Mohon tunggu...
Kezia Angelica
Kezia Angelica Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Intervensi Kemanusiaan Oleh PBB dan Amerika Serikat di Rwanda Melalui Perspektif Konstruktivisme

4 Juni 2023   17:06 Diperbarui: 4 Juni 2023   17:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Intervensi kemanusiaan merupakan tindakan campur tangan yang dilakukan suatu aktor internasional terkait dengan kondisi suatu negara yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan biasanya dilakukan oleh para aktor internasional karena adanya pelanggaran terhadap HAM berat, seperti kasus SARA hingga kasus genosida. Dalam perkembangannya, intervensi kemanusiaan pernah mengalami dilema. 

Hal ini dikarenakan, arti dari intervensi sendiri yang sering dikaitkan dengan hal-hal negatif, seperti penindasan dan penguasaan dengan power dalam skala besar. Selain itu, intervensi kemanusiaan dikatakan melanggar kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara, karena adanya campur tangan dari pihak lain selain negara dalam mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam negara tersebut. 

Namun, pandangan terhadap hal tersebut dapat diubah setelah adanya prosedur terkait penggunaan power hingga sikap netralitas dari pelaku intervensi itu sendiri. Lebih jauh lagi, intervensi kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua jika dilihat dari pendekatannya, yaitu melalui pandangan realisme dan konstruktivisme. Kedua pandangan ini memiliki pandangannya masing-masing dalam memandang kasus-kasus terkait intervensi kemanusiaan.

Melalui pendekatan realisme, dinyatakan bahwa intervensi kemanusiaan berlawanan dengan pandangan realisme dikarenakan realisme menegaskan adanya sistem keamanan tradisional yang mana menyetujui adanya perang sebagai salah satu sarana penyelesaian masalah. Sedangkan, intervensi kemanusiaaan dinilai mengutamakan moralitas internasional dibandingkan kepentingan nasional. 

Berbeda dengan pandangan konstruktivisme yang bertitik pada norma dan moralitas internasional. Suatu tindakan politik dinilai benar jika telah disepakati oleh sebagian besar masyarakat internasional. Pandangan konstruktivisme menyetujui bahwa moralitas internasional merupakan hal yang penting bagi keteraturan dunia internasional, yang mana berkedudukan setara dengan kepentingan nasional suatu negara. 

Pada pendekatan ini, intervensi memang melanggar norma internasional tetapi intervensi dianggap sebagai hal yang wajar jika dalam tindakannya didasari oleh tujuan perlindungan dan dengan anggapan bahwa suatu negara tidak mampu menyelesaikan konflik nya sendiri. 

Seiring berjalannya waktu, pendekatan konstruktivisme dinilai lebih relevan dengan perkembangan dunia internasional. Hal ini disebabkan oleh sifat dari pendekatan ini yang memandang dunia internasional sebagai suatu struktur sosial yang dapat berubah dan perubahannya disepakati secara kolektif, dengan kata lain norma diletakkan setara dengan kepentingan nasional dari suatu negara itu sendiri. 

Sebagai contoh, pada kasus konflik etnis di Rwanda, yang mana Amerika Serikat dan PBB cenderung mengutamakan konsep moral dan norma dibandingkan dengan kepentingan negara. Selain itu, dengan adanya PBB sebagai aktor perdamaian menambah relevansi dari pendekatan konstruktivisme dalam memandang intervensi terkait isu di Rwanda ini. 

Pembahasan 

Konstruktivisme merupakan pandangan yang bertumpu pada norma yang ada di dunia internasional. Menurut Wendt Jepperson, norma dipahami sebagai "harapan-harapan kolektif mengenai perilaku yang pantas bagi aktor dengan identitas tertentu". Melalui wacana tersebut dapat diartikan bahwa norma membantu mengartikan situasi dalam hubungan antara aktor internasional. 

Norma menjelaskan tentang tindakan apa yang dinilai sah dan tidak sah di dunia internasional berdasarkan keputusan kolektif unsur-unsur di dunia internasional. Maka dari itu, norma dipandang sebagai peraturan ataupun batasan dalam mengambil tindakan antar negara.  

Menurut pandangan Konstruktivisme, norma bukan hanya dianggap sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan negara, melainkan juga sebagai struktur sosial yang bersifat mengatur. Dalam norma internasional, negara diatur berdasarkan adil atau tidaknya sebuah tindakan. 

Hal ini yang pada akhirnya menunjukan bahwa adanya intervensi kemanusiaan dianggap legal selama tujuan dan metodenya mengutamakan moralitas negara. Dengan kata lain, negara dipandang sebagai individu tunggal sedangkan norma sebagai pengaturnya. Pendekatan ini menganggap intervensi kemanusiaan merupakan cara untuk mencapai sebuah keteraturan masyarakat internasional. Hal ini akan sejalan bila mana adanya anggapan bahwa negara dalam konteks ini adalah "aktor publik (Lu, 2006). 

Tindakan negara dimotivasi oleh "barang publik dan oleh karena itu negara bersifat altruis (tidak mementingkan diri sendiri). Maka dapat digambarakan bahwa intervensi kemanusiaan melalui pendekatan Konstruktivisme bercirikan adanya sikap moralitas internasional. Dengan kata lain, pendekatan ini mengamati fenomena intervensi kemanusiaan melalui latar belakang dari sebuah intervensi dilakukan. (Rosyidin, 2017)

Contoh kasus yang menggunakan pendekatan ini ialah konflik etnis yang terjadi di Rwanda. Konflik ini diawali pada bulan Oktober tahun 1990 yang mana ditandai dengan adanya pemberontakan oleh Front Patriotik Rwanda (FPR). Konflik ini dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan etnis hutu terhadap kekuasaan Belgia sebagi dewan keamanan. Etnis hutu yang tergolong sebagai etnis minoritas beranggapan bahwa fokus kekuasaan berada pada etnis yang dominan yakni tutsi. Kebencian tersebut akhirnya berubah menjadi dendam dan kemudian menjadi konflik. 

Pembunuhan Presiden Juvenal Habyarimana serta rekannya yang merupakan Presiden Burundi, Cyprien Ntarymira menjadi pemicu pembantaian etnis Tutsi yang dimulai pada 7 April 1994. Strategi yang dilakukan oleh etnis hutu antara lain melakukan propaganda melalui stasiun radio dan menerbitkan surat kabar dengan tujuan menakut-nakuti etnis tutsi.  Selain itu, pemerkosaan, pembunuhan massal, hingga penembakan juga mewarnai pemberontakan ini. konflik ini akhirnya berubah menjadi kasus pelanggaran HAM berat semenjak adanya pembunuhan terhadap etnis Tutsi dalam skala yang besar. 

Bahkan, Belgia sebagai perwakilan dari Liga Bangsa-Bangsa yang seharusnya berperan sebagai aktor perdamaian terpaksa diminta untuk mundur dikarenakan banyaknya serangan dari etnis Tutsi di Rwanda. Hal ini dilanjutkan dengan tindakan etnis Tutsi yang pada akhirnya memilih untuk mengungsi ke daerah Uganda guna mencari tempat yang aman.

Negara seperti Amerika Serikat akhirnya merespons konflik ini melalui intervensi kemanusiaan dengan tujuan meredam konflik tersebut. Negara ini melakukan intervensi kemanusiaan dalam bentuk tak langsung. Hal ini dapat dilihat melalui tindakan Amerika Serikat yang melakukan perundingan dengan salah satu pemimpin dari FPR, yaitu Yoweri Museveni. Perundingan ini bertujuan untuk mengurangi konflik ini. Hasil dari perundingan tersebut ialah munculnya rencana penangkapan pemberontak dan pengamanan daerah perbatasan konflik. 

Selain itu, Amerika Serikat juga mengirimkan senjata militer kepada tentara FPR dengan tujuan menekan banyak nya korban jiwa yang ada akibat konflik ini. Alasan Amerika Serikat di balik tindakannya ini ialah adanya kepedulian negara tersebut terhadap banyaknya korban jiwa yang meninggal akibat terjadinya konflik tersebut. Sikap kepedulian ini tumbuh akibat adanya norma moralitas internasional. 

Selain itu, Amerika sebagai negara adikuasa yang di mana dinilai memiliki power yang besar dibandingkan negara-negara lain menjadi salah satu alasan negara ini melakukan intervensi kemanusiaan. Selain untuk mengurangi korban jiwa dari aksi genosida, Intervensi kemanusiaan ini juga dilatarbelakangi oleh kepentingan Amerika Serikat dalam menyelamatkan warga negaranya yang berada di Rwanda. Hal ini terlihat melalui adanya upaya untuk evakuasi korban dan pengamanan yang dilakukan oleh pemerintahan Amerika Serikat pada 11 April 1994. Lebih dari 250 warga negara Amerika Serikat berhasil dievakuasi dari tempat terjadinya konflik. 

 Selain Amerika Serikat, PBB sebagai salah satu aktor internasional yang melakukan intervensi kemanusiaan di Rwanda. Intervensi yang dilakukan oleh PBB berbeda dengan yang dilakukan oleh AS. PBB melakukan Intervensi kemanusiaan berbasis kemiliteran yang terdiri dari empat tahapan. Tahap pertama, pengiriman tim yang terdiri dari 25 personil militer, 18 personil sipil, dan 3 polisi sipil setelah mendapat otorisasi formal dari Dewan Keamanan PBB. 

Misi ini akan berlangsung 90 hari dengan tugas mengamankan Kigali dan menciptakan kondisi yang diperlukan bagi pembentukan pemerintahan transisi. Tahap kedua, akan memakan waktu 90 hari dengan tugas utama penurunan status dan integrasi angkatan bersenjata dan polisi nasional (Gendamerie). Pada tahap ketiga, memakan waktu sembilan bulan, integrasi angkatan bersenjata Rwanda akan dituntaskan dan dikurangi jumlah personilnya. Pada tahap terakhir yang akan berlangsung selama empat bulan dan akan dilakukan pengurangan personil militernya menjadi berkekuatan 930 personil militer. Tahap ini  memiliki tujuan dan tugas untuk membantu mengamankan iklim yang diperlukan dalam tahapan akhir sampai dengan dilaksanakannya pemilu (Sationo, 2019). Tahapan-tahapan ini disusun secara runtut dan rinci. 

Intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh PBB tersebut bertujuan untuk meminimalisir korban jumlah korban akibat konflik etnis yang terjadi hingga terciptanya situasi yang aman serta damai bagi masyarakat Rwanda. Selain mengirimkan tentara sebagai instrument intervensi kemanusiaan, PBB juga menyiapkan beberapa strategi guna menghadapi kemungkinan terburuk dari konflik ini. PBB menjelaskan bahwa pemindahan penduduk sipil menjadi salah satu opsi dari penyelesaian konflik ini. Hal ini sejalan dengan adanya pengamatan terkait kondisi di wilayah terjadinya konflik yang mana mengalami peningkatan korban jiwa secara terus-menerus.

Sesuai dengan wacana di atas, alasan PBB dalam melakukan intervensi kemanusiaan terhadap konflik Rwanda ini ialah menjaga perdamaian dunia internasional. PBB dianggap sebagai pihak yang netral dalam menghadapi konflik ini. Netralitas PBB dapat dilihat dari kedudukannya dalam dunia internasional. Selain itu, wacana tersebut juga di dukung dengan adanya Piagam PBB Pasal 24 tentang tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB. 

PBB dinyatakan berkewajiban menyelesaikan konflik-konflik internasional dengan prinsip-prinsip PBB. Dapat dilihat melalui latar belakang PBB dan Amerika di balik intervensi kemanusiaan yang dilakukan kedua pihak tersebut. Kedua aktor internasional ini melakukan campur tangan terhadap konflik ini didasari oleh adanya kesadaran akan norma dan moral. Kedua pihak tersebut juga memperlihatkan bahwa kedudukan kepentingan nasional dan kepentingan organisasi tidak berada di atas moral internasional. Kedua hal ini sejalan dengan penjelasan mengenai pendekatan konstruktivisme yang juga bertumpu pada moralitas dunia internasional.

Penutup

Intervensi kemanusiaan adalah tindakan yang dapat diambil oleh aktor internasional terhadap kondisi di suatu negara di mana negara tersebut terbukti tidak mampu ataupun tidak mau menyelesaikan isu di negaranya tersebut. Dengan hal ini, intervensi kemanusiaan tidak melanggar suatu kedaulatan yang dimiliki oleh negara tersebut, atau dapat dikatakan sebagaii tindakan yang sah. Melalui pendekatan konstruktivisme ini dapat terlihat apa alasan dari AS dan PBB dalam melakukan intervensi sebuah kasus kemanusiaan di Rwanda. Kedua pihak tersebut memiliki kesamaan dalam motif intervensi, yaitu kesadaran akan norma dan moral internasional. Selain itu, keduanya juga lebih mengutamakan kepentingan internasional daripada kepentingan nasional maupun organisasi. 

Meskipun begitu, keduanya tetap memiliki perbedaan dalam penggunaan strategi intervensi. Amerika Serikat cenderung menggunakan intervensi secara tidak langsung yang mana menggunakan RPF sebagai perantaranya. Sedangkan, PBB memilih menggunakan intervensi militer secara langsung dengan cara mengirimkan bala bantuan berupa personil militer ke Rwanda. Maka dari itu, intervensi yang dilakukan oleh PBB dan AS terkait isu di Rwanda ini sejalan dengan pendekatan konstruktivime yanng mengedepankan moralitas internasional, dan bahwa tindakan tersebut dilakukan setelah negara terbukti tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini.

------------------------------

Kezia Angelica Melody (151220119)
Farah Azka Putri Prabowo (151220120)

Baylis, John and Steve Smith, eds. 1998. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press.|Dewi, S. L. (n.d.). Alasan Amerika Serikat Melakukan Intervensi Kemanusiaan terhadap Konflik Genosida Rwanda (1990-1994).|Kompas.com, 2011. "Genosida Rwanda: Penyebab, Kronologi, Penyelesaian, dan Dampak". Dalam https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/06/120000479/genosida-rwanda-penyebab-kronologi-penyelesaian-dan-dampak?page=all#page2 [diakses 24 Mei 2023].|Lu, Catherine, 2006. Just and Unjust Interventions in World Politics Public and Private. London: Palgrave Macmillan.|Rosyidin, M. 2017. Intervensi Kemanusiaan dalam Studi Hubungan. Global & Strategis.|Sationo, T. I. 2019. HUMANITARIAN INTERVENTION MENURUT HUKUM. PRANATA HUKUM, Vol.2, No.1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun