Setiap tahun, kita mendengar janji-janji manis dari para pemimpin: program peningkatan gizi nasional, pembangunan posyandu, subsidi makanan bergizi, dan sebagainya. Namun, entah mengapa, angka stunting tetap tinggi. Program-program ini mungkin terlalu sibuk menjadi laporan administratif yang indah di atas kertas daripada kenyataan di lapangan.
Barangkali, yang lebih penting bagi kita adalah terus mempromosikan Indonesia sebagai negeri dengan kekayaan alam melimpah sambil diam-diam melupakan anak-anak yang perutnya kosong. Bukankah reputasi internasional lebih penting daripada kenyataan domestik?
Jika stunting adalah kutukan, maka kita harus menerimanya dengan kepala tegak. Toh, kita tetap bisa menjadi juara dalam hal-hal lain: produksi kelapa sawit terbesar di dunia, ekspor ikan tuna terbesar, dan tentu saja, jumlah anak stunting yang tertinggi di ASEAN. Kita tetap bisa berbangga hati, karena dalam segala hal, Indonesia selalu mencolok, meskipun dalam hal yang paling memprihatinkan.
Jadi, mari kita rayakan "kutukan" ini dengan penuh kebanggaan. Lagi pula, bukankah kita telah terbiasa hidup dalam ironi? Di negeri yang kaya laut dan subur tanahnya, stunting hanyalah bumbu tambahan dalam perjalanan bangsa ini menuju kejayaan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI