Mohon tunggu...
Keyza Hirniq
Keyza Hirniq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta

Sosial, Politik, Budaya, Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Rusia-Ukraina, Sebab dan Upaya Penyelesaiannya

7 Mei 2023   21:42 Diperbarui: 7 Mei 2023   22:11 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sinopsis

Hingga hari ini, perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022 lalu masih berlangsung secara sengit. Perang ini telah menimbulkan dampak negatif serta membuat kerugian yang dirasakan oleh berbagai pihak dalam sektor ekonomi, sosial, keamanan, dan lain sebagainya. Apakah perang ini dapat berakhir dengan damai melalui upaya diplomasi? Ataukah harus menunggu kedua negara porak poranda dulu untuk menyelesaikan perang ini?

Awalnya, pada pada November 2021 Rusia terlihat tengah membangun kembali kekuatan militernya di sepanjang perbatasan Rusia-Ukraina, keadaan semakin menegang ketika intelegen dari Amerika menyatakan rencana yang dimiliki Rusia untuk menginvasi Ukraina di awal 2022. 

Sikap ini diambil Rusia setelah mempertanyakan jaminan keamanannya dan jaminan bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO. Namun tuduhan tersebut ditepis oleh Rusia, dan pada awal Februari 2022 mereka menyatakan bahwa kekuatan militer di perbatasan Ukraina telah ditarik mundur, NATO justru melihat sebaliknya.

Sejarah Konflik Rusia-Ukraina

Konflik antara dua negara ini dapat ditelusuri jejaknya sejak Ukraina memerdekakan diri dari Uni Soviet tahun 1991. Sejak saat itu, Ukraina menjadi negara satelit Rusia, alias negara yang merdeka namun tidak lepas dari pengaruh politik dari Rusia. 

Rakyat Ukraina yang menolak menjadi boneka dan ingin agar Ukraina menjadi negara demokrasi sepenuhnya mulai menjalankan revolusi Oranye yang berlangsung di Ibu Kota, Kiev dari tahun 2004 hingga 2005. Revolusi ini membawa kemenangan bagi Viktor Yushchenko sebagai presiden Ukraina atas Yanukovich yang didukung oleh Rusia.

Tidak hanya itu, ketegangan juga terjadi karena faktor budaya. Provinsi Donetsk, Luhansk dan Krimea walau secara resmi merupakan bagian dari wilayah Ukraina tetap mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Rusia karena mayoritas penduduk disana merupakan etnis Rusia.

Langkah Ukraina dalam membuat undang-undang mengenai penggunaan bahasa Rusia juga dipolitisasi untuk menyerang Ukraina, karena dinilai merampas hak bagi pengguna bahasa Rusia dan bersifat diskriminatif. Presiden Vladimir Putin membenarkan alasannya untuk melakukan invasi demi melindungi etnis Rusia dan pengguna bahasa Rusia di Ukraina.

Konflik semakin memanas pada tahun 2014 ketika Rusia menganeksasi semenanjung Krimea, kemudian ketika terungkap bahwa Rusia terbukti memiliki keterlibatan atas upaya separatisme di Donetsk dan Luhansk. Sejak saat itu, konflik semakin bertambah dan bersifat stagnan karna tidak kunjung menemui titik terang.

Invasi yang dilancarkan Rusia pada Februari 2022 ini dilatarbelakangi oleh security dilemma ketika melihat bahwa Ukraina meminta untuk bergabung dengan NATO.

Dampak yang dirasakan

Salah satu dampak terbesar yang dirasakan akibat perang Rusia-Ukraina ini adalah krisis kemanusiaan yang juga berpengaruh pada bidang ekonomi dan sosial. Perang ini menyebabkan ribuan orang kehilangan hak asasinya untuk hidup dalam perdamaian, warga sipil dan orang-orang yang tak bersalah kehilangan nyawa, luka-luka dan mengalami trauma terpaksa untuk menjadi pengungsi ke tempat yang lebih aman. 

