Mohon tunggu...
Keynisya Pentania Sofyani
Keynisya Pentania Sofyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UM

rasa penasaran tinggi dan keinginan untuk terus mencari membawa saya kesini untuk membagikan rasa penasaran itu kepada tempat yang menjadi akses kita untuk terus berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tinjauan Aksiologi FIlsafat: Kritik terhadap Patriarki dalam Karya Taylor Swift

17 Oktober 2024   19:08 Diperbarui: 17 Oktober 2024   20:51 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"I would be complex, I would be cool, they'd say I played the field before I found someone to commit to"  The Man - Taylor Swift

Potongan lirik di atas cukup menjadi cerminan tentang adanya standar ganda yang dihadapi oleh perempuan dalam masyarakat. Jauh sudah kita dari masa Mary Wollstonecraft dengan bukunya yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman yang menjadi gelombang pertama gerakan feminisme dunia, ataupun masa R.A. Kartini yang berjuang memperebutkan kesetaraan perempuan Indonesia, tapi nyatanya, perempuan belum sepenuhnya  merdeka. Pandangan bahwa perempuan lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki, atau dikenal dengan patriarki ini masih menghantui kehidupan banyak perempuan di era modern.

Banyak upaya yang dilakukan untuk menggagahkan feminism di era modern, media sosial-lah yang  telah menjadi alat penting dalam gerakan feminism modern. Pemilik potongan lirik di atas contohnya, Taylor Swift, telah menjadi suara penting dalam melawan patriarki melalui karya-karyanya yang menguasai tangga lagu dunia. Memulai karir sejak remaja membuatnya sangat mengenali bagaimana perlakuan media terhadap perempuan yang sering kali menggambarkan perempuan dengan cara yang merendahkan (dokumenter Miss Americana). Ia bahkan secara terbuka membahas pengalaman seksisme yang dialaminya dalam industri musik, di mana ia merasa harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan dibandingkan rekan-rekan prianya. Taylor mencatat bahwa "artis wanita harus berubah 20 kali lebih banyak daripada artis pria" untuk tetap relevan.

Dalam filsafat terdapat perspektif Aksiologi yang berkaitan dengan aspek nilai atau etika dalam penggunaan komunikasi. Aksiologi melihat lagu sebagai sarana komunikasi sosial, menyorot betapa besarnya efek yang didapat dari penyampaian pesan melalui lagu. Hal ini sejalan dengan media sosial yang menjadi alat penting dalam gerakan feminism, lagu yang menjadi konteks atau pesan untuk alat penting itu. Sebagai seorang musisi, tentu Taylor Swift menunjukkan suaranya dalam karyanya yang berjudul "The Man" bagaimana perempuan seringkali dihadapkan pada stigma dan harapan yang tidak adil.

Kritikan terhadap standar ganda yang dihadapi perempuan dibandingkan laki-laki tertuang dalam lagu ini. Ia menunjukkan bagaimana seorang pria dipandang positif atas perilaku yang sama yang justru mengundang kritik bagi perempuan. Taylor mencatat dalam lagu "The Man" bahwa perempuan harus berusaha lebih keras dan dengan hidup seperti pria, Taylor menunjukkan bahwa banyak tantangan yang dihadapi perempuan dapat dihindari jika mereka adalah pria, sehingga mengajak pendengar untuk merenungkan ketidakadilan ini dan mendukung kesetaraan gender.

Aksi Taylor dalam menyuarakan anti-patriarki tidak hanya terdapat dalam lagu "The Man", melainkan pada lagu "Miss Americana" di album yang sama dan juga pada album Midnight yaitu "Lavender Haze". Mari kita bahas "Lavender Haze" terlebih dahulu.

Dalam lagu yang bergenre Contemporary R&B dan Pop ini Taylor mengekspresikan keinginannya untuk mengabaikan ekspektasi dan penilaian banyak orang, terutama sebagian orang yang memiliki pandangan patriarki terhadap hubungan romansa. Dalam liriknya Taylor menulis "I feel the lavender haze creepin' up on me. Surreal, I'm damned if I do give a damn what people say." yang mencerminkan kebebasan dalam diri individu untuk menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan lingkungan sekitarnya

Dalam filsafat aksiologi, kebebasan dipahami sebagai nilai fundamental yang harus dimiliki oleh setiap individu, meliputi dua jenis kebebasan yaitu, kemampuan untuk mewujudkan potensi diri dan kebebasan dari intervensi eksternal.  Konsep kebebasan dari lagu "Lavender Haze" ini dapat kita lihat melalui lensa eksistensialisme, seperti pandangan Jean-Paul Sartre yang berpendapat bahwa individu harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri dan membuat makna hidupnya.

Dari perspektif feminisme, dapat dikutip bahwa Taylor menolak stereotip tradisional tentang perempuan yang dianggap hanya bisa menjadi "istri" atau "gadis malam" saja. Karena sebenarnya, peran perempuan lebih dari dua hal itu.

Mari kembali dengan pembahasan perspektif aksiologi dalam filsafat yang berfokus pada evaluasi moral atau etika, dimana hal ini dapat kita kaitkan dengan lagu Taylor Swift yang berjudul "Miss Americana." Lagu yang menggunakan metafora sekolah menengah untuk menunjukkan bagaimana perempuan dihadapkan pada kondisi yang berbeda dari laki-laki, seperti dalam profesionalisme dan reputasi.

Dalam lagunya kini taylor mengkritik struktur sosial yang tidak adil serta membawa pesan moral bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dan kesetaraan hak tanpa diskriminasi gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun