas dan keterampilan yang tinggi untuk pemenuhan diri sendiri tetapi juga mensyukuri berkah yang dimilikinya.

Di masa kemerdekaan, tokoh tokoh nasional menginspirasi perubahan di usia muda. Bung Karno berusia 29 tahun saat mengguncang dunia internasional lantaran pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat mampu membuka mata dunia internasional betapa kejamnya perlakuan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.

Tokoh lainnya seperti
Bung Hatta menjadi ketua Perhimpunan Indonesia di usia 24 tahun. Perhimpunan Indonesia ini yang merupakan cikal bakal kesadaran berbangsa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang menginspirasi menjadi sebuah bangsa yang merdeka.

Tantangan-tantangan ini berbeda antargenerasi, dari era pra kemerdekaan, era kemerdekaan hingga di era milenial saat ini memiliki tantangan tersendiri.

Jika di era Pra-kemerdekaan, tantangannya adalah keinginan untuk meraih kemerdekaan. Setelah itu, di era mengisi kemerdekaan, tantangannya adalah menghadapi berbagai ketimpangan sosial dan politik yang menghasilkan generasi 66 (eksponen 66) dan aktivis gerakan 98.

Sedangkan di era sekarang, generasi milenial menghadapi tantangan tersendiri.

Kita tak perlu kaget ketika Majalah Time menobatkan
Greta Thunberg dari Swedia yang berusia 16 tahun adalah individu termuda sebagai Person of the Year 2019.
Forbes merilis, dengan dedikasinya, Thunberg mengilhami ratusan ribu anak muda untuk berpartisipasi dalam "pemogokan iklim", yang terbukti memengaruhi para pemimpin dunia dalam seruan mereka untuk perubahan yang transformatif dan mendesak.

Tidak hanya Greta Thunberg. Shamma bint Suhail Faris Mazrui, lulusan University of Oxford diangkat sebagai Minister of State for Youth Affairs di Uni Emirat Arab, di usia 22 tahun. Shamma dinilai berhasil memberdayakan kaum muda di UEA agar aktif dalam masyarakat dan pemerintah mereka.

Nama Gen Z lain adalah Malala Yousafzai, 22 tahun pemenang Hadiah Nobel termuda dalam sejarah pada tahun 2014.

Nama nama tersebut menggoreskan sejarah Gen Z yang memberi sumbangan besar kepada dunia di zamannya. Forbes mencatat kelebihan generasi Z. Di antaranya Teknologi. Web dan media sosial memperkuat suara anak muda yang belum pernah ada sebelumnya. Dan sebagai penduduk asli digital, Gen Z mewujudkan konektivitas dan menavigasi dunia online dengan kemudahan dan kelancaran yang tak tertandingi.

Lalu Pendidikan. Bagi Gen Z, terdapat pepatah "Pengetahuan adalah kekuatan" tidak pernah benar. Mereka berada di jalur yang tepat untuk menjadi generasi terdidik yang pernah ada di dunia. Mereka memiliki akses ke jumlah informasi yang tiada bandingnya dan, juga, tahu cara memanfaatkannya dalam upaya mereka untuk membuat perbedaan.

Faktor lainnya adalah Gairah. Gen-Z hampir tidak pernah puas dalam mengejar tujuan---sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri untuk diikuti dengan penuh semangat. Dan ketika mereka menemukan tujuan yang benar-benar menggerakkan mereka, mereka mengejarnya dengan hasrat yang tak tertandingi dan tanpa penyesalan. Teknologi mungkin menyediakan platform, dan pendidikan dapat memberikan dorongan, tetapi semangat Gen Z yang membuat mereka begitu menonjol sebelum waktunya dan kuat di panggung dunia.

Gen Z merupakan "manusia baru" yang menghadapi tantangan baru pula. Salah satunya adalah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity).

Wikipedia menjelaskan, Volatility merupakan kondisi dimana dunia berubah cepat, bergejolak, tidak stabil, dan tak terduga.

Uncertainty. Masa depan penuh dengan ketidakpastian. Sejarah dan pengalaman masa lalu tidak lagi relevan memprediksi probabilitas dan sesuatu yang akan terjadi.

Complexity. Dunia modern lebih kompleks dari sebelumnya. Masalah dan akibat lebih berlapis, berjalin berkelindan, dan saling memengaruhi. Situasi eksternal yang dihadapi para pemimpin bisnis semakin rumit.

Ambiguity. Lingkungan bisnis semakin membingungkan, tidak jelas, dan sulit dipahami. Setiap situasi dapat menimbulkan banyak penafsiran dan persepsi.

Tantangan ini tentu saja berbeda jika dikaitkan dengan era kemerdekaan ketika kita bicara nasionalisme. Juga ketika muncul demonstrasi besar-besaran terkait ketimpangan sosial dan politik, terjadi sebelum dunia menyentuh revolusi industri 4.0. Protes sosial dan politik inipun menghadapi tantangan kontekstual dalam menjawab pertanyaan mengapa hal tersebut harus dilakukan.

Nasionalisme sudah berganti pada paham-paham yang lebih universal. Batas-batas antar negara sudah sangat tipis bahkan tidak ada. Kemajuan teknologi telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia.

Di saat pandemi covid-19 merajalela, terdapat 48 negara yang generasi mudanya terancam hilang (lost generation). Pemecahannya akan melibatkan seluruh negara terdampak. Di sinilah pandangan nasionalisme sudah begitu berubah.

Memahami Kondisi Anomali

Menjembatani Generasi X, Y dan Z membutuhkan pemahaman yang tinggi tentang kondisi anomali yang terjadi saat ini. Di mana nilai-nilai lama yang biasanya di jalankan sudah tidak berlaku. Sementara, nilai-nilai baru yang relevan dengan situasi saat ini masih dibentuk. Ini pun tidak bisa ditentukan kapan nilai-nilai baru tersebut akan menjadi nilai fix yang bisa diterapkan karena perubahan yang begitu cepat. Dalam situasi VUCA yang sulit untuk diramalkan apakah nilai-nilai tersebut harus selalu menyesuaikan diri secara abadi? Ini masih menjadi sebuah pertanyaan.

Namun untuk membuat jembatan antargenerasi, apa yang dilakukan Budiman Sudjatmiko merupakan hal yang sangat penting.

Sebab, bagaimanapun juga generasi generasi sebelum generasi Z memiliki tanggung jawab besar terhadap nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh generasi Z.

Nilai-nilai tersebut tentu saja memiliki kadar moralitas yang sangat tinggi dan diharapkan dapat mengawal hal-hal yang mungkin menyimpang di masa depan. Karena bagaimanapun juga secanggih canggihnya teknologi di masa depan tentu akan kembali kepada faktor-faktor manusia.

Manusialah yang harus lebih berperan untuk mengendalikannya. Kecanggihan artificial intelligence (AI) tidak bisa dilepas begitu saja dan bebas dari nilai-nilai karena rentan menghancurkan sebuah peradaban.

Kemajuan teknologi yang canggih harus diimbangi nilai-nilai sehingga dapat dijawab untuk apa teknologi tersebut diciptakan.

Terkait dengan casting untuk menjembatani pemikiran-pemikiran antargenerasi apa yang dilakukan Budiman Sudjatmiko memiliki casting dan pendekatan yang sangat tepat. Dengan gaya Budiman yang cool, bahasa-bahasa yang mudah dicerna, tidak arogan (humble) dan dapat menerima berbagai perubahan dan sikap-sikap spoiled yang mungkin saja ditunjukkan oleh generasi Z.

Sekali lagi, Budiman telah mengisi "a quarter life crisis" di zamannya secara mengagumkan dan menciptakan perubahan yang cukup berarti bagi bangsa ini.

Semoga jembatan antargenerasi yang dibangunnya dapat membekali generasi ke depan akan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Yang harus tetap dipertahankan di dalam perkembangan teknologi yang begitu cepat.

Keterangan:

 Gen Z: kelahiran 1997-2012 dan berusia antara 9-24 tahun pada 2021

Gen Y atau Millennials: kelahiran 1981-1996 dan berusia antara 25-40 tahun pada 2021

Gen X: kelahiran 1965-1980 dan berusia antara 41-56 tahun pada 2021

Baby Boomers: kelahiran 1946-1964 dan berusia antara 57-75 tahun pada 2021

Sementara yang terbaru adalah Generasi Alpha, yaitu mereka yang lahir antara tahun 2010-2011 hingga sekarang.

(KHAIDIR ASMUNI/Democracy Care Institute)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun