Mohon tunggu...
Khaerul Umam
Khaerul Umam Mohon Tunggu... -

Pegiat study agama-agama dan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Modal Membangun Karakter Kepemimpinan Santri

14 Maret 2014   04:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalan

Jauh sebelum pendidikan modern (model sekolah) muncul, pesantren merupakan pendidikan rakyat yang telah banyak mencetak kader-kader generasi bangsa. Keberadaan pesantren, mengiringi gerak kebudayaan masyarakat Indonesia menapaki setiap detik perubahan yang mengitarinya. Respon terhadap perubahan kondisi sosial masyarakat sangat cepat dilakukan. Hal ini mengingat pesantren yang letaknya dekat dengan keseharian masyarakat, sehingga sangat mampu memahami perubahan sosial tersebut. Tidak hanya sekedar memahami, pesantrenpun mampu menjadi ruang konsultasi bagi setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat di lingkungannya. Mulai dari persoalan yang bersifat pribadi hingga yang menyangkut perihal kepentingan bangsa Negara.

Nuansa pendidikan yang dibangun pesantren, mampu mencetak kadernya (baca: santri) menjadi pribadi yang selalu siap menghadapi setiap problemaitka yang dihadapi. Hal ini dikarenakan karakter kuat dari model pendidikan yang berlaku pada pesantren. Kita semua tahu bahwa santri yang mengabdikan dirinya belajar di pesantren, harus rela meninggalkan kampung halamannya. Jauh dari keluarga yang sedari kecil memberikan kasih sayang yang tulus, serta melepas masa bahagia, bermain dengan teman sebayanya di desa tanpa terikat aturan yang ketat. Inilah pengorbanan yang pertama kali seorang santri lalui. Di dalam pesantren, mereka menemukan suasana kehidupan yang baru, memahami karakter teman-teman barunya, serta harus rela terikat dengan aturan ketat pesantren. Tidak mudah bagi seorang santri baru (mayoritas usia anak-anak) beradaptasi dengan suasana yang berbeda jauh dari kehidupan keluarga dan masyarakat dimana sebelumnya ia tinggal. Tidak sedikit yang tidak mampu bertahan dengan suasana baru tersebut, tidak betah dan boyong (pulang). Namun, banyak pula yang bertahan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru di pesantren.

Bagi rereka yang bertahan, mula-mula belajar memahami lingkungan barunya, mulai dari kewajiban yang harus dijalankan, serta hak yang diterima. Belajar mengenal karakter teman-teman barunya yang tentu antara satu dan yang lainnya memiliki kepribadian yang berbeda. Hingga seorang santri menemukan kenyamanan dan makna belajar di pesantren. inilah awal seorang santri membangun kepribadiannya.

Aturan-aturan ketat yang berlaku di pesantren di satu sisi membuat seorang santri terkungkung dan tidak memiliki kebebasan, namun mereka semakin menyadari bahwa aturan yang berlaku adalah upaya pesantren dalam mendidik dan membentuk seorang santri menjadi pribadi yang baik. Dengan mengikuti setiap aturan dan budaya yang sudah berlaku di pesantren seorang santri semakin menemukan arti sebuah kepatuhan. Hal ini penting sebagai bekal di kehiduapannya kelak, yakni menjadi pribadi yang siap diatur dan mempu mengatur.

Kepribadian

Abdurrahman Wahid (2010), atau yang biasa dikenal Gus Dur, menjelaskan tiga nilai utama yang dimiliki pesantren. Pertama, adalah cara memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadah. Semenjak pertama kali memasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan pada sebuah kehidupan tersendiri, di mana peribadatan menempati kedudukan tertinggi. Kedua, kecintaannya pada ilmu-ilmu pengetahuan agama. Sebagaimana dimengerti di lingkungan pesantren, merupakan landasan yang membenarkan pandangan serba ibadah di atas, sehingga ilmu selalu identik dengan ibadah, ibadah memerlukan ilmu dan mengamalkan ilmu itu merupakan bentuk ibadah pula. Dengan demikian dengan sendirinya muncul kecintaan yang mendalam terhada pilmu-ilmu agama.

