Mohon tunggu...
Kezia Erviana
Kezia Erviana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Akuntansi Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hentikan Normalisasi Ujaran Kebencian Berbasis Gender

20 November 2024   20:03 Diperbarui: 20 November 2024   20:26 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kritik yang diberikan kepada Presiden BEM FISIP Universitas Airlangga, Tuffahati Ullayyah berbasis isu yang diangkat merupakan hal yang bisa diterima karena itu menjadi bentuk dari diskusi publik dan dinamika dari demokrasi. Masyarakat bebas untuk memberikan pendapat mengenai isu yang sedang terjadi karena merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar.  Namun masyarakat justru menyalahgunakan hak tersebut. Kebebasan berpendapat adalah hak yang sangat berharga, tetapi harus disertai dengan tanggung jawab. Dengan pendekatan yang bijaksana, kita seharusnya dapat memastikan bahwa hak ini digunakan untuk hal yang positif. Banyak masyarakat memberikan kritik yang tidak sewajarnya. Kritik yang diberikan kepada Presiden BEM FISIP Universitas Airlangga, Tuffahati Ullayyah banyak sekali yang berfokus pada gender dan bersifat seksis. Kritik yang diberikan mengarah penggunaan istilah-istilah yang merendahkan fisik dan peran gender.

Tentu saja hal ini sudah melewati batas wajar, bahkan Presiden BEM FISIP Universitas Airlangga, Tuffahati Ullayyah juga menerima teror melalui chat, telepon, dan email. Isi teror kebanyakan berbau body shaming. Body shaming adalah perbuatan maupun perkataan yang negatif tentang penampilan seseorang, termasuk berat dan tinggi badan, warna dan kondisi kulit, atau bentuk wajah dan bagian tubuh lainnya. Body shaming bisa berupa gurauan, komentar, sindiran, atau bahkan pertanyaan. Dari peristiwa ini kita perlu mempertanyakan nilai kesetaraan yang nyatanya masih belum sepenuhnya terinternalisasi dalam masyarakat kita. Ini merupakan cerminan budaya patriarki yang masih mengakar di lingkungan kita.

Di dalam masyarakat yang demokratis, kritik merupakan bagian yang sangat penting dalam berdialog sosial. Namun, saat memberi kritik, penting untuk tetap menghormati hak asasi manusia. Menghormati martabat setiap individu adalah penting dalam diskusi yang sehat.  Kritik yang membangun tidak hanya mengekspos pendapat, tetapi juga mempertimbangkan perasaan dan hak orang lain. Kita perlu ingat bahwa semua orang punya hak untuk dihargai dan didengar, meskipun kita tak setuju dengan pendapat mereka. 

Kritik yang ditujukan kepada Presiden BEM FISIP Universitas Airlangga, Tuffahati Ullayyah, merupakan salah satu bentuk kritik yang merugikan dan tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Kritik yang didasarkan pada penilaian fisik tidak hanya bisa membuat individu merasa terluka, tetapi juga dapat berpengaruh buruk pada kesehatan mental dan emosional. Kritik sebaiknya dibuat dengan tujuan membangun dan meningkatkan kualitas diri atau situasi, bukan untuk merendahkan atau menjatuhkan seseorang. Body shaming membuat orang merasa malu dan tertekan tanpa alasan yang jelas, juga memperkuat pandangan tentang kecantikan yang tidak sesuai dengan kenyataan.  Ini bisa membuat seseorang merasa kurang percaya diri, depresi, dan cemas, yang pada akhirnya merugikan masyarakat secara keseluruhan. Dalam memberikan kritik, kita bisa memilih untuk fokus pada kualitas, tindakan, atau ide, bukan pada penampilan fisik. 

Body shaming sering kali juga terkait dengan isu kesetaraan gender. Dalam banyak budaya, standar kecantikan yang tidak realistis seringkali ditentukan oleh norma-norma gender yang kaku. Perempuan sering kali dikritik tentang penampilan fisik, yang bisa membuat orang melupakan kemampuan dan pencapaian mereka.  Kritik seperti itu tidak hanya merugikan individu, tapi juga menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Saat kita menilai seseorang dari penampilannya, kita tidak memperhatikan nilai dan kemampuan mereka sebagai individu. Ini menyokong stereotip gender bahwa perempuan harus memenuhi standar tertentu, sementara laki-laki mungkin tidak merasa tekanan yang sama. Kesetaraan gender seharusnya menyertakan penghormatan terhadap beragam bentuk tubuh dan penampilan. Menghargai hak setiap orang untuk menerima dirinya sendiri adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil. 

Kita perlu mendukung kritik yang membangun dan positif, yang berfokus pada tindakan dan ide, bukan penampilan. Dengan mengedukasi tentang body shaming dan pengaruhnya terhadap kesetaraan gender, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Di tempat mana semua orang, tanpa memandang jenis kelamin atau penampilan fisik, merasa dihargai dan diakui atas bantuan mereka. Mari kita sepakat untuk mengubah cara kita berbicara, dengan mendukung satu sama lain dalam upaya menciptakan dunia yang lebih adil dan penuh empati.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun