Asal-usul dari Bushido tidak dapat dipastikan sebab Bushido secara spontan dikembangkan selama ratusan tahun sebagai cara hidup untuk samurai. Namun, secara gamblang dapat dikatakan bahwa asalnya hampir bertepatan dengan Era Kamakura (abad ke-12) yang merupakan awal dari sistem feodal yang jelas merupakan landasan ilmu pedang Jepang.Â
Penjelasan lebih lanjut seperti asal, sumber, dan latar belakang Bushido tertulis pada mahakarya yang ditulis oleh Inazo Nitobe, seorang pendidik Kristen dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.Â
Dalam buku Bushido: The Soul of Japan karya Inazo Nitobe, Bushido digambarkan sebagai kode prinsip moral yang harus dipatuhi atau diinstruksikan oleh para ksatria (samurai).Â
Buku ini merupakan buku klasik mengenai Bushido yang diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1990 dan merupakan buku yang sangat direferensikan di dunia internasional.Â
Bushido memiliki dasar dalam agama Buddha, Konghucu, dan Shinto seperti dalam seni bela diri judo dan karate. Beberapa pakar berpendapat bahawa pengaruh Bushido pada masyarakat telah berkurang, tetapi yang lain mengatakan bahwa semangat Bushido tetap ada di pikiran dan hati orang Jepang.
Tujuh kebajikan utama dalam Bushido adalah kejujuran (gi), keberanian (yu), kebajikan (jin), kesopanan (rei), kejujuran (sei), kehormatan (meiyo), dan kesetiaan (chugi). Kebajikan pertama, kejujuran (gi) dianggap sebagai yang paling mendasar dari samurai. Ini adalah cara berpikir, memutuskan, dan berperilaku sesuai dengan akal, tanpa ragu-ragu.Â
Kebajikan kedua, keberanian (yu) adalah semangat keberanian dan sikap (bagaimana seseorang berdiri, berjalan, dan berprilaku), didefinisikan sebagai melakukan apa yang benar dalam menghadapi bahaya.Â
Konsep bahwa tindakan benar berbicara lebih keras daripada kata-kata sangat dihargai dalam Bushido. Â Kebajikan ketiga, kebajikan (jin), mencakup konsep cinta, simpati, dan belas kasihan terhadap orang lain dan diakui sebagai yang tertinggi dari semua atribut jiwa manusia. Kebajikan keempat, kesopanan (rei) dianggap sebagai rasa hormat terhadap perasaan orang lain.
Dalam bukunya, Nitobe berpendapat bahwa kesopanan (rei) "suffers long, and is kind; envieth not, vaunteth not itself, is not puffed up; does not behave itself unseemly; seeks not her own; is not easily provoked; takes no account of evil." Kebajikan kelima, kejujuran (sei) merupakan jaminan kebenaran dalam ungkapan bushi no ichi-gon yang artinya "kata orang samurai." Kebijakan keenam, kehormatan (meiyo), diakui sebagai yang utama dalam kebaikan.Â
Nitobe menulis, "The sense of meiyo could not fail to characterize the samurai, born and bred to value the duties and privileges of their profession." Nitobe juga mencoba menjelaskan arti hara-kiri dan seppuku; keduanya merupakan jenis bunuh diri klasik bagi samurai dengan menuliskan "Death involving a question of meiyo was accepted in Bushido as a key to the solution of many complex problems."Â
Kebajikan ketujuh, kesetiaan (chu-gi), telah lama dihargai oleh orang Jepang terhadap kebutuhan dan kepentingan kelompok, dengan menempatkan kebutuhan kelompok di atas kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri. Dalam Bushido, kepentingan keluarga dan kepentingan keluarga tidak dapat dipisahkan
Bagi orang Jepang, Bushido adalah akar dan bunga; hadiah dari surga melalui para samurai yang menetapkan standar moral dan membimbing orang melalui tindakan mereka.Â
Biasanya ditunjukkan melalui tema seni pertunjukkan yang bercerita tentang pendekar. Bushido sering disamakan dengan bunga asli untuk Jepang, bunga sakura.Â
Bunga sakura identik dengan keanggunan dan keindahan namun tetap sederhana. Tidak ada pisau atau racun yang tersembunyi dibawah keindahan bunga sakura, warna mereka tidak glamor, bau manis yang dihasilkan mengapung dan naik ke surga.Â
Di pagi hari, bau bunga sakura menyebar dan menyegarkan indera manusia. Hal ini sama dengan Bushido yang sederhana, indah, dan anggun namun tidak glamor tetapi menyebarkan suasana segar kepada orang-orang disekitarnya.Â
Seiring perkembangan zaman, Bushido semakin memudar di kalangan masyarakat Jepang. Hal ini disebabkan oleh Jepang yang tidak memiliki agama besar untuk mempertahankan Bushido. Shinto yang telah menopang Bushido semakin menua dan Konfusianisme digantikan oleh filsafat barat. Ditambah dengan perang modern menggunakan metode dan senjata yang tidak berkaitan dengan Bushido. Oleh sebab itu, Bushido dihentikan agak cepat setelah akhir feodalisme di akhir 1800-an.Â
Namun, Nitobe mengklaim bahwa Bushido bertindak sebagai kekuatan yang bergerak dalam transformasi yang disaksikan selama Restorasi Meiji. Dia menjelaskan bahwa Jepang tidak hanya mencari pengembangan materi dan kekayaan akumulasi, meniru negara-negara Barat. Itu adalah rasa bangga yang Bushido telah berkultivasi di antara massa yang mendorong mereka untuk bekerja keras dan mendemonstrasikan apa yang bisa mereka lakukan setelah mereka keluar dari pikiran mereka untuk itu. Bentuk Bushido, bagaimanapun, mencapai akhir setelah Era Meiji.Â
Etika Bushido memungkinkan Jepang untuk melewati masa peralihan yang sangat penting, termasuk era Meiji. Meskipun pemerintahan feodal runtuh dengan Restorasi Meiji dan digantikan oleh pemerintahan baru yang lebih demokratis, warisan kuno Bushido masih mempengaruhi pembentukan aturan baru, tidak hilang dengan penghapusan sistem kelas. Karena etika inilah, pengaruh Barat yang cepat datang pada era Meiji tidak merusak karakter asli bangsa Jepang.Â
Hal ini juga terlihat dalam karya-karya sastra yang berhubungan dengan kehidupan samurai, seperti karya-karya Mori Ogai. Setelah Restorasi Meiji, jelas terlihat bahwa kelas samurai tidak memiliki tempat. Jepang melakukan modernisasi dengan cepat dan tidak menawarkan banyak ruang bagi sebagian besar samurai.Â
Namun, terlepas dari reformasi besar Jepang, pentingnya kehormatan dan keberanian tetap tidak berubah. Awalnya dipraktekkan oleh prajurit samurai, semangat Bushido diadopsi di Jepang modern, diterapkan pada banyak aspek kehidupan, dan bertahan hingga hari ini.Â
Keberanian, termasuk mengorbankan keberanian dan loyalitas tambahan, memungkinkan Jepang untuk mengatasi keterbelakangannya ke Barat. Banyak yang percaya bahwa pekerja Jepang mengorbankan segalanya untuk perusahaan mereka, termasuk keluarga mereka.Â
Hal ini mengurangi peran ayah sebagai kepala rumah tangga dan menyerahkan pengasuhan anak di tangan ibu (kyoiku mama), sehingga ayah kurang betah dan tidak berkomunikasi dengan anak.Â
Saat ini, Bushido tidak memiliki kekuatan militer sebab tidak ada kelas samurai. Namun, landasan etika Bushido masih memainkan peran penting dalam budaya dan masyarakat Jepang.Â
Bushido yang menekankan kesetiaan kepada atasan sebuah kelompok, masih terlihat dalam kesetiaan pekerja terhadap pekerjaannya, kesetiaan siswa kepada gurunya, atau kesetiaan mereka yang bekerja atau bertindak terutama untuk kepentingan negaranya. yang bertahan hingga hari ini, tentu saja, berbeda dengan samurai yang memilih kematian terhormat untuk melindungi tuannya atau demi kehormatan.Â
Perwujudan Bushido saat ini lebih kepada nilai-nilai yang dikandungnya, seperti kerja keras, rasa hormat kepada atasan atau senior, dan loyalitas. Sistem senioritas yang ada di perusahaan Jepang juga merupakan bentuk dari etika ini. Ajaran mengenai etika, semangat atau moralitas diajarkan kepada siswa Jepang melalui kelas moral (doutoku) yang mengandung unsur kesetiaan.Â
Hal ini dilakukan sejak usia dini untuk mendongkrak semangat. Namun, etika moral tradisional yang melekat di Jepang tampaknya memudar. Hal ini terlihat dari gaya hidup dan perilaku generasi muda Jepang saat ini, dan telah menimbulkan kekhawatiran dari generasi sebelumnya, terutama yang sedang melalui masa-masa sulit seperti Perang Dunia II.Â
Daftar Pustaka
Nishigori, Hiroshi, Rebecca Harrison, Jamiu Busari, and Tim Dornan. "Bushido and medical professionalism in Japan."Â Academic medicine 89, no. 4 (2014): 560.Â
Sonda, Nozomu. "Bushido (chivalry) and the traditional Japanese moral education." Online J Bah' Stud (2007).Â
Wibawarta, Bambang. "Bushido dalam masyarakat Jepang modern." Wacana 8, no. 1 (2006): 54-66.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H