Nilai utama ketiga yang berkembang di pesantren menurut Gus Dur adalah keikhlasan dan ketulusan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama. Menjalankan semua yang diperintahkan kiai dengan tidak ada ras berat sedikitpun, bahkan dengan penuh kerelaan, adalah bukti nyata yang paling mudah untuk dikemukaan bagi nilai utama ini. Secara bersama, kesemua nilai utama di atas membentuk sebuah sistem umum, yang mampu menopang berkembangnya watak mandiri di pesantren. inilah wujdud orisinalitas perwatakan hidup di dunia pesantren.

Proses pembentukan watak kepribadian santri berlangsung dinamis dengan melibatkan unsur kepasrahan terhadap apa yang berlaku umum dalam kehidupan pesantren. Ketiga unsur nilai di atas dibentuk dan membentuk di dalam proses yang lama (thuuluzzamaan), baik dari penggalian ilmu-ilmu keagamaan serta keikhlasan dalam bekerja. Di sini dibutuhkan kesabaran, terutama dalam penggalian ilmu-ilmu keagamaan. Kesabaran menjadi watak pelengkap bagi kepribadian seorang santri, hal tersebut berangkat dari ajaran agama Islam yang tertuang dalam sebuah ayat, “Wasta’iinuu bi ash-shabri wa ash-sholah”, (jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu), demikianlah kira-kira arti dari ayat al-Qur’an tersebut. Hal ini membuktikan, bahwa pendidikan pesantren merupakan manifestasi dari ajaran fundamental agama Islam.

Ajaran-ajaran Islam menjadi sumber peneguh karakter kemandirian santri. Tafsir kebudayaan pesantren atas ajaran Islam melalui dalil-dalil yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, menjadi pedoman santri dalam mengambil keputusan melalui proses penalaran yang terlatih melalui intensitas kajian yang digeluti. Setiap tindakan yang memerlukan dalil sebagai basis perilaku, mampu diaplikasikan dalam keseharian, semua berangkat dari dalil dan melalui tafsir atas dalil, tidak dikerjakan sembarangan dan mengikuti kehendak bebas pribadi. Kecenderungan cara bersikap demikian memungkinkan daya integritas komunitas santri menjadi kuat, karena setiap keputusan baru harus dicapai melalui sebuah forum yang membahas keputusan tersebut dengan berbagai disiplin refferensi yang bermacam-macam, dalam forum Halaqoh maupun Bahtsul masaa’il.

Ginanjar K (2003), menyebutkan bahwa masalah kemandirian, utamanya adalah masalah sikap mental, yang berarti pada dasarnya terkait dengan masalah budaya. Namun, hal ini tidak pernah berkembang dalam masyarakat tertutup. Peradaban berkembang karena terjadi saling serap nilai-nilai antarkomunitas, antarmasyarakat, antarbangsa, dan antarperadaban. Saling serap nilai-nilai tersebut merupakan proses komunikasi. Komunikasi dibangun tidak hanya melalui kontak fisik antarkebudayaan tetapi juga melalui komunikasi non-verbal melalui transformasi teks-teks yang dipelajari dan diamalkan. Hal tersebut intens dilakukan di pesantren, yang membentuk karakter kuat seorang santri.

Kompleksitas Kajian

Nun jauh di dunia barat sana, dengan model pendidikan modern. Mereka menyebutkan sistem pendidikan yang diterapkan mereka dengan memberikan kebebasan bagi peserta didik memilih keilmuan yang dipandang penting bagi karirnya, adalah model pendidikan termaju pada era sekarang. Setiap mahasiswa yang belajar di kampus-kampus barat diberikan kebebasan memilih mata kuliah yang ingin diambil, tidak ada paksaan, semua berangkat dari kesadaran peserta didik. Anehnya mereka menyebut inilah model pendidikan ala barat yang sudah maju. Padahal jauh sebelum barat menemukan kemajuannya (sekitar abad 18 M), pendidikan pesantren dengan model yang jauh lebih kompleks akan kajiannya telah berakar kuat di bumi nusantara. Semua disiplin keilmuan yang pernah ditemukan (karangan) ulama-ulama klasik dipelajari dan dikembangkan. Meskipun ada beberapa pesantren yang membatasi bagi keilmuan tertentu, hal itu semata sebuah anjuran karena melihat kemampuan seorang santri yang belum waktunya mempelajari ilmu tersebut. Pengembangan keilmuan dilakukan dalam forum-forum ulama yang disebut halaqoh atau bahtsul masaa’il.

Dalam forum halaqoh ataupun Bahtsul masaail, yang membahas persoalan kontemporer tertentu. Setiap peserta membawa seperangkat keilmuan yang didapuk dari berbagai sumber refferensi rujukan utama dari kitab-kitab klasik dan modern yang mu’tabaroh (sanad keilmuannya tersambung). Dinamika yang terjadi dalam forum tersebut begitu terasa dan sangat akademis. Selain itu, perspektifnyapun tidak tunggal, sehingga keputusannya tidak sempit dan sangat memperhatikan aspek kemanusiaan dibandingkan formalisme teks. Karena teks hanya dapat bermakna ketika ia ditafsirkan dalam konteksnya dan bermanfaat jika disesuaikan dengan konteksnya. Inilah kesadaran yang terbangun oleh seorang santri (dan Kiyai) dalam menerapkan setiap teks tradisi yang banyak dianut oleh mayoritas jumhur. Kesadaran yang tidak mungkin didapatkan jika hanya belajar pada refferensi yang terbatas sekaligus tertutup akan penemuan kebenaran pada kitab ulama yang lain (eksklusifisme). Kesadaran yang tidak didapatkan dalam waktu pembelajaran yang instan.

Kesadaran tersebut merupakan karakter cosmopolitan santri, sehingga menjadikan santri sebagai pribadi yang bijak dalam menyikapi setiap problem social kemasyarakatan. Inilah modal utama santri yang didapatkan di pesantren. Sebuah modal berharga yang harus diaplikasikan dalam kehidupan masyarakatnya ketika ia pulang dan kembali hidup di tengah-tengah lingkungan sosialnya.

Ikhtisar

Melalui kemandirian dan kompleksitas pengetahuan yang dicetak dalam kawah candradimuka pesantren, dalam rentang waktu yang lama, seorang santri telah mewarisi watak kepemimpinan, minimal untuk dirinya sendiri. Dan lebih jauh untuk kemashlahatan yang dapat dirasakan oleh lingkungan sekitarnya, ya tentu, karena ilmu itu harus di amalkan agar memberi syafaat, bukan untuk dipendam dan menjadi laknat bagi pemiliknya, al ‘ilmu bilaa ‘amalin kaasysyajarin bilaa tsamarin.

Selain itu, memang pesantren ada untuk masyarakat, dan santri dididik untuk mengabdi kepada kepentingan umum masyarakat. Ia harus kembali ke tengah-tengah masyarakat, berproses bersama masyarakat, memberi manfaat, mencari solusi dari setiap problematika yang dirasakan, dan menjadi teladan. Ketika terjadi perubahan dan kemajuan yang dirasakan masyarakat, ia tidak sungkan untuk mengucapkan “ini adalah karena perjuangan masyarakat sendiri”, tanpa harus merasa berjasa. Inilah sikap rendah hati (tawadhu’) seorang santri di dalam ketegasan prinsipnya, keluasan pengetahuan dan kebijaksanaannya. Dan inilah salah satu modal utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin sejati.

Wallaahu a’lam bishshowwaab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun