Muktamar Luar Biasa (MLB) bukan lagi isapan jempol, tetapi sudah menjadi aspirasi akar rumput warga Nahdliyyin. PBNU tidak boleh dibiarkan berlarut-larut berlayar di atas gelombang kontroversi, karena yang akan dirugikan adalah warga dan jamaah sendiri.
Setidaknya ada tiga (3) alasan mengapa MLB sangat mendesak diselenggarakan; pertama, kepatuhan pada amanah historis. Dalam sejarah panjang NU, sejak era kolonial sampai kemerdekaan, para masyaikh adalah simbol kepatuhan.
Peran para alim ulama dan Kiai dalam tradisi NU sangat sentral, sebagai kompas kehidupan warga Nahdliyyin, dan panutan dalam setiap tindakan. Karena itulah, memperlakukan alim ulama dan Kiai sepuh seperti Marzuki Mustamar adalah kewajiban moral semua warga Nahdliyyin.
Salah satu bentuk penghormatan terhadap Kiai Sepuh adalah tidak adanya sejarah pemecatan pengurus NU. Sejak era Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari sebagai Rais 'Aam sampai Kiai Ma'ruf Amin, mulai dari era Kiai Hasan Gipo sebagai Ketua Umum sampai Kiai Said Aqil Siradj, tidak ada sejarah pemecatan secara tidak hormat terhadap Kiai Sepuh dari posisinya sebagai pengurus NU.
Kedua, kepatuhan pada ad/art organisasi. Â Publik sadar betul bahwa Kiai Marzuki Mustamar mengkampanyekan dukungan kepada paslon AMIN bukan atas nama PBNU atau jabatannya di PWNU. Sebaliknya, Kiai Marzuki melakukannya atas nama individu yang tidak melanggar arahan dari Ketua Umum PBNU sendiri.
Andaikan Kiai Marzuki Mustamar memang salah di mata Ketua Umum PBNU, mengapa pemecatan yang sama tidak dilakukan kepada elite-elite dari Banom NU? Padahal, mereka juga memiliki posisi yang sama seperti Kiai Marzuki di NU, walaupun posisinya di Banom. Ketidakadilan dan inkonsistensi Ketua Umum terhadap aturan ad/art organisasi tercium publik.
Ketiga, sebagai respon atas semua ketidakadilan Ketum, muncullah gelombang massif di masyarakat bawah yang menyerukan MLB. Ramai konten di Media Sosial seruan dukungan kepada KH Marzuki Mustamar dan mendesak pelaksanaan MLB.
Majelis Ta'lim Langgher Konah, yaitu sebagian warga NU Madura. Tidak saja menyatakan dukungan penyelenggaraan MLB, mereka berkampanye mengajak massa untuk menyuarakan aspirasi yang sama. Dengan kata lain, aspirasi MLB sudah mengakar di level Grassroots.
Vox Dei Vox Populi
Di dalam alam demokrasi dan organisasi modern, sebagaimana diimpikan oleh Ketua Umum sendiri, prinsip "suara Tuhan suara rakyat" tidak bisa dihindari. Munculnya gerakan akar rumput di kalangan warga NU Madura adalah tanda bahwa gaya kepemimpinan Ketua Umum PBNU tidak sejalan dengan suara rakyat.
Mengapa warga NU Madura menjadi pelopor gerakan akar rumput, yang mendesak pelaksanaan MLB, tidak bisa lepas dari prinsip hidup suku Madura itu sendiri. Sejauh ini, sudah populer di publik Indonesia bahwa orang-orang Madura mengusung satu prinsip hidup, yang berisi hirarki ketaatan.
Dalam kebudayaan dan alam sadar manusia Madura, orangtua (bapak-bebuk) berada pada hirarki tertinggi. Disusul kemudian oleh Kiai dan alim ulama (ghuru). Hirarki paling rendah adalah pemimpin (Ratoh). Itulah alasan mengapa komunitas Nahdliyyin yang mengatasnamakan Majelis Ta'lim Langgher Konah menyatakan pihak mereka bersama Kiai Marzuki Mustamar dan mendesak pelaksanaan MLB.
Psikologi sosial warga NU Madura menempatkan posisi Marzuki Mustamar sebagai "Ghuru", sedangkan posisi Yahya Cholil Staquf sebagai "Ratoh" dalam konteks organisasi NU. Menjatuhkan seorang guru dari posisinya jauh lebih berat dari pada sekedar menjatuhkan posisi seorang pemimpin. Dalam konteks psikososial semacam ini, desakan MLB bisa dimengerti.
Terlepas dari bagaimana alam pikir warga Nahdliyyin Madura dan Mayoritas netizen Indonesia sehingga berani mendesak MLB dan membela Kiai Marzuki Mustamar, satu hal yang harus diakui, akar rumput sudah sangat gelisah melihat gaya kepemimpinan Ketua Umum PBNU akhir-akhir ini. Bukan saja terkesan arogan suka membekukan kepengurusan tetapi juga sudah berani melangkah lebih jauh, yaitu menjatuhkan seorang Kiai sepuh dari jabatannya secara tidak hormat.
Jalan Keluar
Suara akar rumput yang mendesak pelaksanaan MLB mau tidak mau memang harus diwujudkan. Tentu saja, NU tidak memiliki sejarah MLB, karena hal itu mirip dengan pemakzulan dalam konteks kepemimpinan negara. Namun, NU juga tidak punya sejarah pemecatan Kiai Sepuh, yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk warga NU.
Suara komunitas Majelis Ta'lim Langgher Konah yang berbasis di Madura itu memang pionir, dalam menyuarakan MLB. Dan hari ini aspirasi MLB juga sudah datang dari warga-warga NU. Untuk itu, persoalan MLB sudah menjadi bom waktu yang menunggu momentum untuk meledak.
MLB sendiri memang mendesak untuk dilakukan, bukan saja karena suara akar rumput yang bergemuruh, tetapi upaya reformasi birokrasi dan keorganisasian yang dilakukan oleh Ketua Umum dan jajarannya terlalu banyak mengorbankan nilai-nilai prinsipil, seperti kerendahatian di hadapan Kiai sepuh atau lainnya. Organisasi NU harus dibedakan dari organisasi sekuler lainnya, karena nilai-nilai tradisional harus dilestarikan apapun alasannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H