Sebagai warga negara Indonesia, istilah demokrasi tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Budaya demokrasi ini secara tidak sadar telah kita tanamkan dalam lingkungan keluarga sejak kecil.
Misalnya merencanakan liburan bersama keluarga. Saat menentukan destinasi wisata, pastinya memastikan menggunakan sistem voting untuk mengetahui destinasi mana yang ingin dikunjungi mayoritas anggota keluarga. Atau bahkan dengan melakukan hal yang sederhana seperti menghormati setiap anggota keluarga, yang meliputi penanaman budaya demokrasi di lingkungan keluarga.
Sebelum kita membahas demokrasi, mari kita pahami dulu pengertian dari kata demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu "demos" yang berarti rakyat atau umum dan "kratos" yang berarti pemerintahan. Jika digabung, demokrasi berarti "kekuasaan untuk rakyat".Â
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan atau sistem dimana semua orang ikut serta dalam pemerintahan melalui wakil-wakil yang dipilihnya.
Dengan kata lain, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memungkinkan dan memberikan kebebasan kepada warga negara untuk menyatakan pendapatnya dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pemerintah.
Suatu negara dapat dikatakan berbudaya demokrasi hanya jika ia memiliki prinsip-prinsip demokrasi atau yang disebut pilar-pilar demokrasi. Filsuf politik Pakistan Abul A'la Maududi berpendapat bahwa demokrasi memiliki 11 pilar yang menjadikan suatu negara budaya demokrasi:Â
1. Hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, 2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah, 3. Mayoritas aturan, 4. Hak minoritas, 5. Memastikan hak asasi manusia, 6. Pemilihan umum yang bebas dan adil, 7. Kesetaraan di depan hukum, 8. Proses hukum, 9. Batasan pemerintahan konstitusional, 10. Pluralisme sosial, ekonomi dan politik, 11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan konsensus.
Gagasan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan berasal dari kebudayaan Yunani, tepatnya pada abad ke-5 sebelum masehi. Beberapa tokoh yang mendukung perkembangan demokrasi adalah Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Perancis (1689-1755).Â
John Locke berpendapat bahwa hak asasi manusia politik terdiri dari hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Pada saat yang sama, Montesquieu memiliki pemikiran bahwa dalam menyusun sistem demokrasi yang dapat menjamin kedaulatan pemerintahan melalui pemisahan kekuasaan melalui Trias Politik, terdiri dari cabang eksekutif, legislatif dan hukum.
Di Indonesia sendiri, sistem demokrasi berjalan sangat dinamis, yaitu berubah-ubah. Setidaknya jenis sistem demokrasi telah diterapkan selama kehidupan ketatanegaraan bangsa. Berikut timeline dan sejarah singkat sistem demokrasi Indonesia dari masa ke masa!
* Demokrasi parlementer (1945-1959)
Praktek awal demokrasi parlementer adalah pada periode pertama berlakunya konstitusi tahun 1945, lebih tepatnya pada tahun 1945-1949.
Namun karena kehidupan politik saat itu sedang tidak stabil, maka demokrasi parlementer ini tidak berjalan dengan baik, sehingga program-program yang dibuat oleh pemerintah tidak berjalan terus menerus. Demokrasi ini akhirnya berakhir secara hukum pada tanggal 5 Juli 1959, sementara konstitusi ditetapkan kembali pada tahun 1945.
* Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno mengesahkan prinsip pedoman tersebut. Demokrasi, yaitu: 1. Demokrasi Terpimpin bukan kediktatoran, 2. Demokrasi Terpimpin selaras dengan dasar kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia,Â
3. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi dalam segala urusan bernegara dan bermasyarakat, termasuk bidang sosial dan kemasyarakatan termasuk politik, sesuatu urusan dan ekonomi, 4. Hakikat kepemimpinan dalam demokrasi terpimpin adalah refleksi kearifan terpimpin, 5. Dalam demokrasi terpimpin, oposisi harus mampu melahirkan opini yang sehat dan konstruktif.
Jika dilihat dari poin-poin di atas, maka demokrasi terpimpin pasti akan terlihat baik dan tidak yang bertentangan bersama dengan Pancasila dan UUD 1945 BARU. Namun pada kenyataannya konsep-konsep tersebut tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Akibatnya, demokrasi terpimpin seringkali menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan budaya Indonesia.
* Demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru (1966-1998)
Demokrasi Pancasila dilandasi gotong royong dan rasa kekeluargaan. Karena demokrasi Pancasila bersumber dari berbagai persoalan yang dialami bangsa Indonesia dalam pelaksanaan demokrasi parlementer dan demokrasi terkelola.Â
Prinsip-prinsip demokrasi pancasila yang terpenting adalah nilai-nilai yang menjaga harkat dan martabat manusia, menjamin persatuan bangsa, tanggung jawab dihadapan Tuhan sesuai dengan keyakinan bersama, mengutamakan refleksi dan melaksanakan keadilan sosial.
Walaupun kedengarannya sangat bagus, sayangnya demokrasi Pancasila di era Orde Baru seringkali menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi Pancasila itu sendiri dalam praktiknya. Beberapa pelanggaran demokrasi pada era Orde Baru adalah:Â
1. Adanya ketidakadilan dan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, 2. Kebebasan berbicara hampir tidak ada, 3. Pembatasan debat di universitas, 4. Larangan (pencabutan izin) beberapa publikasi media yang mengkritik pemerintah 5. Kriminalisasi individu dan kelompok yang tidak setuju dengan pemerintah, 6. Penculikan paksa aktivis, 7. Sistem kepartaian yang berat sebelah dan sama sekali tidak otonom, 8. Maraknya KKN.
* Demokrasi pancasila di era reformasi (1998-Sekarang)
Perbedaan demokrasi pancasila di era reformasi era dan era Orde Baru terletak pada tata cara dan pelaksanaan aturan. Sebagian besar perubahan terkait dengan koreksi kebijakan yang tidak sesuai dengan konsep demokrasi.
Beberapa hasil dari perubahan tersebut adalah: 1. Pemilu yang benar-benar demokratis, 2. Tercapainya kehidupan yang lebih demokratis, 3. Lembaga demokrasi berjalan dengan baik, 4. Setiap partai politik dapat mandiri dan tidak memihak, 5. Demokrasi Pancasila sebagai nilai politik budaya yang mempengaruhi perilaku politik sikap hidup pendukungnya.
Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sendiri juga dapat dilihat dalam pemilu yang liberal (langsung, umum, bebas, rahasia) dan adil (jujur), kebebasan pers (tidak lagi dilarangnya media), kemudahan menyelenggarakan demonstrasi, bahkan kebebasan berekspresi di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H