Mohon tunggu...
Keysa Fahradine Audyzza
Keysa Fahradine Audyzza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Program Studi Perbankan Syariah

Kepribadian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fiqh Muamalah dan Revolusi Mata Uang Digital: Memahami Bitcoin sebagai Alat Transaksi

24 Mei 2024   16:01 Diperbarui: 24 Mei 2024   16:13 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini teknologi berkembang sangat pesat. Hal ini dapat kita rasakan dalam transaksi jual beli melalui perdagangan elektronik. E-commerce memudahkan masyarakat melakukan transaksi dengan lebih cepat, aman, dan lebih rahasia. Bahkan, teknologi yang bisa dianggap sebagai mata uang digital bernama Bitcoin sudah ada. Bitcoin memperkenalkan sistem moneter global independen yang benar-benar terhubung dengan kekuatan penawaran dan permintaan serta tidak memerlukan intervensi atau campur tangan dari pihak mana pun.

Para ahli matematika dan ilmuwan komputer juga telah menemukan inovasi baru di bidang jual beli dan mata uang digital yakni kriptografi yang dapat menunjang kehidupan masyarakat. Kriptografi merupakan ilmu penting di bidang keamanan informasi. Kripto adalah mata uang digital yang tidak diatur oleh pemerintah dan bukan merupakan mata uang resmi. Konsep kriptografi inilah yang menjadi dasar munculnya mata uang digital yang kini digunakan sebagai alat pembayaran serupa dengan mata uang yang biasa dikenal dengan mata uang Bitcoin.

Bitcoin sendiri merupakan mata uang virtual yang dibuat oleh seseorang dengan nama samaran Satoshi Nakamoto. Bitcoin menggunakan teknologi peer-to-peer8 tanpa otoritas pusat atau bank sentral dalam beroperasi. Bitcoin diciptakan oleh jaringan Bitcoin melalui metode sistematis berdasarkan perhitungan matematis yang tepat, sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan Bitcoin.

Semua transaksi Bitcoin disimpan dalam database jaringan Bitcoin. Ketika terjadi transaksi Bitcoin, pembeli dan penjual secara otomatis tercatat dalam jaringan database Bitcoin. Fenomena era digital ini memudahkan penyediaan berbagai layanan dan fasilitas sehingga memungkinkan pengguna internet untuk membeli barang di toko online seperti Shopee, BukaLapak, Olx hingga Lazada dan berbagai e-commerce lainnya. Transaksi jual beli online umumnya memudahkan proses transaksi pembayaran seperti internet banking, mobile banking, dan kartu kredit. Namun, keberadaan Bitcoin sebagai mata uang digital telah memudahkan masyarakat dalam bertransaksi dibandingkan dengan model transaksi pembayaran yang telah disebutkan.

Bitcoin adalah objek yang sepenuhnya virtual atau al-jahara (ketidakjelasan). Bitcoin sebagai alat tukar dan investasi di dunia maya hanya berfungsi untuk penggunanya saja. Islam menjelaskan bahwa suatu benda harus memiliki empat unsur untuk dianggap sebagai properti. Yakni, mereka mempunyai wujud materi (anyah) atau berwujud, dapat disimpan, dapat dimanfaatkan, dan kebiasaan masyarakat menganggapnya sebagai harta. Dalam hal ini, Bitcoin tidak bisa disebut harta karun karena tidak memiliki substansi dan tidak adanya 'Urf.

Dalam Islam, tidak dibatasi terkait alat tukar selama alat tukar tersebut tidak melanggar hukum syariah.

Penggunaan Bitcoin sebagai alat tukar secara umum diperbolehkan oleh islam yang berpatokan pada kaidah fiqih yang menyatakan bahwa "hukum asli (muamalah) diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya". Dalam kasus yang terjadi pada penggunaan Bitcoin ini menghasilkan suatu efek Tindakan yang merujuk pada penggolongan akibat perbuatan menurut Maqashid al-Syariah, yakni tergolong akibat suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hal ini dilakukan dengan sengaja, karena orang yang ingin menggunakan Bitcoin biasanya telah mempelajarinya terlebih dahulu sebelum menggunakannya. Dengan kata lain, dia sengaja menggunakan Bitcoin meskipun dia sudah mengetahui dampak negatif yang ditimbulkannya. Namun niat dasarnya bukan untuk merugikan orang lain, melainkan memanfaatkannya hanya untuk kemudahan dan keuntungan. Kalaupun tidak ada niat untuk merugikan orang lain, maka kerugian yang diakibatkannya sudah pasti, artinya dapat ditentukan kerugiannya dan nilai mafsadatnya lebih besar dari nilai manfaatnya. Dikarenakan Bitcoin ini mempunyai nilai properti, maka nilai mafsadat yang dibuat dengan menggunakan Bitcoin mengalir menjadi hajiyat dan dapat naik ke tingkat darriyat.

Di sisi internal, secara ontologis keberadaan Bitcoin dinyatakan sah secara "urf". Namun, tidak cukup hanya memikirkan dari satu sisi saja, kita juga perlu mempertimbangkan sisi eksternal, yaitu kemungkinan dampak negatif dari penggunaan Bitcoin, seperti nilai Bitcoin.

Aspek yang dipertimbangkan adalah kemudharatannya lebih besar dibandingkan dengan utilitas yang diperoleh dari penggunaannya sebagai alat pembayaran atau perdagangan, atau bahkan sebagai komoditas. Hal ini dikarenakan adanya risiko kerentanan keamanan jika terjadi penyalahgunaan atau aktivitas kriminal terkait penggunaan atau akses Bitcoin itu sendiri, apalagi jika Bitcoin dikuasai oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, jika demikian, semuanya harus ditanggung oleh komunitas atau pengguna Bitcoin. Tentu saja risiko yang dipertaruhkan bagi komunitas dan pengguna Bitcoin lebih besar. Ada banyak risiko bagi penggunanya dan ini telah melanggar ketentuan Syariah bahwa transaksi Muamalat yang merugikan harus dihilangkan. Sesuai kaidah Fiqh yang berarti "Kemudharatan harus dihilangkan."

Penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran, khususnya dalam transaksi keuangan online dianggap Shubat, dan segala sesuatu yang termasuk dalam Shubat tidak membawa manfaat apa pun dan harus ditinggalkan.

Karena aspeknya cukup merugikan, maka transaksi jual beli Bitcoin tidak diperbolehkan jika melibatkan spekulasi (maysir) atau perjudian untuk mengadu nasib sebagai sarana pertaruhan, namun segala kerugian dan keuntungan disebabkan oleh kepemilikan dan penggunaan Bitcoin itu sendiri. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga masih melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Bitcoin dan belum mengeluarkan fatwa resmi tentang hukum Bitcoin ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun