Istilah yang merujuk pada pekerja kantoran yang merasa bekerja keras diluar batas kapasitasnya demi memuaskan atasan yang tidak ada puasnya. Hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya.
Sebagian besar orang beranggapan bahwa mendewakan pekerjaan adalah upaya yang wajar dilakukan demi peningkatan karir & jabatan, menggembungkan rekening tabungan dan kesejahteraan karyawan itu sendiri. Padahal tanpa disadari hustle culture adalah perlahan tapi pasti akan mempengaruhi kesehatan dan mental pekerja.
Ada sebuah kisah yang menarik untuk diceritakan. Rekan kerja saya beda divisi sebut saja “K” adalah seorang workaholic yang terlihat tangguh.
Perempuan mandiri, pekerja keras, pandai mengambil hati atasan dengan password “siap bos” andalannya. Tak puas dengan rutinitas from 9 to 6, tak mengapa jika harus meeting tiap hari hingga larut malam, lembur setiap weekend pun tak jadi masalah.
Handphone selalu siaga dan fast response, pernah dia bercerita dimintai laporan pukul 1 dini hari di hari libur pula. Dalam hitungan detik pesan yang masuk segera dibalas dan segera menuruti perintah bos saat itu juga.
Suatu ketika dia meminta izin untuk tidak masuk kerja karena ibundanya meninggal dunia.
Ternyata…dia diwajibkan share location 8 jam via whatsapp sekalipun dalam kondisi berkabung. Teman saya pun menyanggupinya meskipun terdengar konyol. Hal konyol lainnya ketika orang yang sama mendapatkan musibah, kecelakaan di tengah perjalanan pulang dari kantor menuju rumah yang jaraknya jauh sekitar 1,5 jam ditempuh dengan motor.
Kejadian tersebut mengakibatkan dia harus dirawat di rumah sakit dan “terpaksa” tidak bisa masuk kerja. Ternyata surat dokter, postingan sosmed dan share location tak dirasa cukup bagi sang atasan.
Bos yang biasanya diprioritaskan menjadi ngambek ketika teman saya tersebut slow response akibat kondisi badannya masih lemah. Beberapa hari setelah dirawat intensif di rumah sakit, teman saya masih membutuhkan istirahat tambahan dirumah. Kebetulan hari Jumat dia keluar dari rumah sakit dan Sabtu-Minggu tidak bisa lembur karena masih masa pemulihan.
Bos “aneh” tadi mengadakan sidak dengan mendatangi rumah beserta anak buahnya yang lain. Merasa diintimidasi akhirnya dia mendatangi HRD dan berkeluh kesah.
Namun naas bukannya mendapat dukungan ataupun masukan yang berguna, malah sebaliknya menyampaikan titipan SP dari atasan aneh tadi. Tak tahan diperlakukan kurang manusiawi, diapun akhirnya mengajukan resign dan langsung disambut baik oleh sang atasan. Miris!
Seringkali orang tidak menyadari telah mengalami pengeksploitasian oleh perusahaan. Beberapa hal dibawah ini bisa menjadi indikasi bahwa kamu adalah budak korporat:
- Sangat Susah Minta Cuti
Menganggapmu sebagai aset berharga perusahaan dan kinerja kamu sangat dibutuhkan oleh atasan sehingga bos tidak rela memberi cuti dengan alasan kurang profesional.
- Gaji Dibawah Standar
Perusahaan yang cenderung pelit memberi gaji, karir yang stuck dan hanya bisa terbantu dengan “menjilat” pada atasan, pekerjaan serabutan yang tak sesuai dengan jobdesc adalah pertanda yang kurang baik.
- Merasa Takut dengan Atasan
Pihak manajemen tak cukup demokratis dan terbuka terhadap ide-ide baru, komunikasi vertikal seperti ada dinding besar yang menghalangi, belum lagi punya atasan yang diki-dikit ngancam “pecat” menjadi alasan kenapa orang sulit menghormat atasan.
- Lembur Setiap Hari
Jam kerja lembur yang tak tanggung-tanggung, bahkan hingga kamu kehilangan kehidupan sosialmu di luar. Terkadang usaha lemburmu ini tak diimbangi dengan gaji tambahan yang setimpal karena dianggap bagian dari “loyalitas”.
Lalu bagaimana cara menghindari praktik budak korporat tersebut? Mungkin beberapa hal ini bisa membantu, diantaranya
- Profesionalitas Dalam Bekerja
Bekerja adalah bagian ibadah dan harus dijalani dengan sukarela. Tunjukkan performa terbaikmu tanpa bermaksud “pencitraan” supaya dilihat oleh atasan. Jika perusahaan tempatmu bekerja adalah perusahaan yang sehat maka kinerja kamu pasti dihargai dengan hak yang memang sewajarnya didapatkan, misalnya cuti, kenaikan gaji, atau promosi jabatan.
- Selektif dalam Berteman
Bergaul dengan rekan kerja yang tulus, anti muka dua, bersaing secara sehat dan sportif dalam berkarir, serta saling menebarkan positive vibes. Jika merasa beban kerja terasa sangat berat, ada baiknya dibicarakan juga ke atasan atau ke bagian HRD.
- Positive Thinking
Menerapkan budaya work and life balance, bekerja sesuai porsi dan tidak berlebihan, liburan dengan rekan kerja sekantor, atau merayakan speciall moment Bersama.
Jika memang diperlukan untuk kerja lembur lakukanlah sesuai kapasitas kemampuan yang dimiliki, bagaimanapun tubuh dan pikiran juga butuh istirahat. Lingkungan kerja yang positif akan membuat semangat kerja yang positif juga.
Namun hal yang paling penting untuk dicermati adalah mengenal perusahaan tempat anda akan bekerja. Memperjelas aturan, kebijakan, hak dan kewajiban yang akan diberikan dan didapatkan dari dan untuk perusahaan secara clear dan transparan.
Bekerjalah sewajarnya dengan tetap mempertiambangkan aspek kesehatan dan kehidupan sosial diluar pekerjaan. Dengan begini kamu bisa bekerja secara maksimal tanpa merasa terbebani apalagi diperbudak. *deeja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H