Kembali ke dunia tulis menulis setelah beberapa hari ini bergelut di dunia koding. Haha…
Di tandai di sebuah notes yang membuat aku jadi banyak berpikir dan merenung. Istirahat dari printf(“bla-bla-bla”); scanf(“%d”,&lalala); while(P!=NULL){….}, say yes to looping, say no to rekursif, dan lain-lainnya itu…
Dan kini aku jadi berpikir kenapa selama ini aku tidak menyukai sesuatu. Apakah sebabnya? Apa hanya karena aku tidak bisa? Akalku tak sampai memikirnya. Hanya karena itu? Oh, kalau iya. Sombong benar aku ini.
Aku jadi berpikir kenapa aku bilang sesuatu itu salah? Apa hanya karena aku tidak bisa melihat nilai kebenaran dari hal tersebut?
Apa itu benar dan salah? Baik dan buruk? Bukankah itu hanyalah sebuah sistem nilai yang mencoba dibangun oleh manusia? Sistem nilai yang rapuh.
Hidup itu perlu aturan. Ya. Saya senada. Saya juga bukan binatang yang tidak mau diatur. Yang ketika lapar mengamuk, dan ketika diberi makanan diam. Tapi karena saya bukan binatang juga saya nggak mau seenaknya diatur-atur, digiring-giring kayak bebek.
Tapi… saya jadi berpikir.
Apa aturan itu? Pernah denger sih… intinya sesuatu yang bersifat memaksa yang harus dipatuhi. Memaksa. Kalau begini adalah subjek dan objek. Selama subjeknya adalah Tuhan dan objeknya adalah makhluk. Saya setuju seratus persen. Saya tidak ingin berbicara soal ini. Karena saya tahu saya ini cuma makhluk yang diciptakan olehNya. Tidak ada sebuah ciptaan yang bisa melebihi dari ciptaanNya. Saya terlalu bodoh kalau sudah bicara masalah keimanan. Saya takluk padaNya.
Tapi ketika subjek dan objeknya sama-sama manusia. Kenapa harus mematuhi sesuatu yang tidak lebih tinggi dari kita? Karena ada sebagian kecil yang bisa berpikir lebih, maka dibuatlah sesuatu yang bernama stratifikasi sosial. Dan yang bodoh, atau pragmatis, apatis dan oportunis hanya mengikuti yang ada. Timbul sebuah budaya keningkratan, keturunan. Sistem nilai yang sangat bodoh. Feodalisme. Namun ternyata, ningrat-ningrat ini terlena dan jadi bodoh. Karena mereka memerintah dengan kesombongan. Merasa lebih hanya karena gelar keningratan.
Orang-orang pintar pun berganti. Mereka yang merasa terinjak-injak oleh budaya yang ada, menginginkan sebuah perubahan. Kini para borjuis (kaum pengusaha) yang berjaya. Mereka lebih canggih dalam menyusun struktur sosial. Mereka “berkuasa” dengan gelar dan kesombongan tapi dengan sesuatu bernama kebutuhan materi. Dan manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan materi. Jadilah semuanya dinilai dari sesuatu yang kuantitatif. Dan kita akui, inilah sesuatu yang paling bisa disepakati sebagai sesuatu yang objektif. Sistem nilainya tentu masih rapuh. Karena hanya brfokus pada apa, kapan, dimana. Terkadang tidak berarti apa-apa. Karena pandangan subjektiflah yang membuat apa, kapan dan dimana ini bisa bernilai sesuatu. Tapi itulah yang disepakti hari ini. Dan semuanya berakhir dengan apatisme, pragmatisme dan oportunisme. Karena orang-orang pintarnya belum berganti. (Suatu saat pasti akan ada yang merobohkan sistem nilai ini. Karena sistem ini hanya dibuat manusia. Rapuh.)
Ini hanya pikiran saya yang sangat subjektif. Aturan itu adalah adalah sesuatu yang disepati untuk dipatuhi. Bahkan kita butuh kesepakatan untuk sesuatu yang bernama “aturan”.
Mungkin akan lebih real bila saya menjelaskan dengan hal yang pertama kali kita pelajari dalam pelajaran berhitung. 1+1=2. Dan kita menerimanya dengan lapang dada karena kita tidak tahu yang lainnya. Dan kita sepakat akan nilai kebenaran tersebut.
Setelah kuliah lalu belajar MatDis dan LogMat kita jadi tau bahwa 1+1=1. Pasti sempat ada pemberontakan dalam diri ketika mengetahui nilai kebenaran yang lain. Timbulah pertanyaan. Kenapa bisa? Karena konteks keduanya berbeda.
Seorang anak SD baru saja belajar 1+1=2 akan marah bila diberi tahu bahwa 1+1=1. Jangankan anak SD, anak SMA yang mau SPMB pun akan marah. Kalau seseorang sudah bertitel Sarjana mungkin (seharusnya) sudah bisa menerima seseorang yang berkata 1+1=1, walau tidak belajar MatDis dan LogMat. Karena sudah BERSEPAKAT bahwa ilmu adalah sesuatu yang tidak sembarangan ada. Ada proses empirisasi ketika sesuatu sudah menjadi sesuatu bernama ilmu. (kalimat ini adalah rekursif. OMG!!!!)
Jadi, kebenaran adalah sebuah kesepakatan?
Apakah menjadi berarti itu hanya menjadi struktur-struktur baja dalam sebuah bangunan? Padahal secara kimiawi jelas-jelas sesuatu itu adalah pasir penyusun beton. Apa yang akan terjadi jika pasir-pasir ini dipaksa diposisikan sebagai baja? Kita tanyakan pada sarjana teknik sipil kalau begitu.
Kata-kata terakhir….
Say YES to LOOPING, Say NO to REKURSIF…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H