Rusia dan Ukraina merupakan negara pengimpor bahan bakar untuk suplai global, dengan adanya perang ini maka negara-negara yang biasa mengimpor dari Rusia dan Ukraina harus mencari alternatif lain, hal ini tentu saja berujung kepada inflasi akibat angka permintaan dan persediaan yang tidak seimbang.

Penghambat Resolusi Konflik

Konflik Rusia dan Ukraina telah berlangsung lama, dan tentu saja negara-negara lain dan lembaga internasional tidak tinggal diam. Sudah banyak sekali upaya-upaya diplomatis yang dilakukan demi mencari perdamaian, bahkan mencapai gencatan senjata pun tidak. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang menghambat resolusi konflik demikian? 

Jika kita melihat kebelakang, konflik Rusia-Ukraina ini sangatlah keruh dan semrawut latar belakang kedua negara ini yang rumit diperparah dengan konflik-konflik kecil yang membuat kedua negara ini menjadi musuh lama.

Pelaksanaan peace talk yang diadakan Turki, dengan misi gencatan senjata dari Rusia tidak berjalan mulus, bisa dibilang tidak ada kemajuan nyata dalam mencari penyelesaian konflik. Turki menjadi penengah karena memiliki hubungan yang baik dengan Rusia maupun Ukraina, namun ketika Turki menjual drone kepada Ukraina maka terlihat bahwa Turki lebih condong ke negara tersebut walaupun niat utama Turki hanya untuk mendukung kedaulatan Ukraina.

Latar belakang yang berakar ini berujung kepada ketegangan antara Rusia dan NATO. Awal mula tujuan NATO didirikan yakni untuk menekan pengaruh kekuatan Uni Soviet, dan sekarang ketika Uni Soviet sudah tidak ada, NATO masih berdiri dan bagi Rusia mengancam keamanan wilayahnya

Dalam Peace Talk, Ukraina setuju untuk bersikap netral terhadap NATO apabila negara-negara lain dapat memberikan jaminan keamanan, karena Ukraina masih memiliki rasa sangsi terhadap Rusia. Namun kemudian Rusia juga bersedia untuk berdamai apabila wilayah Donbas dimerdekakan. Hal ini merupakan hal yang sulit, apabila Ukraina melepaskan Donbas berarti sama saja seperti melepaskan setengah dari kedaulatan negara.

Dari hal-hal diatas dapat kita simpulkan bahwa yang menghambat perdamaian adalah tuntutan dari masing-masing negara yang belum bisa dipenuhi karena dinilai dapat merugikan negaranya sendiri. Selain itu, rasa curiga yang timbul antara satu sama lain yang menyebabkan adanya itikad baik apapun tidak disambut dengan baik.

Resolusi Yang memungkinkan

Berdasarkan pasal 2 ayat (3) Piagam PBB, segala sengketa internasional harus diselesaikan secara damai. Resolusi konflik yang baik berarti menyelesaikan segala akar permasalahan dan membangun hubungan yang lebih baik antar pihak yang berseteru demi kedamaian dalam jangka panjang.

Kita dapat mengaitkan hal ini dengan teori resolusi konflik oleh Johan Galtung dimana penyelesaian konflik membutuhkan 3 tahap yakni peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding. Dalam tahap peacemaking, Rusia-Ukraina dinilai gagal dalam bernegosiasi untuk mendapatkan jalan tengah penyelesaian walaupun dengan adanya mediator, oleh karena itu langkah yang dapat dilakukan selanjutnya adalah litigasi, membawa konflik ini ke ranah hukum seperti ICJ ( International Court of Justice ).

Sebenarnya, konflik Rusia-Ukraina ini dapat terselesaikan dengan adanya mediator apabila mereka sama-sama rela melakukan trade off, melihat posisi penawaran mereka yang seimbang, namun pada kenyataannya kedua belah pihak memiliki national interest yang sama-sama mereka perjuangkan dan itu lebih penting daripada perdamaian. 

Kembali pada paragraf pertama, apapun langkah resolusi yang diambil, pihak yang berkonflik haruslah menahan diri serta menyediakan dan mendorong pihak yang terlibat untuk berdialog. Karena, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik tidak akan dibenarkan demi alasan apapun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun