Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Kritis di Balik Pro dan Kontra UMP DKI Jakarta

16 Januari 2022   13:24 Diperbarui: 16 Januari 2022   13:55 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penjelasan Bappenas yang memberi "lampu hijau" terhadap kebijakan kenaikan UMP di DKI Jakarta menyisakan sejumlah pertanyaan yang menjadi catatan penting.

Pertama, pernyataan itu dikeluarkan di saat kebijakan DKI Jakarta yang menaikkan UMP masih terjadi pro dan kontra. Lampu hijau dari Bappenas justru memperluas kontra terhadap penerapan kebijakan PP nomor 36 tahun 2021. Karena daerah lain berpotensi mengikutinya.

Hal ini kurang sejalan dengan apa yang telah dilakukan Pemerintah terhadap dunia usaha saat ini yaitu kepastian hukum, kecepatan dan efisiensi. Sebab yang dilakukan Bappenas justeru menciptakan peraturan menjadi tidak pasti yang menimbulkan keragu-raguan di dunia usaha. 

Juga mempengaruhi kecepatan dalam rangka proses untuk meloloskan Indonesia dari Middle Income Trap (MIT). Dan dengan menyetujui kenaikan upah tersebut berarti berhadapan dengan upaya untuk melakukan efisiensi di kalangan usaha dunia usaha, yang bisa berpengaruh pada investasi.

Kedua, terlepas dari baik atau buruknya kenaikan UMP tersebut terhadap konsumsi rumah tangga seperti yang dijelaskan oleh Bappenas, masyarakat tetap membutuhkan argumentasi yang lebih profesional.

Sebab, Anies Baswedan mengajukan usulan UMP DKI Jakarta tersebut pasca dikeluarkannya PP Nomor 36 2021. Artinya, telah berlangsung jauh hari sebelum dia mengeluarkan keputusan tentang kenaikan UMP tersebut di Tahun 2022. Anies sendiri mengaku telah mengajukan hal tersebut kepada pemerintah pusat sebelum memutuskan untuk menaikkan UMP. 

Artinya, apa yang dilakukan Anies Baswedan dan argumen yang dikeluarkan Bappenas bahwa  kenaikan UMP untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga tersebut tidak match. Lebih tegas lagi berbeda latar belakangnya.

Alasan yang dilontarkan Anies yang lebih bersifat pada rasa keadilan. Sedangkan analisa yang dibuat setelah membaca data BPS itu suatu hal yang berbeda. Bukan dari sebuah kajian profesional yang matang.

Bahkan, Bisnis.com 22 Desember 2021, menulis: Suharso mengungkapkan, kenaikan UMP sendiri tidak mungkin hanya sebesar 1 persen. Dia mendapatkan pandangan itu setelah berdiskusi dengan salah satu pengusaha ternama.

"Saya sangat respect dengan beliau, beliau mengatakan kepada saya enggak mungkin Pak Harso kenaikan UMR itu, UMP itu cuma 1 persen, rumusnya itu memang seperti itu berdasarkan PP dan sebagainya, tapi itu memang tidak mungkin," jelasnya.

Oleh karena itu, Suharso menilai kenaikan UMP sebesar 5,1 persen pun akan berdampak baik kepada pengusaha-pengusaha.

Kita tidak memahami apakah ini latar belakang dikeluarkannya argumen dari Manoarfa tersebut terkait UMP DKI Jakarta. Namun selayaknya Bappenas yang memiliki kredibilitas memberi argumen-argumen yang profesional. Yang tidak menggunakan istilah dukung-mendukung.  Melainkan terdapat penjelasan panjang mengenai latar belakang dikeluarkannya PP No.36/2021.

Ketiga, sense of objectivity sangat dibutuhkan oleh setiap lembaga negara. Saat ini orang memandang Anies Baswedan tidak saja sebagai Gubernur DKI Jakarta tapi juga sebagai calon presiden yang telah dideklarasikan sejumlah pihak. Artinya apa yang dilakukan Anies Baswedan bisa saja terkait interrest yang berpengaruh pada unsur-unsur yang lebih bersifat politis.

Stuck dalam MIT?

Seperti halnya sebuah jebakan, makna "trap" dari MIT adalah sesuatu yang menangkap kita sehingga kita sulit meloloskan diri. Kita tertangkap. Jika menggunakan istilah Eva Paus, profesor ekonomi dari Massachusetts, A.S., yang telah meneliti persoalan MIT di Amerika Latin, untuk lolos harus dengan upaya sangat keras.

Analisis Eva Paus dalam artikel berjudul "Escaping The Middle Income Trap: Innovate or Perish" yang dirilis Asian Development Bank Institute, tahun 2017 lalu, jika direfleksikan, masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Persoalan UMP misalnya seolah/terkesan terlepas dari masalah MIT. Padahal dia merupakan bagian dari diterapkannya omnibus law yang berlatarbelakang pada upaya efisiensi upah agar Indonesia lolos dari jebakan berpenghasilan menengah yang berkepanjangan.

Dasar pemikirannya adalah keinginan meningkatkan daya saing produk secara internasional. Sebab, dengan kondisi produk yang dihasilkan dari padat karya yang terstandarisasi, upah relatif terlalu tinggi. Juga tidak dapat menjamin produk mampu bersaing karena produktivitas relatif terlalu rendah.

Selain itu, dengan kondisi upah yang tinggi sulit untuk menarik investor. Ditambah lagi dengan transformasi teknologi melalui otomatisasi (revolusi industri 3.0) membuat produktifitas dari hasil teknologi lebih menjanjikan dalam kuantitas dan kualitasnya dibanding dari padat karya. Itulah sebabnya, jalan untuk lolos dari MIT adalah berinovasi.

Karena peraturan 36/2021 mengenai UMP tersebut berlatar belakang dari upaya untuk melakukan kepastian hukum, efisiensi dan  kecepatan, maka ini harus disesuaikan dengan konteks jangka menengah dan panjang.

Misalnya dalam memandang pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini tak harus membius kita mengabaikan upaya meningkatkan industri manufaktur. Sehingga tidak terjebak pada deindustrialisasi.

Indonesia tidak bisa selamanya mengabaikan industrialisasi dan hanya menekankan komoditas. Atau juga terlalu berpihak pada sisi kebijakan pragmatis yang mungkin lebih populis.

Contohnya kebijakan kenaikan UMP (seperti di DKI Jakarta) bukanlah tanpa risiko. Pengusaha bisa bereaksi untuk merelokasi usahanya ke daerah lain. Bahkan ke negara lain.

Tantangan dan Sikap Istiqomah

Dalam sebuah buku hasil kerja sama antara Bappenas dan ADB untuk persiapan studi Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024, disebutkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih tidak terdiversifikasi karena banyak bertumpu pada ekspor komoditas. Perbaikan di sektor ini penting agar Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan yang tinggi.

Indonesia memang memiliki jalan untuk mendapatkan penghasilan dari menjual komoditas yang ada di dalam negeri, misalnya produk hulu. Kita pun sempat bangga karena ada peningkatan ekspor.

Namun ini tidak bisa berlangsung terus menerus. Karena negara luar (seperti China) membeli produk hulu namun memasarkannya dalam bentuk barang jadi.

Pengalaman di negara Amerika Latin, seperti ditunjukkan Eva Paus, konvergensi pendapatan dari komoditas itu bersifat sementara. Sebab, tidak diimbangi dengan konvergensi kemampuan.

Siklus super harga komoditas tahun 2000-an dan dampaknya terhadap pertumbuhan di Amerika Latin adalah contohnya. Antara tahun 2003 dan 2007, ekonomi Amerika Latin mengalami konvergensi pendapatan (income convergence) yang kuat, tetapi tidak dengan konvergensi kemampuan (capabilities convergence).

Ketika ledakan komoditas berakhir pada awal 2010-an, kekurangan kemampuan di negara-negara Amerika Latin muncul ke permukaan.

Melihat pengalaman ini, tak ada jalan lain. Dari komoditas harus beralih ke inovasi. Keterbatasan kemampuan membuat suatu negara harus mengejar ketertinggalannya dalam konteks global karena tekanan persaingan dan kecepatan perubahan teknologi semakin meningkat.

Perubahan teknologi lebih cepat dalam dua dekade terakhir ditambah dengan 'Kebangkitan China' telah melahirkan 'Efek Ratu Merah', di mana negara-negara berpenghasilan menengah harus mengumpulkan kemampuan inovasi lebih cepat hanya untuk tetap berada di tempat yang sama.

Dalam dunia yang kompetitif, kemajuan diperlukan hanya untuk tetap bertahan. Efek Ratu Merah adalah sebuah  hipotesis dalam teori evolusi yang mencetuskan bahwa spesies harus beradaptasi, berevolusi dan berkembang biak dalam rangka bertahan hidup melawan spesies lain yang juga berrevolusi.

Dalam persaingan, kita tidak bisa menolak. Kalaupun harus menundanya, maka itu hanya memperdalam persoalan yang akan dihadapi ke depan.

Eva Paus menggambarkan pengembangan kemampuan berproduksi dalam negeri di negara yang terjebak MIT adalah dibutuhkannya waktu untuk belajar, dalam proses produksinya. Juga perlu dibangunnya struktur kelembagaan yang diperlukan yang memungkinkan dan mendukung inovasi.

Tentu saja  waktu yang tersedia untuk mencapai daya saing dalam kegiatan bernilai tambah lebih tinggi menjadi lebih singkat.

Ditambah lagi banyak pemain bersaing di pasar internasional dan perubahan teknologi lebih cepat (Revolusi Industri 4.0). Misalnya China yang makin memberi tekanan pada negara-negara berpenghasilan menengah melalui produknya.

Karena China adalah negara terpadat di dunia, pembukaannya untuk perdagangan internasional telah menawarkan peluang ekspor baru yang luar biasa bagi seluruh dunia.

Mereka tidak saja mampu bersaing dalam produk standar berteknologi rendah seperti pakaian non-desain, tetapi juga dalam produk berteknologi tinggi, khususnya produk elektronik dan komputer. Antara tahun 2000 dan 2014, pangsa China dalam impor barang-barang berteknologi rendah dunia naik dari 19,6 persen menjadi 29,3 persen, sementara pangsanya dalam impor berteknologi tinggi juga meningkat. Ini terjadi 7 tahun lalu dan dapat dipastikan kini kian meningkat.

Indonesia memang terus berupaya mengembangkan kemampuan berproduksi dalam negeri dengan melakukan teansfer teknologi.
PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), misalnya. Mereka mengklaim sukses melakukan transfer teknologi kepada para pekerja Indonesia yang didominasi pekerja lokal, sehingga penggunaan tenaga kerja asing semakin menurun.

PT. Sulawesi Mining Industri, seperti diberitakan Kantor Berita Antara, merupakan perusahaan pertama yang membangun smelter nikel di IMIP, pada awalnya 80 persen tenaga kerjanya adalah TKA asal China, namun sekarang hampir tidak ada lagi TKA di situ.

Untuk mempercepat transfer teknologi ini, IMIP telah membuka Politeknik Industri Pertambangan yang akan mendidik generasi muda untuk menjadi tenaga siap pakai di sektor pertambangan.

Lahan di Indonesia masih luas. Potensi bahan baku untuk pengembangan industri pertambangan di Morowali sangat besar, karena selain nikel, daerah itu juga memiliki potensi industri baja, mangan dan besi. Sedangkan industri hilir yang potensial dibangun adalah baja karbon (carbon steel dan bateray lithium).

Sekarang ada satu investor yang sedang membangun pabrik bateray lithium. Kalau pabrik ini beroperasi, maka IMIP akan menjadi produsen bateray lithium terbesar di dunia.

Memang berat untuk bangkit dari MIT. Tidak saja perjuangan tapi juga sikap Istiqamah untuk menghadapinya. Transfer teknologi menjadi jalan yang on the track untuk berinovasi dan memulai kemampuan Indonesia di pasar internasionsl.

Istilah MIT sendiri yang diperkenalkan oleh Gill and Kharas dalam buku yang berjudul an east Asian Renaissance : Ideas for economic growth pada tahun 2007 mengungkapkan bahwa dari 101 ekonomi yang diklasifikasikan sebagai 'berpenghasilan menengah' pada tahun 1960, hanya 13 yang menjadi 'berpenghasilan tinggi' pada tahun 2008. Dapatkah Indonesia menyusul menjadi bagian yang berpenghasilan tinggi?

(Khaidir Asmuni/Democracy Care Institute)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun