Mohon tunggu...
Kezia Angie Tjahjadi
Kezia Angie Tjahjadi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa

Nama saya kezia.. Hobi saya menyanyi dan menari Mulai hari ini saya akan menjalankan tantangan selama sebulan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak yang Hilang

2 November 2024   17:59 Diperbarui: 2 November 2024   18:45 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa kecil, tinggal seorang pemuda bernama Arif. Ia dikenal sebagai sosok yang ceria dan selalu siap membantu tetangga. Namun, di balik senyumnya, Arif menyimpan satu penyesalan yang mendalam: ia selalu mengabaikan ibunya, Ibu Sari, demi mengejar impian sebagai pelukis terkenal.

Setiap hari, Arif menghabiskan waktu berjam-jam di atelier miliknya, menciptakan lukisan-lukisan indah. Ketika Ibu Sari memanggilnya untuk membantu pekerjaan rumah, Arif seringkali menjawab dengan ketus, "Nanti saja, Bu! Aku sedang sibuk." Dalam pikirannya, sukses sebagai pelukis adalah segalanya, dan ia yakin Ibu Sari akan memahaminya.

Suatu pagi, ketika Arif kembali dari pasar, ia mendapati rumahnya sepi. Rasa tidak enak mulai menyelimuti hatinya. Ia segera berlari ke kamar Ibu Sari dan mendapati ibunya terbaring lemah. Dengan air mata menetes, Ibu Sari berkata, "Nak, aku hanya ingin kau meluangkan waktu untukku."

Arif merasa terjaga dari mimpinya. Ia berjanji akan lebih memperhatikan ibunya. Namun, takdir berkata lain. Beberapa hari kemudian, Ibu Sari pergi untuk selamanya, meninggalkan Arif dengan penyesalan yang menghimpit hati.

Hari demi hari berlalu, lukisan-lukisan Arif tidak pernah terjual. Ia tidak lagi merasa bahagia dalam menciptakan karya seni. Setiap kali ia melihat kanvas kosong, ia teringat pada senyum ibunya yang tulus, yang kini hanya menjadi kenangan.

Suatu malam, di bawah sinar rembulan, Arif mengambil kuas dan mulai melukis. Namun kali ini, bukan untuk mengejar popularitas, melainkan untuk mengenang Ibu Sari. Ia menciptakan lukisan wajah ibunya, dengan sorot mata yang penuh kasih. Saat ia menyelesaikan lukisan itu, air mata mengalir di pipinya, menghapus semua kesombongan yang pernah ada.

Dengan setiap sapuan kuas, Arif menyadari bahwa sukses tanpa cinta tidaklah berarti. Ia pergi ke makam Ibu Sari, membawa lukisan itu. Di sana, ia berjanji untuk selalu mengingat dan menghargai cinta yang telah diberikan ibunya.

Sejak saat itu, Arif mulai melukis dengan hati. Ia membagikan karya-karyanya kepada anak-anak di desa dan mengajarkan mereka tentang seni dan cinta. Penyesalan itu menjadi kekuatan, dan meski Ibu Sari telah tiada, cinta dan kenangan itu akan selamanya hidup dalam setiap lukisan yang diciptakan Arif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun