Di Indonesia, tanggal 30 September bukanlah hanya sekedar tanggal biasa. Melainkan terdapat sejarah kelam dan duka yang mendalam dan tidak dapat di lupakan begitu saja. Peristiwa ini disebut dengan Gerakan 30S/PKI atau G30SPKI. Peristiwa tragis tersebut, merupakan aksi pemberontakan yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965.
Peristiwa ini mengakibatkan tewasnya 6 jenderal militer dan 1 perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang kini mereka dikenal sebagai pahlawan revolusi. Dari banyaknya korban yang berjatuhan, salah satu jenderal yang juga menjadi incaran dari kelompok pemberontakan namun berhasil selamat ialah Jenderal Abdul Haris Nasution.
Pada (05/07/2024), penulis berkesempatan untuk mengunjungi salah satu saksi bisu dari peristiwa kelam tersebut yaitu kediaman dari Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang kini menjadi sebuah museum yang berlokasi di Jl. Teuku Umar No.40 Kelurahan Gondangdia Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat.
Bangunan ini dibangun pada tahun 1923, dan mulai ditempati oleh Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution pada tahun 1949 saat beliau menjabat sebagai KSAD (Kepala Staff Angkatan Darat) yang pertama kali. Dan diresmikan sebagai museum bersejarah pada tahun 2008 oleh Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat sampai di lokasi, pengunjung akan disambut oleh beberapa pengelola museum. Pengunjung kemudian akan diajak berkeliling yang bermula dari pintu masuk hingga ke halaman belakang rumah Pak Nasution. Saat memasuki pintu depan, pengunjung akan dijelaskan oleh pengelola museum mengenai berbagai barang-barang asli dari rumah tersebut, ruangan-ruangan yang biasa digunakan oleh keluarga dari Pak Nasution hingga kronologi dari aksi pemberontakan yang hampir merengut nyawa Pak Nasution tersebut.
Pengelola museum menjelaskan berbagai detail mulai dari penerobosan pintu depan yang dilakukan oleh pasukan pemberontak yang kemudian menyusuri seisi rumah untuk menangkap Pak Nasution yang pada hari itu sedang terjaga di kamar pribadinya bersama sang istri, Ibu Johanna Suniarti. Selain itu, di museum tersebut juga terdapat semacam diorama yang membuatnya semakin jelas dalam penggambaran berbagai kronologi yang terjadi. Di museum tersebut juga masih terdapat bekas-bekas peluru yang berasal dari penembakan yang dilakukan oleh pasukan pemberontak. Dari kejadian tersebut, Pak Nasution harus kehilangan salah satu putri kesayangannya yakni Ade Irma Suryani diumur yang masih sangat belia yaitu 5 tahun dan ajudannya yaitu Lettu Pierre Tendean. Lettu Pierre Tendean ditangkap oleh pasukan pemberontak akibat terjadi salah dengar dari pasukan pemberontak. Lettu Pierre Tendean sebenarnya mengatakan bahwa ia adalah ajudan dari Pak Nasution, tetapi para pasukan pemberontak mendengarnya mengatakan bahwa ia adalah Pak Nasution.
Keterkaitannya dengan Ilmu Sosiologi Komunikasi
Di dalam sosiologi terdapat banyak sekali teori yang mempelajari berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Begitu juga dengan kejadian di atas, dimana terdapat berbagai teori sosiologi komunikasi. Dari banyaknya teori-teori sosiologi komunikasi, untuk kali ini kita hanya akan membahas 3 teori, yaitu teori konflik, teori interaksionisme simbolik dan teori kritis.
Teori Konflik
Teori konflik dalam sosiologi memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi di akibatkan oleh adanya suatu konflik yang menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Teori ini juga memandang media sebagai bagian dari sistem sosial yang berfungsi untuk mempertahankan kepentingan kelompok yang berkuasa dan memastikan bahwa masyarakat tetap berada dalam jalur yang sesuai dengan kepentingan mereka. Dalam konteks pemberontakan G30SPKI, terdapat beberapa penyebab yang menjadi perbincangan dari terjadinya peristiwa ini. Meskipun banyak sekali pendapat yang mengatakan soal penyebab dari peristiwa tersebut, tetapi peristiwa yang bahkan sampai merengut banyak nyawa tersebut tentu diakibatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki pandangan yang berbeda sehingga menimbulkan konflik demi tercapainya suatu tujuan tertentu.
Teori Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionalisme simbolik di dalam sosiologi adalah teori yang berfokus untuk mengajarkan bagaimana manusia berinteraksi dengan sekitarnya dengan menggunakan tanda, simbol-simbol atau suatu interaksi sosial sehingga membentuk suatu makna tertentu yang dapat dipahami. Teori ini digagas oleh George Herbert Mead. Dalam konteks G30SPKI, terdapat banyak hal-hal yang dapat dimaknai dan menjadikan sebagai perspektif yang berbeda tergantung bagaimana kita memaknainya. Beberapa contohnya yaitu adalah buku dan film-film yang membahas seputar peristiwa tersebut. Buku dan film-film yang biasa kita lihat dapat menjadi sumber bagi kita untuk mempelajari dan memahami detail terkait salah satu peristiwa kelam yang terjadi di negara ini. Tapi di sisi lain, bagi orang-orang yang memiliki paham dan perspektif yang berbeda, mereka bisa saja memaknai bahwa dengan adanya buku dan film-film ini adalah berupa bentuk propaganda yang dilakukan pemerintahan agar masyarakat menganggap pihaknya itu adalah yang ingin menghancurkan negara. Semua kembali lagi bagaimana kita memaknainya.
Teori Kritis
Teori kritis ini sesuai dengan namanya, yakni teori yang memandang dan menekankan penilaian dan kritik dari masyarakat dan budaya terhadap suatu sistem dengan menerapkan pengetahuan dari berbagai ilmu-ilmu sosial. Teori yang digagas oleh Max Horkeimer dari Frankfurt, Jerman ini bertujuan untuk membantu perubahan yang dapat mengarahkan ke masyarakat yang lebih manusiawi, adil dan lebih baik. Dalam konteks G30SPKI, teori ini mengajarkan kita untuk lebih kritis dalam suatu hal, sama seperti peristiwa G30SPKI. Dari sekian banyaknya berita terkait penyebab terjadinya peristiwa tersebut, teori kritis dapat digunakan untuk kita mengetahui dan mempelajari kejadiannya secara lebih mendalam dan lebih komperhensif dan sehingga dapat menghindari yang namanya bias.
Peristiwa G30SPKI yang diperingati setiap tahunnya tepatnya setiap tanggal 30 September merupakan peristiwa kelam yang pernah terjadi di negara Indonesia dan tidak dapat dilupakan begitu saja. Banyak sekali pengajaran yang dapat kita ambil dari peritsiwa tersebut, terlebih jika kita menggunakan berbagai pendekatan-pendekatan dari sosiologi komunikasi yang memang mengajarkan kita untuk lebih memahami seputar fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H